Mon, 11 Aug 2025
Cerpen / Lapia Kunchay / Aug 10, 2025

Yang Kita Simpan Diam-Diam

“La, nikah yuk!” suara Aga terdengar pelan namun cukup terdengar jelas untuk bisa sampai ke telinga gadis yang duduk di sampingnya ini.

Tala, gadis yang diajak bicara masih bergeming. Ia malah menjangkau setoples keripik kentang yang ada di hadapannya dan tanpa menoleh, ia mengambil satu dan mengunyahnya perlahan.

Aga mengalihkan pandangannya ke wajah Tala. Ia menunggu, berharap setidaknya gadis itu menunjukkan reaksi, sekecil apa pun. Tapi Tala hanya menatap layar televisi di depan mereka, seolah pertanyaan tadi tidak lebih penting dari film yang mereka sedang tonton.

“Nyari film-filmnya Wong Kar Wai di mana ya, Ga? Susah banget ditemuin bahkan bajakannya aja, kita gak nemu.”

Suara napas Aga terdengar putus asa, bukan itu yang ingin ia dengar dari mulut Tala. “La, aku serius.” Ia tahu, bahwa Tala pura-pura tuli dengan ucapannya barusan.

“Apa?!” Tala menoleh.

“Nikah yuk!” ucap Aga sekali lagi seraya menatap wajah Tala dalam.

“Nikah mulu omongannya. Revisi skripsi aku aja belum kelar, udah ngomongin nikah,” jawab Tala santai seolah ucapan Aga barusan hanya bualan semata.

“Nggak harus sekarang, La. Aku tungguin. Aku bisa kok, nungguin kamu tahun depan, dua tahun lagi, lima tahun yang akan datang atau kapanpun kamu siap. Nggak harus besok, aku cuma perlu tahu aja kalau kamu punya arah yang sama kayak aku, La.”

Sadar bahwa suasana makin serius, Tala menutup toples lalu beranjak dari tempat duduknya. 

Di luar sana, hujan sedang deras-derasnya. Mobil Toyota Yaris milik Aga yang terparkir di depan kosannya, ia pandangi melalui jendela yang basah. Tala menyandarkan tubuhnya pada kusen jendela. Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan lama saat pikirannya sedang berkecamuk. 

Ini bukan kali pertama Aga mengatakan hal yang sama. Alih-alih mengajak Tala berpacaran, Aga selalu mengatakan bahwa ia cuma mau menikah dan Tala adalah orangnya. Tapi bagi Tala, hubungan laki-laki dan perempuan terlalu kompleks untuk Jalani.

Semua orang berubah dan kata selamanya hanya ada di cerita dongeng yang tidak benar-benar ada. Mereka hanya saling mencintai di awal dan lama-kelamaan akan saling mencaci, membenci, dan menyakiti satu sama lain seolah hari kemarin tidak pernah ada.

Tala masih menatap hujan di luar dengan pandangan kosong. Dalam kepalanya, kenangan masa lalu berdatangan tanpa diminta, tentang kedua orang tuanya yang saling membenci dan pertengkaran yang tidak ditemukan ujungnya.

Tentang malam-malam ketika ia pura-pura tidur agar tak perlu mendengar suara pintu dibanting atau piring pecah di dapur. Tentang Ibu yang menangis diam-diam di kamar mandi, dan Ayah yang pergi tanpa pernah benar-benar kembali, meski tubuhnya masih pulang ke rumah.

Itulah kenapa bagi Tala, cinta bukan tempat berlindung, melainkan medan perang. Hubungan bukan jaminan akan keutuhan, melainkan arena kompromi yang sering kali menjadi timpang.

“Aku nggak percaya pernikahan itu bisa menyelamatkan apa pun, Ga,” katanya pelan, masih tak menoleh. “Kadang justru itu yang bikin segalanya hancur.”

Aga tetap diam. Ia tahu, terlalu banyak menjawab justru akan membuat Tala makin menutup diri. Jadi ia hanya duduk di sisi sofa, tangan di pangkuan, menunggu jika nanti Tala ingin berbagi lebih banyak.

“Dulu aku pikir kalau orang saling mencintai, semuanya akan baik-baik aja. Tapi ternyata cinta nggak bisa mencegah orang berteriak, memukul, atau saling melukai,” lanjut Tala, kali ini suaranya bergetar. “Jadi kalau kamu nanya kenapa aku nggak langsung jawab ‘iya’ waktu kamu ngajak nikah… karena aku takut jadi seperti mereka.”

