Sat, 06 Sep 2025
Puisi / Maria Utami / Aug 31, 2025

Bunga Abadi di Puncak Sunyi

Wajah yang Selalu Menghadap Pagi

 

Aku tak punya banyak waktu untuk menatap bayangan

atau sekadar meratapi malam yang baru saja pergi.

Wajahku hanya tertuju satu arah, satu tujuan:

menemukan di mana sinar mentari bersembunyi.

 

Orang bilang aku terlalu naif dan setia

selalu mengikuti satu sumber terang saja.

Padahal, ini pilihan paling benar juga sadar

untuk menolak gelap, untuk menolak pudar.

 

Jangan tanya mengapa aku selalu tampak tegar

meski awan kelabu seringkali datang menyapa.

Sebab aku tahu, di balik mendung terkelam sekalipun

mentari yang kurindukan tetap sabar menunggu di sana.

 

Yogyakarta, Agustus 2025

 

*

 

Cantik yang Menyimpan Duri

 

Orang-orang hanya memuji kelopakku yang ranum

warna merahku diibaratkan senja paling berani.

Mereka ingin memetikku, membawaku pulang

menjadikanku hiasan di dalam vas kaca sunyi.

 

Mereka tak pernah bertanya tentang duri-duriku

yang tumbuh perlahan dari setiap luka dan kecewa.

Tenang, ia bukan senjata untuk menyerang siapa-siapa

ia hanya pagar penjaga hatiku yang paling rapuh.

 

Jika kau sungguh ingin mengenalku

jangan hanya terpikat pada mekarku.

Sapalah dulu duri-duri tajamku itu

karena di sanalah tersimpan semua ceritaku.

 

Yogyakarta, Agustus 2025

 

*

 

Kesunyian yang Putih

 

Aku tak tumbuh di keramaian pasar

aku mekar di sudut-sudut terhening.

Warnaku adalah putih mulus bersih 

warna yang tak pandai sembunyikan apa-apa.

 

Harumku bukanlah wangi yang riuh dan genit

hanya sebuah doa yang kuembuskan perlahan.

Sebuah bisikan tentang kesetiaan yang tak pernah padam

serta kepasrahan pada takdir yang telah digariskan.

 

Orang bilang aku bunga perayaan suci

untuk mengantar kepergian paling abadi.

Barangkali, karena aku tak menawarkan tawa

hanya menawarkan ketenangan paling setia.

 

Yogyakarta, Agustus 2025

 

*

 

Bunga Abadi di Puncak Sunyi

 

 

Aku tak memilih tumbuh di taman yang subur

aku memilih tebing paling curam juga sunyi.

Di sini, hanya angin dan kabut jadi tamu harianku

tempat aku belajar mekar tanpa perlu dipuji-puji.

 

Kelopakku tak selembut sutra atau seindah pelangi

ia sedikit kaku, seperti kertas yang abadi.

Ia jadi bukti bahwa keindahan tak harus rapuh

ia bisa lahir dari dingin, badai, juga kerasnya batu.

 

Orang-orang harus mendaki untuk menemukanku

mereka bilang aku lambang cinta yang tak lekang.

Barangkali, karena aku tak mudah layu setelah dipetik

aku adalah janji yang menolak untuk jadi kenangan.

 

Yogyakarta, Agustus 2025

 

*

 

Kertas Bunga yang Tahan Bara

 

Kelopakku tipis seperti kertas minyak berwarna

tampak ringkih, seolah akan sobek jika disentuh angin.

Orang sering salah sangka, menganggapku manja

tak tahu bahwa aku tumbuh dari akar paling dingin.

 

Aku selalu mekar paling meriah di tengah terik terkejam

saat bunga-bunga lain memilih untuk layu menunduk.

Aku tak butuh banyak air atau tanah gembur subur

hanya butuh sedikit ruang tuk buktikan aku tangguh.

 

Di balik rimbun kertasku yang berwarna-warni

aku menyimpan ranting-ranting penuh duri.

Bukan untuk melukai, hanya sebagai pengingat

bahwa yang terlihat paling rapuh, seringkali yang terkuat.

 

Yogyakarta, Agustus 2025



Penulis: Maria Utami, seorang ibu rumah tangga yang aktif menulis puisi lagi tahun ini. Hal ini karena rasa cintanya pada puisi tak pernah padam. Baginya, tidak ada kata terlambat untuk terus berkarya. Ia telah beberapa kali menjadi penulis terpilih dalam berbagai event kepenulisan antologi puisi. Dapat didukung atau disapa melalui akun Instagram: @maria.oetami.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.