Telaah RUU Omnibus Kesehatan
Perumusan produk hukum sektor Kesehatan yang dirumuskan dalam metode Omnibus Law atau penyederhanaan sejumlah regulasi menjadi satu regulasi yang menyeluruh dengan harapan urusan dalam bidang kesehatan lebih mudah mulai dari pasien, tenaga kesehatan, apotek, rumah sakit hingga investor.
Disisi lain, penyederhanaan regulasi tersebut tentunya berisiko menghilangkan pasal-pasal penting karena cakupan yang luas dan harus disinkronisasikan.
Perumusan undang-undang tersebut tentu menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya tenaga kesehatan sebagai bentuk perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, perkara rancangan undang-undang kesehatan ini menjadi polemik pro-kontra antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPR RI dengan beberapa organisasi Profesi Kesehatan. Polemik yang terjadi terkait kewenangan organisasi profesi, terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan kehadiran tenaga kesehatan asing.
Sejak topik RUU Omnibus Kesehatan muncul pada September 2022, hingga hari ini belum ada titik temu antara pemerintah dan organisasi profesi. Mereka masing-masing menyampaikan argumentasinya di ruang publik tanpa adanya upaya mediasi dalam forum ilmiah untuk bersama-sama menemukan benang merah dari polemik RUU Omnibus Kesehatan ini.
RUU ini masuk sebagai Prolegnas prioritas DPR RI tahun 2020-2024. Salah satu pembahasan dalam RUU Omnibus Kesehatan yang sempat kontroversi yakni terkait tenaga Kesehatan asing yang dinilai mempermudah perizinan tenaga kesehatan asing tanpa kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas berpotensi mengancam keselamatan pasien.
Dalam pasal 236 mengenai tenaga medis dan kesehatan asing dapat melakukan praktik di fasilitas pelayanan kesehatan Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi. Hal ini menjadi kontroversi dan mengakibatkan kerawanan terhadap tenaga medis dan Kesehatan Indonesia tersingkirkan atas nama investasi.
Akibat dari polemik RUU Omnibus Kesehatan ini, tenaga medis dan kesehatan yang tergabung dalam organisasi profesi hingga mahasiswa kesehatan menyelenggarakan aksi damai dalam rangka menuntut pemberhentian pembahasan RUU Omnibus Kesehatan ini.
Menurut Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PBPDGI) setidaknya ada 12 alasan untuk menolak RUU Omnibus Kesehatan ini yaitu:
-
Penyusunan RUU Omnibus Kesehatan cacat prosedural dan dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi
-
RUU Omnibus Kesehatan mengancam keselamatan rakyat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga Kesehatan yang memiliki etika dan moral yang tinggi
-
RUU Omnibus Kesehatan mengabaikan hak masyarakat atas fasilitas pelayanan kesehatan yang layak bermutu dan manusiawi
-
RUU Omnibus kesehatan berpihak pada investor dengan mengabaikan hak-hak masyarakat, hak-hak tenaga medis dan kesehatan terhadap perlindungan hukum dan keselamatan pasien
-
RUU Omnibus Kesehatan mempermudah mendatangkan tenaga kesehatan asing yang berpotensi mengancam keselamatan pasien
-
Pendidikan kedokteran untuk menciptakan tenaga kesehatan murah bagi industri Kesehatan sejalan dengan masifnya investasi
-
Sentralisasi kewenangan Menteri Kesehatan yaitu kebijakan ditarik ke kementerian Kesehatan tanpa melibatkan masyarakat dan organisasi profesi mencederai semangat reformasi
-
Sarat kriminalisasi tenaga kesehatan dengan dimasukkannya pidana penjara dan denda dinaikkan hingga 3 (tiga) kali lipat
-
Pelemahan peran dan independensi konsil kedokteran Indonesia dan konsil tenaga kesehatan Indonesia dengan berada dan bertanggungjawab kepada Menteri (bukan kepada presiden lagi)
-
Kekurangan tenaga kesehatan merupakan permasalahan maldistribusi adalah kegagalan pemerintah bukan kesalahan organisasi profesi
-
RUU Omnibus Kesehatan hanya mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing tanpa kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas
-
RUU Omnibus Kesehatan mengancam ketahanan bangsa serta mengebiri peran organisasi profesi yang telah hadir untuk rakyat
Salah satu fraksi yang menolak draft rancangan undang-undang tentang kesehatan yaitu fraksi partai keadilan sejahtera yang berpendapat bahwa dalam draft rancangan undang-undang tentang kesehatan menghilangkan pengaturan terkait tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Menjamin pembiayaan rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu serta hilangnya pengaturan tentang penetapan tarif khusus kelas III rumah sakit. Ketiadaan pengaturan ini akan menimbulkan penetapan yang cenderung mengikuti harga keekonomian sehingga sangat mungkin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Terlebih jika mereka belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang sementara mereka tidak masuk kategori PBI.
Dalam pasal 422 ayat (1): ”Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan dilakukan melalui penyelenggaraan program jaminan Kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan/atau asuransi kesehatan komersil”.
Pasal ini juga menjadi perhatian karena dapat menimbulkan multitafsir dimana dapat menimbulkan asumsi bahwa asuransi kesehatan komersil merupakan substitusi dari pelayanan yang tidak bisa diberikan oleh BPJS Kesehatan.
Sehingga peserta BPJS harus membayar asuransi kesehatan komersil karena pelayanan BPJS yang seharusnya mereka dapatkan tidak bisa didapatkan dengan berbagai alasan. Padahal BPJS seharusnya memenuhi keperluan dasar kesehatan dengan standar pelayanan yang baik bagi pasien
Kehadiran UU ini bisa menjadi payung hukum yang dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan secara khusus dan masyarakat secara umum.
Kehadiran UU ini juga bisa menjadi landasan kekokohan atas kewenangan dari organisasi profesi yang selama ini sudah hadir untuk masyarakat. Dengan adanya UU ini juga diharapkan mampu menyelesaikan sengketa atas polemik organisasi profesi yang selama ini bermasalah.
Maka dari itu, sebelum sampai pada tahap pengesahan menjadi Undang-undang, pembahasan RUU Omnibus kesehatan ini haruslah bersifat partisipatif dari semua elemen termasuk masyarakat sipil dan organisasi profesi.
Diskusi tentang RUU Kesehatan ini pula harus terus dimassifkan karena menyangkut pelayanan kesehatan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan demi mewujudkan pelayanan Kesehatan yang optimal.
Penulis: Andi Akram Al Qadri, pemerhati kesehatan. Dapat dihubungi melalui Instagram @akramalqadri.