Mon, 11 Aug 2025
Puisi / Okki Munanda / Aug 10, 2025

Ia yang Turun Bersama Hujan

Ia Yang Turun Bersama Hujan

 

I. SEBELUM HUJAN TURUN

 

Pada musim yang belum diberi nama,

ia datang dengan buku dan luka,

di tangan kirinya pamflet revolusi,

di tangan kanannya setangkai bunga mimpi.

 

Aku menyambutnya seperti sore,

Tepat sebelum senja

 

di tengah kota yang gemetar oleh suara sepatu tentara.

Menyusun rencana di antara segelas bir dan kode rahasia:

Sebuah dongeng

tentang jatuhnya rezim, dan tentang kita.

 

Malam-malam bukan lagi  sekadar,

peta strategi dan puisi yang dikubur dalam batu.

 

Cinta, katamu, adalah bentuk perlawanan paling sunyi

yang tak bisa dipenjara atau dibakar habis oleh api.

 

II. HUJAN PERTAMA

 

Lalu hujan itu datang tanpa aba-aba,

menjelma kabar burung dan  gas air mata.

Kami berlari di lorong-lorong kota, diantara petak rumah berhimpit

di mana kelaparan bersaksi lebih jujur dari berita.

 

Kau tersenyum di balik masker basahmu,

dalam remang revolusi dan deras rintik malam itu.

"Kita akan menang," bisikmu, bukan karena yakin,

tapi karena tak ada pilihan lain.

 

Harapan jadi kasur paling nyaman bagi keputusasaan. 

 

Aku mencium dahimu di balik poster yang koyak,

dan menulis puisi di saku jaketmu dengan air hujan.

Setiap tetesnya membawa ingatan,

tentangmu—yang menjadi sebab aku melawan.

 

III. KETIKA PETIR TAK LAGI BERGEMA

 

Ada malam yang tak sanggup kami tebus,

di mana jalanan lebih sepi dari keyakinan.

Kau ditangkap, lalu hilang dalam daftar yang dilupakan,

Tentu….lebih sesal dari dosa pertama kita

Kini

 

namamu hanya tinggal nyala samar di meja penyair.

 

Aku mencarimu dalam mimpi, dalam siaran berita pagi,

dalam sajak-sajak yang tak lagi bisa kutuliskan.

Dan hujan, hujan—ia datang terus menerus,

seolah ikut berduka atas tubuhmu yang tak lagi bisa kuraba.

 

Revolusi berjalan tanpa kita sepenuhnya,

tapi cintaku tetap tinggal di antara payung-payung

yang basah oleh kenangan dan barikade waktu.

Aku tahu, revolusi tak selalu butuh saksi yang hidup.

 

IV. SESUDAH SEGALANYA

 

Kini kota telah tenang seperti halaman buku yang ditutup,

dan hujan masih setia turun,

sekarang ada fotomu memegang bunga dan poster,

Orang-orang bertanya, siapa dia?

 

Aku jawab dengan senyum yang tak selesai:

ia yang mencintai dan melawan dalam satu waktu, ia yang bangkit dan habis bersamaan.

Di taman tempat kita pernah coba mengintip masa depan,

aku menanam kembali ingatan pada bangku taman.

 

Cinta, katamu dulu, bukan untuk dikenang—

tapi untuk dijalani sampai akhir, bahkan dalam kehilangan.

Dan hujan? Tetap saja turun

Seperti katamu, meski tak lagi membasahi kita.

 

*

 

Ia Yang Tinggal Sebagai Bisik

 

selembar bayang di antara bayonet dan buku,

tak pernah benar-benar mati,

meski dilenyapkan sebelum pagi.

 

Ia :

Berserak dalam kata yang dikhianati sejarah,

ia tinggal sebagai bisik

di kepala yang tak mau tunduk. Pada kenyataan.


*

 

Malam Itu, Sebuah Keringat Menghilang

 

“Malam Itu, Sebuah Keringat Menghilang”

 

Malam seperti jari yang merayap pelan,

menyentuh dinding-dinding ingatan yang retak—

punggungmu penuh luka

ada bau tembakau basah dan bisikan

sepenggal nama yang tak selesai dieja.

 

Aku ingat,

keringatmu mengering,

sementara suara peluru

menggunting sunyi seperti pisau cukur yang tak pernah tumpul.

 

Tidak ada yang berani bicara,

karena kata-kata patah di mulut,

dan waktu seperti kain yang sobek,

dijahit ulang dengan benang yang salah warna.

 

Di pojok rumah,

cahaya rembulan menari di atas botol tua,

dan aku menunggu—

entah siapa yang kembali dari mimpi buruk itu.

 

hanya gelap.

Malam itu terlupa,

adalah bau yang tak berwujud,

dan keringat yang menghilang tanpa saksi.


*

 

Malam yang Menyisakan

 

detik—detik—detik

jatuh seperti peluru selesai di udara,

di antara daun-daun yang gemetar,

di antara suara-suara

yang lupa.

 

keringatmu—

jatuh, menghilang—

seperti waktu yang teriris,

bukan lagi cerita,

tapi sepenggal bayang di dinding.

 

lampu redup,

mendung mengantuk,

dan di luar,

ada jejak-jejak yang tak pernah bertanya—

tentang siapa yang masih,

yang tenggelam, yang sunyi atau yang

 

malam adalah retakan,

tempat di mana kita tak berani mengulang,

 

dan aku,

hanya menunggu,

dengan suara yang terbelah—

antara lupa dan coba mengingat.

Sembari menghafal nama.

 

Palur, 2025

 
 
Penulis: Okki Munandamengelola Kedai Lahan Subur. Kadang-kadang membaca juga menulis, aktif menulis naskah dan menggarap pertunjukan monolog di kolektif pinggiran seni pertunjukan “Monolog Pejalan”. 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.