Lengkingan yang Melindap
Bilah-bilah papan disusun rapat. Tanah merah diuruk perlahan dengan cangkul. Jengkal demi jengkal, tanah gembur semakin padat. Menelan jasad sekaligus memeluk erat di kedalaman.
Di atasnya, selusin tangis memekik sedu. Semua bertaut dalam nyanyian pilu—ada yang sungguh-sungguh, ada pula sekadar ikut panggilan toa.
Satu per satu kepala mencuat dari liang. Lengan-lengan ceking meraih uluran dari yang lain. Keliman yang tadi tersingsing, diluruskan kembali. Dengih nafas terdengar kasar.
Lenguhnya tersengal digaruk haus. Para penggali mengibaskan debu dari oblong yang kumal. Sesaat kemudian, tanah basah itu menggunduk sedangkal betis.
Seekor kedasih bertengger di pohon kapuk. Kicauannya mengetuk keheningan. Tampak orang-orang bermuka kuyu. Bulir-bulirnya mengarsir polesan pupur. Menyeret bayangan mereka untuk mengeja; satu daun bidara telah ranggas, giliran siapa yang akan menyusul nanti?
Tak jauh dari kerumunan, dua lelaki berjongkok di bawah pohon karet. Pria satunya sedang menjepit rumput jampang di sudut mulut. Memamah dari ujung ke ujung hingga pantas dipanggil lembu jantan.
Diawali berdeham Muslimin menegur "Sedih juga ya?" Orang di sampingnya singkat menyahut “Ya, tentu.” Tatapannya enggan berpaling. Begitu pula Muslimin, tatkala mengusir kebisuan terasa sia-sia.
Desiran angin kian meraut sore yang suram. Sebilah nisan ditancap di puncak sisi, memperkukuh jasad tersisa nama. Sebutan yang akan terlupa dalam 40 hari. Di kampung ini, tentu, orang mati lebih cepat terselap daripada tagihan utang. Apalagi tujuh hari berturut-turut tanpa tahlilan.
Perlahan air mawar disiramkan. Aromanya menguar hingga menyumbat hidung. Mulutnya komat-kamit seakan merapal doa. “Inilah aku Mawar sesungguhnya mawar, sekarang aku bebas!” gumamnya. Buru-buru bibir bergincu itu mengatup. Nyaris saja ucapannya tergelincir keluar.
Tanpa menoleh ia beranjak dari kerumunan. Langkahnya tampak mengayun ringan. Di tangannya, sepucuk surat digenggam kuat.
“Lihat! Perempuan itu, buru-buru sekali,” ujar pria di sampingnya. Muslimin tak lekas menjawab. “Mawar,” hanya itu yang ia ucapkan pelan. Tiba-tiba ia teringat kejadian setahun silam di kampung Cigombong.
Geger melanda kampung. Anak perempuan Mawar, Isah, tewas menggantung diri. Warga setempat terpaksa mendobrak pintu rumah yang lengang selama seminggu. Disulut rasa curiga, mereka menerobos ke tempat asal bau busuk. Sungguh mengerikan tubuh bengkak terlilit di seutas tali plafon kamar.
Sekonyong-konyong para tetangga menuding Mawar sebagai biang keladi. Dituduh minggat, dikatai ‘Kimcil’. Begitulah julukan yang beredar di warung Iis. Ketika mereka berkumpul, selalu terselip pembahasan tentang dirinya. Entah dari mana masuknya topik itu.
“Ceu Iis, tadi pagi sepulang dari pasar si kimcil nyari-nyari aku,” ujar seorang tetangga.
“Biar kutebak, pasti pinjam nama untuk bank emok kan?” sahut yang lain.
“Benar, biasa hari kamis.”
“Ih, tak tahu malu. Iuran yang kemarin pun masih ditanggung renteng oleh kami.”
“Bikin repot mulu. Jodohkan saja sudah sama si Muslimin.”
“Si bujang lapuk?”
Ha...ha...ha..., tawa pecah memedihkan.
Mawar terlanjur bodo amat. Tapi topik Muslimin membuatnya geram. Sembari melompat diikuti teriakan lantang “Sialan kau!” Dengan mistar ia menghajar tepat di punggungnya. Orang-orang terperanjat, mereka bertemperasan. Terpaksa, ia menyudahi tukang nyinyir itu lebih cepat.
Sebelum menelan korban maut, tangannya lekas ditepis oleh Muslimin. Sejak saat itu, Mawar selalu menunduk tiap berpapasan dengan orang. Ditambah tetangga sekitar turut menjauh. Tentu, hal ini menimbulkan perasaan iba terhadap dirinya sendiri.
