Sat, 06 Sep 2025

Dipangkas dan Dibungkam

Dipangkas dan Dibungkam

 

Katamu: kuliah gratis

tapi kami tetap berbaris mengantre utang,

menunggu kabar aju banding,

Sementara, gedung tinggi kian bertambah

di tempat janji tak pernah ditunaikan.

 

Kami anak bangsa, 

tapi anggaran tak berpihak,

pendidikan—hanya catatan kaki di

dalam rapat yang lebih memilih senjata

ketimbang pena.

 

Kau sebut kami “calon generasi emas”

tapi kami hanya alas kaki

di bawah meja retorika yang dingin.

 

Aku bersuara, 

tapi masuk ke ruang hampa.

Suaraku tak memantul,

karena negeri ini lebih suka

bisikan dari panggung boneka.

 

Jika ini negeri demokrasi,

mengapa suara kami dipangkas seperti anggaran?

 

Yogyakarta, 14 Juni 2025

 
*
 
 

Sejarah yang Redup


Aku pernah mendengar cerita

tentang kata-kata yang lahir

di antara senapan dan meja sensor.

Bagaimana huruf-huruf yang rapuh

berani menembus pintu besi

untuk sekadar menyebut kebenaran.


Malam itu, lembar demi lembar

jatuh seperti hujan abu,

membungkus tubuh para penyair sunyi

yang tak sempat pulang,

yang memilih menggenggam kabar

meski tangan mereka gemetar.


Ada suara yang tak kau baca

tersimpan di kolom kosong,

ada cerita yang tak sempat dicetak

karena di luar jendela

mata-mata menunggu

dengan daftar nama

dan tinta hitam yang dingin.


Tapi siapa bisa menghapus

jejak langkah di antara gulungan kertas?

Siapa bisa memadamkan

suara yang tumbuh dari takut

dan menjadi keberanian?


Mereka bilang, kami menulis

untuk sejarah yang tak pasti.

Namun, malam ini aku percaya

suara itu akan tetap berdenyut

meski tak pernah kau lihat nadinya,

meski sunyi selalu ingin memenjarakan.


Di antara halaman yang diam,

kami terus hidup.


Yogyakarta, Juli 2025

 
*
 
 

Pulang


Aku pernah mencoba menamai luka,

tapi ia tumbuh jadi rumah—

pintunya terkunci,

menyimpan bau kapur

dan serpih ingatan

yang lapuk di lantai dada.


Orang-orang berlalu,

mereka tak tahu:

mataku menampung cerita yang retak,

berdiri setengah remuk,

menggigil di antara parade sunyi.


Kadang aku ingin meninggalkan tubuh ini,

menyusuri lorong-lorong sepi

mencari serpih diriku

yang hilang ketika waktu

menggerogoti semua yang kupeluk.


Malam sering mengajakku bicara,

tapi ia hanya menatap

dengan tatapan kosong

yang membuatku lebih paham:

tak semua yang pecah

perlu disatukan kembali.


Di sini aku tinggal,

menjaga reruntuhan,

membiarkannya berdebu,

agar aku tak lupa

bagaimana rasanya kehilangan.


Dan barangkali,

di ujung sunyi yang tak bernama,

aku akan belajar memanggilnya rumah.


Yogyakarta, 28 Juni 2025

 

 

Penulis: Sahda Huwaidah Estiningtyas, mahasiswa Statistika UGM dan penulis lepas.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.