Aga menunduk, mencoba menelan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia ingin merangkul Tala, tapi tahu bukan itu yang dibutuhkan sekarang. “Tala,” katanya akhirnya, “aku nggak bisa janji hubungan kita akan sempurna. Tapi aku bisa janji kita akan sama-sama belajar. Kita boleh takut, boleh salah, tapi jangan sampai kita berhenti mencoba.

Tala menoleh lalu tersenyum, “Ga, please, jangan tunggu aku! Aku bahkan nggak berani menjanjikan apapun sama kamu. Bukan aku orangnya, Ga. Pasti ada orang lain. Aku dan kamu, nggak akan pernah bisa menjadi kita.”

Aga menelan ludah, seperti mencoba memaksa dirinya memahami dan menerima ucapan Tala yang baru saja keluar tajam, jujur, tapi tidak kejam. Ia tahu, kalimat itu datang dari ketakutan Tala, bukan dari kebenciannya. Tapi tetap saja, rasanya seperti ditusuk pelan-pelan.

“Sekali aja, La! Apa kita nggak bisa mencobanya?” Wajah Aga memelas, sekali lagi dengan nada putus asa.

Namun gelengan kepala dari Tala adalah jawabannya. Cepat bahkan tanpa pertimbangan bahwa pernikahan bukanlah jalan yang harus ia tempuh Bersama Tala.

Setelah gelengan singkat namun penuh keyakinan itu, keduanya diam hanya suara hujan yang menjadi saksi betapa dua hati yang pernah saling mendekat kini sama-sama diam di persimpangan: satu berharap, satu melepaskan.

Aga menunduk. Tatapannya jatuh ke lantai. Ia tidak menangis, tapi pandangannya buram oleh segala yang tak bisa ia ubah.

Tala menarik napas dalam, pelan namun terdengar jelas. Ia sendiri tak tahu kenapa dadanya terasa sesak, padahal keputusannya sudah bulat.

“Aku nggak ingin kamu berhenti percaya pada cinta,” Tala akhirnya berkata, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. “Tapi… bukan aku orangnya, Ga. Ibarat rumah, aku masih berantakan dan masih banyak yang harus aku perbaiki dan kau benahi. Kalau aku memaksakan kamu masuk ke rumah itu, yang ada kamu yang akan tersakiti, Ga.”

Aga mengangguk, pelan. Tak ada kemarahan di wajahnya, hanya kesedihan yang tulus. Butuh waktu lebih dari tiga puluh menit bagi Aga untuk menungumpulkan kembali energinya sampai ia memutuskan pamit pulang meskipun hujan tak juga reda. 

Tak ada pelukan, tak ada janji palsu, tak ada “nanti kita ketemu lagi”.

Hanya selesai. 

 

***************

Lima tahun kemudian.

Napas Tala tersengal-sengal setelah ia berlari menuruni tangga halte busway. Sejak ia memutuskan hijrah ke Jakarta setelah lulus kuliah, ini menjadi hal yang biasa, berlari, terengah, terselip di antara manusia-manusia lain yang juga sedang berpacu dengan waktu. Meskipun setiap hari juga ia mengutuki dirinya sendiri kenapa harus melakukan hal yang sama setiap hari.

Tala berjalan gontai, jarak halte busway ke kosannya sekitar dua ratus meter. Keringat mulai mengalir dari pelipisnya. Kemudian tangan kanannya merogoh kantong celananya mencari ponselnya yang bergetar.

Sebuah panggilan dari nomor yang tak ia kenal muncul di layar ponselnya. Tala mengerutkan dahi, tapi tidak berniat mengangkatnya. Dengan cepat, ia memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas, berusaha mengabaikan getaran kecil yang kini membuat pikirannya terusik.

Meski tetap pada pendiriannya untuk tidak mengangkat, Tala memutuskan satu hal: ia menyimpan nomor tersebut ke dalam kontak sementara, hanya untuk mengecek apakah nomornya terhubung dengan WhatsApp.

"Nomor Baru - Mungkin Penting," tulisnya asal sebagai nama kontak.

Beberapa detik setelah ia menyimpannya, Tala membuka WhatsApp dengan jempol yang sedikit gemetar. Kontaknya langsung muncul photo profil yang Tala kenal betul siapa dia, bahkan tanpa sadar ia langsung mengetik sesuatu.