Pupu, suami Mawar, menyaksikan dari kejauhan. Saat itu ia melihat seluruh amarah di matanya. Wajahnya penuh garis kelam, seperti senyuman yang separuh giginya hilang. Pupu merasa sesuatu akan terjadi.
Dua tahun lalu, ia harus menulis naskah kepulangannya dari rantau. Di galangan kapal, ia pernah jadi orang penting—tangan kanan mandor, dikenal karena kekuatan lengan dan keakuratannya.
Tapi usia merenggut itu semua. Mandor baru lebih memilih pekerja muda, yang tak perlu istirahat lama, yang tak mengeluh saat upah dipotong. “Kau sudah tua, Pupu,” kata mandor, dan kalimat itu seperti pisau yang terus mengiris harga dirinya.
Kini, di kampung Cigombong, Pupu hanyalah bayang-bayang dirinya sendiri. Saban hari ia kerap pulang petang, menghabiskan waktu di pemuputan karet.
Bersungut-sungut di atas meja kopi hingga dua adzan terlalui. Mencerca ketiga pasangan di debat capres. Belum lagi siaran televisi tentang bursa kerja yang ramai peminat.
“Para lelaki menjadi mangsa. Noh lihat pabrik-pabrik berjubel wanita sedangkan kita? Menjadi bajingan,” keluhnya suatu sore, matanya merah oleh asap rokok.
Sewaktu muda perkara mencari kerja masih terbilang mudah. Jika ingin uang, cukup ditukar dengan tenaga. Tetapi jaman sekarang, ia justru membayar dahulu untuk mendapat uang.
Banyak orang menyogok demi bekerja di pabrik. Ditambah persekongkolan personalia dan tokek yang menaikkan persekot dari tahun ke tahun. Sialnya, pencari jalan pintas tetap sudi berapapun harganya.
“Nah pantas saja, cukong pabrik ogah kasih kerja tuk lelaki cerewet, doyan ngutil, belum lagi banyak protes!” celetuk seseorang yang tak ia kenali di pemuputan karet.
“Heh, kau siapa? Main nyolot saja,” balas Pupu.
“Bukan begitu, kau ngoceh tak ada bukti,” tutup lelaki itu.
Perkataannya seperti menyambar. Padahal ia hanya meluapkan kekesalan, lahir dari tahun-tahun penolakan dan cemooh. Di rantau, ia pernah berjanji membuat kamar berjendela untuk Mawar dan Isah. Tapi kegagalan itu mengendap di dadanya, berat seperti bundelan tanah di liang kubur.
Pupu tertegun, mengingat-ingat siapa sosok ini. Terakhir, hanya Muslimin yang berani menyangkal pernyataan retorisnya. Sekarang lelaki di hadapannya menyadari kerut di dahi Pupu. Tapi lelaki tua ini urung mengungkap nama.
Matanya bergulir ke setiap ujung tempat, lalu memusatkan perhatian ke bangku di samping Pupu. “Aku masih ingat, tujuh tahun silam bapak mertuamu kejang lalu mati sehabis meneguk tuak,” ujarnya murung, “...tepat di bangku sebelahmu itu.”
Ucapan itu membuat Pupu membeku. Ia teringat ayah Mawar, lelaki yang menganggapnya tak becus. “Modelan macam kau hanya jadi beban untuk Mawar,” katanya suatu malam, sebelum nyawanya terenggut. Kenangan itu seperti hantaman, mengingatkan Pupu pada kegagalan lain dalam hidupnya.
Selang beberapa lama, mulut lelaki itu kembali terbuka. Ia berdiri dengan mengambil jarak. Lalu menawarkan pekerjaan sebagai bandar togel untuk wilayah setempat. “Lantaran jaringan penghubung milikku belum merambah sampai sini. Lagipula kampung Cigombong sudah ku incar sejak lama.”
Pupu masih terdiam. Tawaran itu membuatnya bimbang. Di satu sisi, ia muak dengan kemiskinan yang mencengkeram keluarganya. Di sisi lain, ia tahu pekerjaan haram itu bukan jalan yang ia impikan dulu, saat masih percaya tenaga bisa menukar nasib.
“Terima kasih, tapi mengapa kau tiba-tiba menawari ku pekerjaan?” tanyanya penuh curiga.
“Kalian orang-orang Cigombong sungguh pintar mencari duit. Hingga anak buahku bilang bahwa kau melarat dan kere,” jawab lelaki itu.
