Sejarah yang Redup
Aku pernah mendengar cerita
tentang kata-kata yang lahir
di antara senapan dan meja sensor.
Bagaimana huruf-huruf yang rapuh
berani menembus pintu besi
untuk sekadar menyebut kebenaran.
Malam itu, lembar demi lembar
jatuh seperti hujan abu,
membungkus tubuh para penyair sunyi
yang tak sempat pulang,
yang memilih menggenggam kabar
meski tangan mereka gemetar.
Ada suara yang tak kau baca
tersimpan di kolom kosong,
ada cerita yang tak sempat dicetak
karena di luar jendela
mata-mata menunggu
dengan daftar nama
dan tinta hitam yang dingin.
Tapi siapa bisa menghapus
jejak langkah di antara gulungan kertas?
Siapa bisa memadamkan
suara yang tumbuh dari takut
dan menjadi keberanian?
Mereka bilang, kami menulis
untuk sejarah yang tak pasti.
Namun, malam ini aku percaya
suara itu akan tetap berdenyut
meski tak pernah kau lihat nadinya,
meski sunyi selalu ingin memenjarakan.
Di antara halaman yang diam,
kami terus hidup.
Yogyakarta, Juli 2025
*
Pulang
Aku pernah mencoba menamai luka,
tapi ia tumbuh jadi rumah—
pintunya terkunci,
menyimpan bau kapur
dan serpih ingatan
yang lapuk di lantai dada.
Orang-orang berlalu,
mereka tak tahu:
mataku menampung cerita yang retak,
berdiri setengah remuk,
menggigil di antara parade sunyi.
Kadang aku ingin meninggalkan tubuh ini,
menyusuri lorong-lorong sepi
mencari serpih diriku
yang hilang ketika waktu
menggerogoti semua yang kupeluk.
Malam sering mengajakku bicara,
tapi ia hanya menatap
dengan tatapan kosong
yang membuatku lebih paham:
tak semua yang pecah
perlu disatukan kembali.
Di sini aku tinggal,
menjaga reruntuhan,
membiarkannya berdebu,
agar aku tak lupa
bagaimana rasanya kehilangan.
Dan barangkali,
di ujung sunyi yang tak bernama,
aku akan belajar memanggilnya rumah.
Yogyakarta, 28 Juni 2025
Penulis: Sahda Huwaidah Estiningtyas, mahasiswa Statistika UGM dan penulis lepas.