AGA

Tiga huruf tersebut terkirim pukul 19.21 dan Tala menerima balasan pukul 19.22.

Apa kabar, La?

Balasan tersebut seperti melumpuhkan kakinya. Bahkan Tala merasa bahwa perjalanan menuju kosannya sangat jauh meskipun ia sudah berjalan secepat mungkin. Tak berapa lama kemudian ponselnya kembali bergetar.

“Halo, Ga!” ucap Tala sambil membuka pintu kamar kosannya.

“Hai, La. Apa kabar?” suara itu terdengar berat, sedikit serak, tapi sangat familiar, ia seperti lagu lama yang dulu pernah menjadi favorit dan kini diputar kembali secara tak sengaja.

“Aku… baik,” jawab Tala pelan, berusaha terdengar tenang meski hatinya berdentum kencang. “Kamu gimana?”

Tala duduk di atas ranjang sambil menatap wajahnya dicermin. Dadanya berkecamuk sekarang, antara ingin menangis tapi ia juga Bahagia secara bersamaan.

“Sama, aku juga baik.”

“Kamu masih simpan nomor aku, Ga?”

“Iya, masih. Soalnya nyimpannya di kepala,” jawab Aga sambil tertawa kecil, suara yang tak asing tapi kini terdengar seperti harta karun yang lama terkubur.

Tala menatap wajahnya di cermin, mata yang basah tapi berbinar, senyum yang menggantung di ujung bibir, dan kerutan kecil di kening karena terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tak punya jawaban pasti. Ia mengusap pipinya pelan, lalu menyandarkan dagunya ke lutut.

“Aku kira kamu udah lupa,” ucap Tala pelan.

“Udah aku coba buat lupa, tapi nomor yang ujungnya 1563 terlalu sulit buat dilupa.”

Kali ini Tala yang tertawa kecil namun hatinya terasa sakit. “Kalau gitu, kenapa baru hubungin aku sekarang? Biasanya nih, orang yang udah lama ngilang tiba-tiba datang cuma ada dua alasan. Satu mau ngutang, kedua mau ngundang. Nah, kamu yang mana?”

Aga tertawa pelan di seberang, tapi ada jeda singkat sebelum ia menjawab. “Aku yang kedua.” Suaranya akhirnya terdengar lebih tenang, lebih dalam.

Tala mengernyit, mencoba memastikan ia tidak salah dengar. “Maksudmu… mau ngundang?” tanyanya setengah cemas, setengah penasaran.

“Iya,” jawab Aga pelan. “Ngundang kamu. Aku kirim udangannya lewat whatsapp.”

Tala menarik napas dengan harap cemas, lalu membuka pesan yang baru saja Aga kirimkan. Dan benar saja, Aga tidak sedang bercanda. Saat undangan elektronik itu ia buka langsung disambut oleh dua nama yang bersanding.

Niagara Prawista & Kinanti Agnia

Untuk sesaat, Tala hanya bisa menatap layar itu tanpa reaksi. Ia bahkan lupa bernapas. Dunia seolah diam membeku, suara hujan di luar jendela kamarnya pun lenyap dari kesadarannya.

“Wow!” Tala setengah berteriak tapi ia merasa getir. “Congrats, ya!”

“Makasih ya, La,” jawab Aga.

Hening beberapa saat. Namun tarikan napas Tala membuat Aga tahu bahwa Tala masih di sana.

“Namanya bagus, Ga. Kinanti.”

“Iya, La. Aku ketemu sama dia tahun lalu di sebuah pameran arsitektur.”

“Dia arsitek juga?”

“Iya,” jawab pelan namun masih terdengar jelas di speaker kecil itu. 

Tidak seperti lima menit yang lalu, meskipun hanya terdengar lewat suara tapi kecanggungan itu benar-benar terasa.

“Kerjaan kamu gimana, La? Katanya kamu sekarang kerja di bank?”

“Iya, tapi nggak lebih baik dari arsitek juga,” jawab Tala.

Aga tertawa kecil, tapi nadanya canggung. “Ya, tiap orang punya jalannya masing-masing, kan?”

“Benar, Ga. Dan ternyata ini jalannya. Jalan yang akhirnya aku pilih dan jalan yang kamu pilih.”

