Ia yang Turun Bersama Hujan
Ia Yang Turun Bersama Hujan
I. SEBELUM HUJAN TURUN
Pada musim yang belum diberi nama,
ia datang dengan buku dan luka,
di tangan kirinya pamflet revolusi,
di tangan kanannya setangkai bunga mimpi.
Aku menyambutnya seperti sore,
Tepat sebelum senja
di tengah kota yang gemetar oleh suara sepatu tentara.
Menyusun rencana di antara segelas bir dan kode rahasia:
Sebuah dongeng
tentang jatuhnya rezim, dan tentang kita.
Malam-malam bukan lagi sekadar,
peta strategi dan puisi yang dikubur dalam batu.
Cinta, katamu, adalah bentuk perlawanan paling sunyi
yang tak bisa dipenjara atau dibakar habis oleh api.
II. HUJAN PERTAMA
Lalu hujan itu datang tanpa aba-aba,
menjelma kabar burung dan gas air mata.
Kami berlari di lorong-lorong kota, diantara petak rumah berhimpit
di mana kelaparan bersaksi lebih jujur dari berita.
Kau tersenyum di balik masker basahmu,
dalam remang revolusi dan deras rintik malam itu.
"Kita akan menang," bisikmu, bukan karena yakin,
tapi karena tak ada pilihan lain.
Harapan jadi kasur paling nyaman bagi keputusasaan.
Aku mencium dahimu di balik poster yang koyak,
dan menulis puisi di saku jaketmu dengan air hujan.
Setiap tetesnya membawa ingatan,
tentangmu—yang menjadi sebab aku melawan.
III. KETIKA PETIR TAK LAGI BERGEMA
Ada malam yang tak sanggup kami tebus,
di mana jalanan lebih sepi dari keyakinan.
Kau ditangkap, lalu hilang dalam daftar yang dilupakan,
Tentu….lebih sesal dari dosa pertama kita
Kini
namamu hanya tinggal nyala samar di meja penyair.
Aku mencarimu dalam mimpi, dalam siaran berita pagi,
dalam sajak-sajak yang tak lagi bisa kutuliskan.
Dan hujan, hujan—ia datang terus menerus,
seolah ikut berduka atas tubuhmu yang tak lagi bisa kuraba.
Revolusi berjalan tanpa kita sepenuhnya,
tapi cintaku tetap tinggal di antara payung-payung
yang basah oleh kenangan dan barikade waktu.
Aku tahu, revolusi tak selalu butuh saksi yang hidup.
IV. SESUDAH SEGALANYA
Kini kota telah tenang seperti halaman buku yang ditutup,
dan hujan masih setia turun,
sekarang ada fotomu memegang bunga dan poster,
Orang-orang bertanya, siapa dia?
Aku jawab dengan senyum yang tak selesai:
ia yang mencintai dan melawan dalam satu waktu, ia yang bangkit dan habis bersamaan.
Di taman tempat kita pernah coba mengintip masa depan,
aku menanam kembali ingatan pada bangku taman.
Cinta, katamu dulu, bukan untuk dikenang—
tapi untuk dijalani sampai akhir, bahkan dalam kehilangan.
Dan hujan? Tetap saja turun
Seperti katamu, meski tak lagi membasahi kita.
*
Ia Yang Tinggal Sebagai Bisik
selembar bayang di antara bayonet dan buku,
tak pernah benar-benar mati,
meski dilenyapkan sebelum pagi.
Ia :
Berserak dalam kata yang dikhianati sejarah,
ia tinggal sebagai bisik
di kepala yang tak mau tunduk. Pada kenyataan.
*
Malam Itu, Sebuah Keringat Menghilang
“Malam Itu, Sebuah Keringat Menghilang”
Malam seperti jari yang merayap pelan,
menyentuh dinding-dinding ingatan yang retak—
punggungmu penuh luka
ada bau tembakau basah dan bisikan
sepenggal nama yang tak selesai dieja.
Aku ingat,
keringatmu mengering,
sementara suara peluru
menggunting sunyi seperti pisau cukur yang tak pernah tumpul.
Tidak ada yang berani bicara,
karena kata-kata patah di mulut,
dan waktu seperti kain yang sobek,
dijahit ulang dengan benang yang salah warna.
Di pojok rumah,
cahaya rembulan menari di atas botol tua,
dan aku menunggu—
entah siapa yang kembali dari mimpi buruk itu.
hanya gelap.
Malam itu terlupa,
adalah bau yang tak berwujud,
dan keringat yang menghilang tanpa saksi.
*
Malam yang Menyisakan
detik—detik—detik
jatuh seperti peluru selesai di udara,
di antara daun-daun yang gemetar,
di antara suara-suara
yang lupa.
keringatmu—
jatuh, menghilang—
seperti waktu yang teriris,
bukan lagi cerita,
tapi sepenggal bayang di dinding.
lampu redup,
mendung mengantuk,
dan di luar,
ada jejak-jejak yang tak pernah bertanya—
tentang siapa yang masih,
yang tenggelam, yang sunyi atau yang
malam adalah retakan,
tempat di mana kita tak berani mengulang,
dan aku,
hanya menunggu,
dengan suara yang terbelah—
antara lupa dan coba mengingat.
Sembari menghafal nama.
Palur, 2025
Penulis: Okki Munanda, mengelola Kedai Lahan Subur. Kadang-kadang membaca juga menulis, aktif menulis naskah dan menggarap pertunjukan monolog di kolektif pinggiran seni pertunjukan “Monolog Pejalan”.