“Begitulah,” seru Pupu yang wajahnya memerah oleh campuran malu dan amarah.
“Memang gelagat ini terdengar aneh, tapi tak ada yang tak mungkin. Menurutku tawaran tadi cukup menarik bukan? Bayangkan tanpa modal, tanpa tenaga banyak, kau bisa meraup untung dalam sekejap!”
Anggukkannya merupakan kesepakatan yang tidak mereka katakan. Beberapa bulan setelah pertemuan itu, pemuputan disulap makin ramai.
Berjejal dengan lembaran karet yang menggantung, para penyadap melata dalam antrean. Menjepit secarik kertas lalu menyerahkan ke meja bandar. Di samping lubang pencatut, terpampang angka-angka yang rutin diganti setiap Kamis.
Sebuah petunjuk bahwa hari itu empat baris telah tembus. Barangkali di antara petaruh, ada yang beruntung menebaknya.
Lumrah kemenangan besar muncul dari perkalian tak wajar. Misalnya, dua angka terakhir dikali taruhan sebesar 20 ribu. Tetapi sering pula, para penyadap pulang dengan kocek melompong.
Segala yang tersisa darinya hanya bayangan mulut rombeng sang bini. Kalau sudah begitu, kasbon ke tempat Pupu adalah jalan yang masuk akal.
Perbedaan inilah yang membuat tempat Pupu unggul dari bilik judi lainnya. Kendati lapak judi kian berbiak di sekitar pemuputan.
Namun pinjaman tak berlaku, kalau nama mereka belum terhapus di buku tabungan pengutang. Alhasil para pemenanglah yang sudi memberi utang, dengan syarat membagi hasil kemenangan.
Pupu berdiri di balik meja bandar, tangannya gemetar setiap kali menerima kertas taruhan. Ia tahu, ini bukan kehidupan yang ia janjikan pada Mawar.
Setiap keping yang masuk ke sakunya terasa seperti perban untuk cemooh mandor, dari tatapan kecewa Mawar, dari bayang-bayang Isah yang tak pernah pergi.
Mawar, bininya, mulai merasa keberatan. Selain cemas ancaman inspektur yang rewel jika uang pajak tersendat, ocehan tetangga pun kian beriak.
Di kamar, ia mengeluh hingga sulit tidur. Baru saja, malam-malam berlalu lebih pendek, mengingatkan pada malam pertama mereka yang bergairah, kini terancam samar. “Pupu, ini terlalu beresiko,” suaranya bergetar oleh kekhawatiran.
Pupu tak lekas menjawab. Ia sibuk menepuk tawon yang mematuk-matuk di sela bohlam. Kepakkannya seperti knalpot sember, membuat keduanya frustasi. Berulang kali ia kibaskan sapu ke langit-langit.
“Ya, aku tahu,” jawabnya dingin sambil berjinjit di atas kursi.
Mawar hanya melirik pantulan suami di kaca jendela. Ia menangkap ketidakpastian, seperti lelaki yang tersaruk antara harga diri dan keputusasaan.
“Kemarin, selepas menggorok leher suaminya, istri pelanggan kita ditangkap inspektur,” ungkap Mawar sambil mengerik kuku dengan pisaunya.
Pupu mematung, sapunya terhenti di udara. Matanya menatap Mawar, yang kini mencengkeram pisau lebih erat. Di tangannya, sepucuk surat kusut seperti di pemakaman tampak membekap rahasia yang tak pernah ia ceritakan.
“Kau… apa maksudmu?” tanyanya pelan.
Mawar tak menjawab. Ia tersenyum tipis, lalu menuju jendela kamar. Langkahnya mengayun ringan, tubuhnya menggeliat, lengannya meliuk-liuk ke atas, seolah beban dunia telah lepas dari pundaknya. “Aku selesai, aku akan menguburnya dalam-dalam,” desisnya. Di atas kursi, Pupu masih memandang, dadanya sesak oleh pertanyaan yang tak terucap; apakah ia juga telah kehilangan Mawar, seperti ia kehilangan dirinya sendiri?
Catatan:
1.Bank emok: Sebutan untuk bank atau koperasi kelilinga yang menawarkan pinjaman.
2. Pemuputan karet: Tempat dikeringkannya lembaran karet dengan pengasapan.
Penulis: Rianda Akbari, berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Sejak 2019 aktif menulis di media daring satwa liar dan lingkungan hidup. Dua karya puisi "Aku Rempang" dan "Bebaskan!" dimuat di Buku Antologi Puisi Bela Rempang (2024). Karya lainnya dapat ditemukan di beberapa situs.