Malam itu mereka kembali bercerita tentang banyak hal, tentang film-film Wong Kar Wai yang akhirnya tidak pernah mereka tonton bersama. film-film Wong Kar Wai yang berakhir sendiri-sendiri. Tentang karakter-karakter yang berjalan berdampingan namun tak pernah benar-benar bersisian, tentang kisah-kisah yang dipenuhi diam, jeda, dan perpisahan yang tidak perlu dijelaskan.

Tala tersenyum saat Aga menyebut satu judul, In the Mood for Love. 

“Mereka saling cinta, tapi nggak saling miliki,” kata Tala pelan. 

Ternyata selama ini aku sadar… bahwa aku nggak terlalu suka Wong Kar Wai, tapi karena kamu.”

Tala terdiam sejenak. Suara di seberang sana terdengar jujur, seperti pengakuan yang terlambat datang, tapi tidak terlalu basi untuk diterima.

“Kamu tahu, Ga?” jawab Tala akhirnya, suaranya pelan tapi mantap. “Aku juga baru sadar, aku suka Wong Kar Wai karena film-filmnya sendu dan berjarak. Tapi selama ini… mungkin sebenarnya aku lagi nonton kita.”

Ada jeda. Tapi tidak menyesakkan.

Lalu mereka tertawa. Tidak terlalu keras, tidak terlalu lama.

Aga juga membuka cerita tentang rendang kentang dan teri medan di Warung Depan Kampus, tentang warung pempek tempat mereka meneduh saat hujan, tentang Aga dan Tala bertemu pertama kali saat OSPEK.

Tentang lagu-lagu lama yang dulu mereka debatkan The Beatles atau The Smiths? Bee Gees atau A-Ha? Dan mereka tertawa, karena kini semua itu tak lagi penting.

Dan mereka juga bercerita tentang Toko Buku Bekas Panorama sebuah tempat di mana Aga mengungkapkan perasaannya untuk pertama kali pada Tala. Tala ingat betul saat itu. Ia hanya tersenyum dan tidak menjawab apa-apa. Bukan karena tidak suka, tapi karena belum tahu bagaimana cara mencintai.

Atau momen di mana Aga, diundang di radio kampus karena karyanya memenangkan penghargaan di festival arsitektur nasional dan dengan lantang Aga menyebut nama Tala sebagai inspirasinya.

Tala juga masih mengingatnya dengan jelas, saat namanya disebut ia langsung memejamkan mata karena malu dan akan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Bahkan Aga juga mengingatkan kembali, tentang mimpi Tala yang dulu diceritakan di malam yang gerimis, saat mereka duduk berdua di depan warung kopi kecil tak jauh dari kampus.

“Kamu masih inget rumah impian kamu, La?” tanya Aga, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan di antara jeda napas yang berat.

Tala diam sesaat. Tapi ia tahu persis apa yang dimaksud.

“Rumah kayu kecil di pinggiran kota,” lanjut Aga, seolah membaca pikirannya. “Dengan jendela besar yang menghadap ke kebun. Kamu bilang, kamu mau isi tiap ruangannya pakai perabotan vintage yang kamu cari di pasar loak. Lalu kamu bakal tanam bunga-bunga dan sayur mayur di belakang rumah. Dan kamu juga bilang, kamu pengen punya dapur yang cukup luas supaya kamu bisa memasak.”

Tala tersenyum, getir tapi hangat. Ia tidak menyangka, dari semua hal yang bisa dilupakan oleh waktu, justru mimpi kecil itu yang diingat dengan begitu rinci oleh Aga.

“Aku pikir kamu udah lupa,” gumamnya.

“Mana mungkin,” jawab Aga. “Itu hal paling jujur yang pernah aku denger dari kamu. “Mana mungkin,” jawab Aga. “Itu hal paling jujur yang pernah aku denger dari kamu. Kamu juga pengen punya mobil Corolla DX, kan? Yang kamu bilang harus warna krem, platnya masih hitam, dan suaranya berisik tapi bikin tenang.”

Tala tertawa kecil, terkejut karena Aga bahkan mengingat detail sekecil itu. “Ya ampun… iya. Mobil butut tapi bisa diajak lari jauh. Aku bahkan lupa aku pernah bilang itu ke kamu.”

“Waktu itu kamu bilang, ‘aku nggak butuh mobil mewah, yang penting bisa nyala pas dibutuhin dan bisa berhenti kalau diminta.’ Dan aku langsung mikir, kamu lagi ngomongin mobil atau pasangan hidup?”

Tala menutup wajahnya dengan telapak tangan, geli dan malu sekaligus. “Kamu inget semuanya, ya?”

