Para Pencari Sarjana
Han, lelaki jurusan Sastra Indonesia itu turun dari ruang ujian lantai dua dengan kode ruangan 205. Sebuah senyum di wajahnya mengungkapkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri lalu bergumam di dalam hati “Alhamdulillah. Tepat waktu,” sambil memandang hasil penelitian skripsi yang telah dipertanggungjawabkan dihadapan penguji. Sekarang yang perlu ia lakukan tetap singgah di Semarang sampai jadwal wisudanya tersedia.
Dengan mengenakan kemeja putih dan celana hitam, ia melangkahkan kaki keluar menuju taman, duduk di sebuah bangku berwarna hitam mengenang semua memori manis dan pahit bersama bayangan teman-temannya.
Taman ini sekian waktu pernah menjadi saksi ketika ia mendapatkan kata-kata kasar dari salah seorang teman perempuan satu konsentrasi sastra hanya karena Tuhan mengkaruniai Han rambut kriwil. Mengingat kata-kata kasar itu yang berasal dari kumpulan binatang, air matanya tumpah perlahan bercampur keringat yang membanjiri kemeja putih yang ia kenakan.
Tidak ada kondangan akademik di sana. Sungguh tidak perlu. Han memang berbeda dari teman-temannya. Selain ia mendapat jalan lulus lebih dulu, ia juga menjadi manusia yang tidak mendapatkan hadiah apa-apa dari teman-temannya. Sebut saja bingkisan makanan, bucket bunga, banner wisuda yang biasanya iuran bersama.
Bahkan ia tak begitu berminat untuk membeli selempang sidang skripsi bertuliskan nama dan gelar akademiknya. Kabar bahagia itu memang sengaja ditutupi agar tak sampai di telinga teman – temannya.
Setelah meneguk air putih yang diraih di samping ranselnya sambil mengusap air mata, Han bergumam lagi, “Aku sengaja tak memberi tahu mereka karena mereka pasti butuh pengeluaran banyak melewati semester tua ini. Cukup orang terdekatku saja yang tahu. Lagipula sejak awal di kampus ini tak ada yang mengajarkanku untuk menyulut lilin di tengah gelap gulita selain diriku sendiri!”
Butuh beberapa minggu atau tidak cukup satu hari bagi Han menulis nama orang – orang yang dikasihi dan dicintai dalam prakata skripsi. Ada perasaan yang juga sepenuhnya tumpah di sana.
Baginya prakata skripsi bukan hanya tentang ucapan terima kasih tetapi cara yang mulia untuk mengabadikan orang – orang yang ditambatkan dalam hatinya. Kebaikan kecil yang kita lakukan hari ini, bisa menjadi cahaya besar bagi orang lain di masa depan.
Dua hari kemudian, siang hari, di tempat yang sama, Han bertemu dengan seorang kating bernama Daf yang berprofesi sebagai kurir sekaligus komika. Kating itu berasal dari Tangerang. Ia mulai mengobrol dengannya.
“Sia-sia kalau sampai terlambat lebih jauh lagi Han. Gua harus menebus waktu yang terlewat sampai semester 14 ini,” menyusun berkas-berkas tanda tangan skripsi.
“Udah buat rencana sidang?” menepuk paha Daf.
“Rencana sih Kamis, 23 Mei,” merapikan rambut yang lusuh.
“Oh ya, lu udah baca berita belum Han. Sekarang lowongan kerja makin susah gila. Mau nyalahin pemangku kepentingan apa orang dalam ya. Sadar diri gua cuma rakyat kecil,” menghentakkan kedua kaki.
“Satu-satu dulu Kak Daf. Sidang skripsi aja dulu. Ntar kalau lu bikin almarhumah nyokap bahagia di atas sana karena ngelihat lu berhasil dapet gelar sarjana, Insha Allah bakalan dimudahkan.
“Makasih Han. Btw lu skripsi ambil teori psikologi sastra juga kan?”
“Iya.”
“Gua kadang ketawa sama diri sendiri Han. Sepeninggal nyokap hidup rasanya kayak gak berarti. Tapi gua selalu ingat lagu Bernadya hidup harus terus berjalan. Dahlah sedikit aja curhatnya. Benci banget gua sama stigma laki – laki gak boleh bercerita. Gua punya masalah psikologi tapi malah jadi seorang peneliti psikologi sastra,” bangkit mengenakan ransel di punggung.
“Secara gak langsung lu dapat gelar dua Kak Daf. Sastra sama psikologi.”
“Edan keren banget gua. Gua pamit balik dulu ya Han, gua mau ke tukang print. Lu tahu kan tiap bimbingan harus di print. Untung gua udah enam belas kali bimbingan. Gua harus hati-hati bakalan rumit banget kalau ntar lulus ada yang bilang ijazah gua palsu. Pejabat aja bisa kena apalagi gua komika.”
“Asli makanya jangan lupa dokumentasi yang banyak pas wisuda nanti ya,” mengajak salaman.
“Emang gua gak bermaksud pamer tapi apa yang lu bilang bener banget Han,” meraih tangan untuk bersalaman.
