Bunga Abadi di Puncak Sunyi
Wajah yang Selalu Menghadap Pagi
Aku tak punya banyak waktu untuk menatap bayangan
atau sekadar meratapi malam yang baru saja pergi.
Wajahku hanya tertuju satu arah, satu tujuan:
menemukan di mana sinar mentari bersembunyi.
Orang bilang aku terlalu naif dan setia
selalu mengikuti satu sumber terang saja.
Padahal, ini pilihan paling benar juga sadar
untuk menolak gelap, untuk menolak pudar.
Jangan tanya mengapa aku selalu tampak tegar
meski awan kelabu seringkali datang menyapa.
Sebab aku tahu, di balik mendung terkelam sekalipun
mentari yang kurindukan tetap sabar menunggu di sana.
Yogyakarta, Agustus 2025
*
Cantik yang Menyimpan Duri
Orang-orang hanya memuji kelopakku yang ranum
warna merahku diibaratkan senja paling berani.
Mereka ingin memetikku, membawaku pulang
menjadikanku hiasan di dalam vas kaca sunyi.
Mereka tak pernah bertanya tentang duri-duriku
yang tumbuh perlahan dari setiap luka dan kecewa.
Tenang, ia bukan senjata untuk menyerang siapa-siapa
ia hanya pagar penjaga hatiku yang paling rapuh.
Jika kau sungguh ingin mengenalku
jangan hanya terpikat pada mekarku.
Sapalah dulu duri-duri tajamku itu
karena di sanalah tersimpan semua ceritaku.
Yogyakarta, Agustus 2025
*
Kesunyian yang Putih
Aku tak tumbuh di keramaian pasar
aku mekar di sudut-sudut terhening.
Warnaku adalah putih mulus bersih
warna yang tak pandai sembunyikan apa-apa.
Harumku bukanlah wangi yang riuh dan genit
hanya sebuah doa yang kuembuskan perlahan.
Sebuah bisikan tentang kesetiaan yang tak pernah padam
serta kepasrahan pada takdir yang telah digariskan.
Orang bilang aku bunga perayaan suci
untuk mengantar kepergian paling abadi.
Barangkali, karena aku tak menawarkan tawa
hanya menawarkan ketenangan paling setia.
Yogyakarta, Agustus 2025
*
Bunga Abadi di Puncak Sunyi
Aku tak memilih tumbuh di taman yang subur
aku memilih tebing paling curam juga sunyi.
Di sini, hanya angin dan kabut jadi tamu harianku
tempat aku belajar mekar tanpa perlu dipuji-puji.
Kelopakku tak selembut sutra atau seindah pelangi
ia sedikit kaku, seperti kertas yang abadi.
Ia jadi bukti bahwa keindahan tak harus rapuh
ia bisa lahir dari dingin, badai, juga kerasnya batu.
Orang-orang harus mendaki untuk menemukanku
mereka bilang aku lambang cinta yang tak lekang.
Barangkali, karena aku tak mudah layu setelah dipetik
aku adalah janji yang menolak untuk jadi kenangan.
Yogyakarta, Agustus 2025
*
Kertas Bunga yang Tahan Bara
Kelopakku tipis seperti kertas minyak berwarna
tampak ringkih, seolah akan sobek jika disentuh angin.
Orang sering salah sangka, menganggapku manja
tak tahu bahwa aku tumbuh dari akar paling dingin.
Aku selalu mekar paling meriah di tengah terik terkejam
saat bunga-bunga lain memilih untuk layu menunduk.
Aku tak butuh banyak air atau tanah gembur subur
hanya butuh sedikit ruang tuk buktikan aku tangguh.
Di balik rimbun kertasku yang berwarna-warni
aku menyimpan ranting-ranting penuh duri.
Bukan untuk melukai, hanya sebagai pengingat
bahwa yang terlihat paling rapuh, seringkali yang terkuat.
Yogyakarta, Agustus 2025
Penulis: Maria Utami, seorang ibu rumah tangga yang aktif menulis puisi lagi tahun ini. Hal ini karena rasa cintanya pada puisi tak pernah padam. Baginya, tidak ada kata terlambat untuk terus berkarya. Ia telah beberapa kali menjadi penulis terpilih dalam berbagai event kepenulisan antologi puisi. Dapat didukung atau disapa melalui akun Instagram: @maria.oetami.