“Kalau tentang kamu, susah buat lupa,” kata Aga pelan.

Hening sebentar. Tapi bukan hening yang menyakitkan. Justru hening yang terasa seperti pelukan di kejauhan. Sunyi yang saling mengerti.

“Rumah kayu itu… Corolla DX… kamu masih pengin semua itu?” tanya Aga kemudian.

Tala mengangguk meski tahu Aga tak bisa melihatnya. “Masih. Mimpi itu nggak berubah, Ga. Aku diam-diam masih mencari rumah itu di pinterest dan masih nyari mobil itu di google.”

Nada suaranya ringan, tapi di balik kata-kata itu ada keping harapan yang masih ia jaga diam-diam, seperti bunga yang tetap ia siram meski tak tahu kapan akan mekar.

Aga tertawa kecil. “Kamu masih sama ya… kalau udah suka sesuatu, bisa tahan lama banget.”

Tala ikut tertawa sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk menyudahi panggilan tersebut. Di ujung percakapannya, Aga kembali mengingatkan bahwa Tala harus datang ke pernikahannya bulan depan.

Klik.

Sambungan pun terputus. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Tala meletakkan ponsel tanpa rasa gelisah. Ia tahu, hatinya tidak benar-benar utuh. Dan malam itu, Jakarta terasa sedikit lebih sunyi dan dingin tak seperti biasanya.

 

***

Tepat satu bulan setelah hari itu, Tala menepati janjinya untuk datang ke pernikahan Aga dan Kinanti. 

Palembang – Jakarta. Ia datang mengenakan gaun biru muda yang sederhana tapi rapi. Rambutnya dikuncir rendah, dan wajahnya hanya dipoles sedikit make-up tipis

Sampainya di venue, sebuah gedung minimalis dengan taman kecil di depannya, semua terasa hangat. Musik lembut mengalun lembut, tamu-tamu berdatangan, dan senyum ramah bertebaran di mana-mana.

Tala berdiri sebentar di luar pintu masuk. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dadanya yang berdebar. Dekorasi di sekelilingnya kental dengan nuansa adat Melayu Palembang. Dominasi warna emas dan merah marun terpajang dalam ornamen-ornamen songket, bunga-bunga segar menghiasi pelaminan yang megah, dan deretan kursi tamu disusun rapi dengan pita berwarna senada..

Dari kejauhan, ia menatap Aga yang mengenakan baju adat Palembang lengkap, berdiri tegak di pelaminan sambil menyalami tamu satu per satu. Di wajahnya ada senyum yang tenang, seperti seseorang yang akhirnya tiba di tujuan setelah menempuh perjalanan panjang.

Tala memperhatikannya cukup lama. Ia ingin melangkah, menyusul ke barisan tamu yang mengular. Tapi kakinya tak bergerak. Ada jeda yang menggantung di antara keinginan dan kenyataan. Ia berdiri saja di sana, di antara hiruk-pikuk ucapan selamat dan tawa kecil dari para undangan. 

Di antara hiruk-pikuk suara musik, tawa, ucapan, dan doa, Tala berdiri sendiri. Tak ada yang benar-benar memperhatikan kehadirannya. Semua mata tertuju pada pengantin, pada kebahagiaan yang sedang dirayakan.

Tapi di dalam hatinya, Tala berkata:

“Selamat ya, Ga. Kamu akhirnya sampai di tempat yang kamu cari.”

“Bangunlah rumah yang besar, Ga. Karena rumah kecil, itu impianku.”

“Belilah mobil bagus dan mahal, Ga. Karena mobil butut itu impianku.”

“Pilihlah jalan yang ramai dan lapang, Ga. Karena jalan sunyi itu akan selalu menjadi jalanku.”

Mata Aga dan Tala bertemu sejenak sebelumnya akhirnya Tala membalikkan badan lalu meninggalkan tempat ini dan melepaskan hal-hal yang memang sepatutnya ia lepas. Sekali lagi, tak ada senyum, tak ada lambaian tangan.

Dari kejauhan, Aga melihat punggung itu menghilang di balik kerumunan.
Dan untuk sesaat, dunia terasa sangat sunyi, meski musik pengiring masih terus mengalun pelan.

Lalu, dalam hatinya, Aga berbisik:

“Mungkin ini yang mereka maksud tentang melepaskan.”

 
 
Penulis: Lapia Kunchay, sedang menyelesaikan S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.