Fri, 03 Oct 2025
Esai / Asmar / Sep 13, 2025

Media Sosial: Ruang Hiburan Malah Jadi Beban

sebuah perspektif psikologi positif

 

Di era digital, media sosial adalah salah satu ruang utama bagi masyarakat untuk mengikuti perkembangan teman, mencari hiburan, atau sekadar mendapatkan informasi. Namun, di sela-sela konten ringan yang menghibur, seringkali muncul berita mengenai pejabat negara.

Mulai dari kasus korupsi, komentar para anggota DPR yang tidak empatik, hingga perilaku pejabat yang mengecewakan public. Berita-berita yang muncul di social media misalnya Instagram atau tiktok ketika komentar dibuka maka kita akan membaca komentar netizen yang penuh amarah, kekecewaan, dan bahkan sinisme.

Saya pribadi merasakan hal serupa. Menggunakan social media sebagai hiburan tetapi muncul berita negatif tentang negara dan pejabat membuat emosi saya ikut terbawa. Ada rasa marah, kecewa, bahkan putus asa. Karena kondisi yang saya alami, saya memunculkan pertanyaan: mengapa kata-kata atau informasi semacam ini bisa begitu memengaruhi psikologis kita?

Mengapa Kita Merasakan Emosi Negatif dari berita?

Dalam psikologi, emosi muncul sebagai respons terhadap interpretasi terhadap peristiwa. Menurut teori appraisal kognitif (Lazarus,1991), emosi bukan hanya hasil dari apa yang terjadi, tetapi dari car akita menilai (appraisal) suatu peristiwa.

Ketika membaca berita pejabat korupsi atau pernyataan pejabat yang nir empat, misalnya appraisal kita bisa berupa “ini tidak adil bagi rakyat” atau “pejabat seharusnya empati terhadap rakyat, bukan malah seakan-akan ia adalah korban”. Dari appraisal inilah lahir emosi negatif seperti marah, muak, atau kecewa.

Selain itu, dalam teori moral emotions (Haidt, 2003), emosi seperti kemarahan moral muncul ketika kita merasa ada nilai moral yang dilanggar. Korupsi atau komentar pejabat yang nir empati bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi dianggap melukai nilai keadilan, empati, dan tanggung jawab yang penting bagi kehidupan bersama. Dari perspektif psikologi positif, reaksi emosional negatif bukanlah tanda kelemahan, melainkan manifestasi dari kepedulian yang mendalam terhadap kondisi negara dan masa depan masyarakat."

Ketika Emosi Menjadi Beban Psikologis

Namun, meskipun reaksi emosional itu menunjukkan kepedulian, keterpaparan yang terlalu intens terhadap berita negatif bisa berdampak buruk. Penelitian dalam bidang psikologi media (McNaughton-Cassill, 2001) menunjukkan bahwa paparan berita negatif secara berulang dapat meningkatkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak berdaya. Fenomena ini bahkan dikenal sebagai doomscrolling, yakni kebiasaan terus-menerus mencari berita buruk meski kita tahu itu membuat kita merasa lebih buruk (O’Reilly et al., 2020).

Dari sudut pandang psikologi positif, larut dalam emosi negatif yang terus-menerus dapat menggerus kapasitas kita untuk mengalami emosi positif, seperti harapan, rasa syukur, atau optimism yang sebenarnya penting untuk menjaga kesehatan mental dan daya lenting (resilience).

Bagaimana Cara Merespons dengan Sehat?

Di sinilah psikologi positif menawarkan strategi. Menurut teori broaden and build dari Barbara Fredrickson (2001), emosi positif memperluas cara berpikir kita dan membangun sumber daya psikologis jangka panjang. Artinya, meski tidak bisa menghindari sepenuhnya berita negatif, kita dapat menyeimbangkannya dengan pengalaman yang menumbuhkan emosi positif.

Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain:

Mindful media consumption

Menyaring informasi yang kita konsumsi. Mempraktikkan mindfulness saat membaca berita dengan menyadari bahwa emosi muncul dari interpretasi kita dapat membantu menjaga jarak psikologis.

Mencari positive opposite

Untuk setiap paparan berita negatif, sengaja mencari berita positif tentang kemajuan negara, inovasi anak muda, atau kisah inspiratif. Hal ini dapat menjaga keseimbangan perspektif.

Praktik self-compassion

Kristin Neff (2003) menekankan pentingnya berbelas kasih pada diri sendiri. Menyadari bahwa marah dan kecewa adalah reaksi manusiawi, tetapi kita juga perlu menjaga kesehatan mental kita dengan membatasi keterpaparan yang melelahkan.

Mengalihkan energi ke tindakan konstruktif

Alih-alih larut dalam kemarahan, energi emosional bisa diarahkan ke hal-hal yang membangun: berdiskusi sehat, bergabung dalam komunitas sosial, atau terlibat dalam gerakan kecil yang memberi kontribusi nyata. Ini sejalan dengan konsep meaning in life (Steger, 2012), di mana keterlibatan aktif dalam hal yang bermakna meningkatkan kesejahteraan subjektif.

Hiatus digital

Tidak sedikit orang yang memilih detox atau jeda dari media sosial. Hal ini bukan berarti apatis, tetapi strategi menjaga kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa digital detox dapat menurunkan tingkat stres dan meningkatkan well-being (van Koningsbruggen et al., 2018).

Menutup dengan Perspektif Positif

Akhirnya, ikut merasakan emosi negatif terhadap berita negara justru menandakan bahwa kita peduli. Namun, kepedulian ini perlu dikelola dengan bijak. Psikologi positif mengajarkan bahwa meski dunia penuh dengan tantangan, kita tetap bisa memilih untuk menumbuhkan harapan, optimisme, dan daya lenting. Dengan demikian, alih-alih hanya terjebak dalam kemarahan, kita dapat menjadikan emosi itu sebagai energi untuk tumbuh, berkontribusi, dan tetap menjaga kesehatan mental.

 

Penulis: Asmar Tahirman, mahasiswa Pascasarjana Psikologi UNY.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.