Fri, 19 Apr 2024
Cerpen / Jan 01, 2021

Izinkan Kami Bernapas Seperti Biasa

Aku terbaring diruangan putih bersekat tirai. Sekujur tubuhku lemas, mukaku pucat dan napasku sedari tadi tersengal.

Sudah seminggu terakhir aku berada di tempat ini, tempat pesakitan bersama ratusan memiliki masalah sama sepertiku.

Diruang ini tak kurang 30 orang, kedua kakakku juga terbaring disampingku. Hanya ibuku yang masih setia menjaga ketiga anaknya.

Semua itu bermula karena orang-orang serakah itu. Orang-orang yang mengatasnamakan pembangunan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka membakar habis hutan kami. Hutan tempat ayah-ibu kami bergantung hidup. Semuanya habis oleh keserakahan mereka.

Asap  mengepul tebal dilangit kota kami. Jarak pandang kami kian terbatas. Tak ayal meski telah menggunakan bantuan penerangan, kami hanya mampu melihat tak lebih dari 10 meter. Kalian pasti dapat menebak bagaimana tebalnya.

Usiaku baru 5. 2 bulan lalu aku baru masuk TK “Nol Kecil”. Aku belum tau ini peristiwa apa. Yang jelas, peristiwa ini rutin aku alami tiap tahun dibulan agustus hingga November.

Aku sakit, aku lemas. Saat ini yang aku inginkan hanyalah bernapas seperti biasa, tanpa bantuan alat ataupun masker. Aku hanya ingin bernapas, hanya sesederhana itu.

Kata ayah, menanam sawit sama dengan menanam masa depan. Hal Itulah yang orang-orang berdasi itu janjikan kepada petani seperti ayahku. Kemudian mereka berkata  masa depan bangsa ini ada di pohon satu ini.

Lantas berbondong-bondong tetangga kami membakar lahan dan kebun miliknya yang kemudian diganti dengan tanaman sejenis Palm itu. Alhasil, lahan pertanian kami ludes, kebun kami hangus dan hutan kami terbakar. Yang tersisa hanya hitam abu sekam dan pekat asap pembakaran.

Ayahku yang mulai menyadari ada yang keliru akhirnya bersuara. Ia berserta beberapa rekan petaninya memprotes dengan keras. Mereka berdemonstrasi hingga ke ibu kota provinsi. Namun, malang. Demo itu dibubarkan paksa, aksi damai itu menjadi Keos. beberapa otak demonstrasi ditangkap tanpa diadili. Termasuk ayahku.

Ayahku tak pernah pulang lagi sejak saat itu.

Kembali ke udara kotaku. Ini sudah hari ke 20 asap mengepul dilangit. Kata ibu, asap sudah sampai ke negara tetangga yang tak jauh dari temapat kami. Pesawat tidak bisa terbang, anak-anak tidak bisa sekolah dan rumah sakit penuh sesak oleh pasien ISPA sepertiku.

Wahai bapak-bapak pemangku kebijakan, hanya sederhana pintaku, pinta anak kecil usia 5 tahun ini. Aku hanya meminta, izinkan kami bernapas seperti biasa. Izinkan kami menghirup nikmat tuhanku.

Jika udara saja kami harus berbayar lalu apa lagi yang gratis dinegerimu yang Merdeka ini!. 

 

Penulis: Zaki (Fraksi Muda Indonesia)

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.