Tepat di hari kamis, 23 Mei, Han turut bahagia melihat salah satu kating yang sering ia sebut sebagai sesepuh itu berhasil meraih gelar sarjana sastra. Di grub WhatsApp teman-temannya mengucapkan selamat, berfoto, dan membuat video. Han hanya merespon meninggalkan emoji jempol di ponselnya bukan karena kehilangan suara tapi ia merasa diam dan mengamati adalah ruang yang cukup aman bagi dirinya.
Keesokan harinya, ketika ranting-ranting di pohon rimbun mulai berjatuhan, dan petugas kebersihan menyapu halaman di jurusan Sastra Inggris tepat di belakang gedung jurusan Sastra Indonesia, seseorang menunggu Han datang. Kali ini sahabat yang berasal dari desa yang sama dengannya bernama Wil. Sahabatnya itu mengeluh karena target wisuda yang ia rencanakan tak sesuai harapan.
“Iduladha, aku gak bisa pulang Han. Kamu ada rencana pulang?”
“Pulang atau tidak Wil. Kita tetap anak desa.”
“Tapi di desa Han. Orang tuaku itu selalu nanya kapan wisuda terus. Dikira kita sebagai anak gak mengusahakan! Jadi mahasiswa Sastra dan Seni itu gak gampang Han, nulis berita yang murni dari hati di kasih bangkai kepala babi sama tikus, nulis puisi di penjara, nulis lagu di minta klarifikasi, buat pameran di bredel.”
“Sudah, sudah. Orang sabar di sayang Tuhan.”
“Gak usah bawa-bawa nama Tuhan, Han! Mana Tuhan yang kau percaya, orang berdoa aja gak dikabulkan. Aku gak pingin muluk-muluk selain lulus.”
“Beriman-lah Wil. Berbaik sangka pada Tuhan. Boleh tanya progresmu sampai mana?”
“Tinggal bimbingan artikel tok. Revisi dosen inilah, revisi itulah, tiap hari revisi.”
“Kesempurnaan hanya milik Tuhan, Wil.”
“Udah dibilang gak usah bawa-bawa nama Tuhan, Han. Kamu tahu, aku rela nyari jurnal berbayar jutaan terakreditasi sinta 2. Berharap bisa cepet lulus tanpa sidang tapi apa Han hasilnya dimuat aja nggak.”
“Wil, aku saranin coba cari jurnal yang gratis. Aku sebenarnya prihatin sama jurnal-jurnal sekarang entah kenapa kebanyakan di hack sama situs judol.”
“Berarti aku tempuh jalur ujian gak usah lewat publikasi jurnal. Ya sudah Han, aku dikejar waktu sampai bulan Agustus. Aku bukan orang kaya yang bisa bayar UKT seenaknya.”
“Toh juga kamu muat jurnal itu sekedar buat dapat surat submit artikel kan.”
“Oke, aku bimbingan dulu Han.”
Tiga hari berikutnya, 27 Mei 2025, Han mengikuti zoom percepatan kelulusan bersama kaprodi jurusannya. Di kos, Han mendengarkan Pak No selaku kaprodinya membahas sesuatu yang penting demi kebaikan bersama.
“Saya minta tolong kepada mahasiswa untuk segera menyelesaikan bimbingan dan mendaftar sidang skripsi. Prodi benar – benar membutuhkan lulusan agar akreditasi kampus tidak mengalami penurunan. Saya akan membantu untuk membuatkan jadwal bagi kalian yang sudah siap untuk ujian.”
Di dalam data itu terungkap bahwa teman -teman sastra satu angkatannya mengalami masalah yang beraneka macam. Seorang teman wanita Han yang sempat menularkan kata – kata kotor padanya ternyata mengambil cuti di semester 8, seorang teman lainnya memutuskan untuk fokus pada pekerjaan.
Banyak juga yang masih dalam proses pembuatan proposal, yang lebih mengejutkan ada yang belum sama sekali mendapatkan dosen pembimbing maupun membuat judul skripsi.
Sambil menunjukkan layar data, Pak No berujar. “Sebelum video call saya akhiri, jika tidak ada pertanyaan lagi, saya punya perumpaan yang meneduhkan. Jika tidak mampu menyulut lilin di tengah gelap gulita selain dirimu sendiri, cobalah menyulut lilin bersama pemantik api kepercayaanmu, agar kamu tetap bisa berjalan dalam terang.”
Penulis: Muhammad Rafi’ Hanif, mahasiswa S1 Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Ia mendapat kesempatan magang di Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (2024) dan terlibat dalam bidang kreatif menjadi sutradara, aktor, pembaca puisi, pengisi suara drama radio, penata artistik, dan perlengkapan. Karya sastra yang dihasilkan kumpulan cerpen Selayang Pandang (2023), kumpulan naskah drama radio Para Pengisi Suara (2024), kumpulan puisi Dia & Lorong Waktu (2024). Selain menulis, ia juga mengedit sketsa dan ilustrasi dalam akun Instagram @rafihanif__