Yang Tak Pernah Putus
-Cerita dari Lyla-
Lyla duduk di dekat jendela kafe yang dulu sering ia datangi. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini. Kota yang dulu menampung begitu banyak diamnya, gelaknya, dan kalimat-kalimat yang tidak sempat selesai. Di hadapannya, secangkir kopi susu mendingin perlahan. Waktu berlalu seperti biasa, tapi bagi Lyla, detik terasa lebih panjang ketika kenangan datang satu per satu.
Dia tidak punya alasan jelas kenapa kembali ke sini. Bukan karena yakin akan bertemu siapa-siapa. Tapi karena ingin tahu: apakah hatinya masih bergetar seperti dulu jika kembali ke tempat ini.
Jawabannya: iya.
Bahkan sebelum kakinya menginjak lantai kafe ini, ia sudah tahu. Kembali ke kota ini seperti menarik pintu lama yang belum benar-benar tertutup. Di dalamnya ada suara, ada tawa, ada malam-malam panjang yang ia habiskan dengan suara seseorang di ujung telepon. Seseorang yang dulu begitu dekat, tapi tak pernah bisa benar-benar ia peluk.
Mereka pernah berada dalam satu fase yang membingungkan. Terlalu dekat untuk sekadar teman, tapi terlalu sadar kalau lebih dari itu bukan pilihan yang bisa mereka ambil. Dan anehnya, mereka tetap bertahan di situ. Di ruang samar yang nyaman sekaligus menyakitkan. Seperti dua ujung benang merah yang tak kasat mata—terikat, tapi tidak bisa saling tarik terlalu keras. Takdirnya mungkin tertulis, tapi waktunya tidak pernah tepat.
Dulu, saat dunia Lyla terasa berat, dia datang. Saat skripsi membebani, saat Lyla merasa dirinya bodoh dan tak berguna, dia duduk di sebelahnya dan berkata, “Pelan-pelan aja. Kita bisa atasi bareng.”
Dan benar, mereka memang tidak pernah pacaran. Tidak pernah saling menyatakan. Tapi perasaan itu... nyata. Hadir. Mewarnai hari-hari. Muncul lewat tautan lagu yang dikirim tanpa pesan, tatapan diam saat berpura-pura fokus di layar, atau cara dia tahu kapan Lyla butuh jeda tanpa harus bilang.
Itu cukup. Tapi tak pernah selesai.
Kelulusan datang seperti akhir yang pelan tapi pasti. Tak ada drama, tak ada tangis, hanya senyum-senyum canggung dan keheningan yang mengerti. Di antara keramaian teman-teman yang saling berfoto dan berpamitan, Lyla tahu: ini akan jadi hari terakhir mereka berada dalam satu kota. Bukan karena ingin pergi, tapi karena hidup memang harus berjalan.
Tidak ada janji untuk bertemu lagi, tidak ada kata perpisahan yang dramatis. Hanya diam. Hanya saling tahu bahwa rasa yang pernah tumbuh harus cukup sampai di sini. Seperti benang merah yang tidak diputus, tapi dilepas pelan-pelan… agar tetap ada, meski tak lagi saling tarik.
Beberapa waktu kemudian, ketika Lyla harus membuat CV dan tak tahu harus minta bantuan siapa, hanya satu nama muncul di benaknya: dia. Dan entah kenapa, meski sudah lama tak berbicara, dia tetap ada. Masih sabar. Masih membantu. Masih jadi rumah, meski hanya lewat suara di ujung telepon.
Satu jam itu terasa seperti mengembalikan napas yang sudah lama hilang. Tapi seperti semua hal lain yang terlalu indah untuk dikejar, telepon itu pun selesai. CV beres. Dia diterima kerja. Dan lagi-lagi, sunyi.
Sore itu, Lyla melangkah tanpa arah di antara lampu-lampu toko yang mulai redup. Ia berhenti di depan etalase perhiasan. Bukan karena tertarik—hanya karena ingin diam sebentar. Di balik kaca, kilaunya tak berubah. Tapi dirinya sudah bukan yang dulu. Ia tidak masuk. Tidak bicara. Hanya menatap. Lalu pergi.Tak ada.
Tapi saat ia keluar, ia melihat mobil itu. Tak salah lagi. Ia mengenali stiker kecil di belakangnya, yang dulu dipasang sebagai lelucon. Hanya melintas beberapa detik, tapi cukup membuat jantungnya berdetak seperti dulu. Ia tidak memanggil. Tidak mengejar. Tapi berdiri lama, membiarkan dadanya penuh oleh sesuatu yang tak bisa ia sebutkan.
Dan malamnya, Lyla menulis. Bukan untuk dia. Tapi untuk dirinya sendiri. Atau untuk masa lalu. Atau mungkin untuk seseorang yang dulu ia cinta, tapi tak pernah ia peluk.
[Surat Tak Terkirim – Untuk Kamu yang Pernah Ada]
Aku gak tau harus mulai dari mana.
Mungkin dari kata “maaf” yang tak pernah sempat kuucapkan. Atau dari “terima kasih” yang selalu terasa kurang, setiap kali kamu bantuin aku ngerjain skripsi, setiap kali kamu sabar dengerin aku ngeluh hal-hal sepele yang entah kenapa selalu kamu anggap penting.
Waktu itu… kita terlalu dekat untuk disebut teman biasa, tapi terlalu sadar bahwa kita gak bisa lebih dari itu. Kita tahu. Kita paham. Tapi tetap jalan. Sampai akhirnya harus berhenti.
Dan setelah semua itu lewat, setelah aku pulang ke kotaku, setelah kamu gak lagi jadi notifikasi yang kutunggu-tunggu tiap malam, aku ngerasa ada bagian dari diriku yang… kosong.
Bukan karena kamu hilang. Tapi karena aku gak pernah benar-benar ngucapin perpisahan.
Aku masih inget bau kopi dari kedai waktu itu. Masih inget lagu yang kamu kirim lewat link, tanpa kata-kata. Masih inget caramu ngelihat aku pas kamu pura-pura fokus ke laptop, tapi ternyata kamu sadar aku lagi lewat. Aku juga sadar kamu.
Aku cuma gak berani nyapa duluan.
Dan waktu aku lihat kamu di parkiran mall, aku tahu—itu kamu. Aku tahu kita cuma berpapasan beberapa detik, tapi jantungku berdetak seperti dulu. Seperti malam-malam saat kita masih cerita lewat telepon, saling menghindari topik soal “besok akan seperti apa.”
Aku nggak pernah nanya kabar kamu lagi, karena aku gak mau ganggu hidupmu yang mungkin sudah lebih tenang tanpaku. Tapi kalau kamu nanya apakah aku pernah kehilangan kamu? Iya. Bahkan sampai sekarang.
Mungkin kamu gak percaya.
Tapi kehilanganmu bukan soal kehilangan seseorang yang bisa dimiliki.
Melainkan kehilangan versi diriku yang pernah merasa paling dimengerti.
Terima kasih karena pernah jadi rumah, meski hanya sebentar.
Dan maaf karena aku gak pernah benar-benar tinggal.
Lyla mengakhiri tulisannya dengan satu kalimat yang tak pernah ia kirim, tapi tetap ia simpan.
“Kalau memang kita terikat oleh benang merah, mungkin ini saatnya benangnya dibiarkan longgar… tapi tidak usah diputus. Biar tetap ada. Walau hanya jadi kenangan yang tak pernah selesai.”
Penulis: Barkah Muhammad, Menulis dan bekerja di balik layar—antara dunia teknik, data, dan cerita-cerita yang lahir dari momen sunyi.