Semu Sebelum Temu
Semu Sebelum Temu
Kita pernah jadi rumah
yang tak pernah selesai dibangun— atapnya dari tawa,
dindingnya dari potongan waktu yang kita bagi. Kita berteduh di situ,
tanpa tahu apakah kita sedang tinggal atau hanya singgah.
Tak ada temu,
hanya jarak yang kita rawat dengan huruf-huruf di layar. Dan dari sana,
aku mengenal suaramu lewat diam, mengenal hatimu lewat jeda.
Namun akhir datang
bukan dengan pertengkaran, bukan dengan kata pisah— hanya hening
yang tiba-tiba betah tinggal di antara kita. Percakapan terhenti,
seketika gelap merambat.
Mungkin itu ego, mungkin sekadar lelah,
atau mungkin kita memang hanya kabut yang tak pernah menjadi hujan.
Tak pasti, tak selesai,
dan kini asing terasa begitu akrab.
Kita hanyalah cerita yang tak punya bab akhir, hubungan yang hanya hidup di antara
salam pembuka dan titik tiga. Semu sebelum temu—
dan mungkin,
takkan pernah temu sama sekali.
*
Lenyap
Kupintal rindu dari benang senja,
kuselipkan di antara bisik angin.
Namun langit menutup pintunya
sebelum doa sempat mengetuk.
Bintang-bintang pernah kutitipkan namamu,
tapi satu per satu padam
di telapak malam.
Yang tersisa hanyalah gelap
yang menelan arah pulang.
Kupeluk bayangmu
hingga jariku berdebu,
namun pelukan itu kosong—
seperti meraih air
yang mengalir dari sela tangan.
Kini, segala yang kupahat dalam hati
menjadi reruntuh sunyi.
Tak ada warna, tak ada suara,
hanya gemuruh yang mengendap
di lorong dada.
Dan aku mengerti…
ada mimpi yang memang dicipta
untuk hilang,
untuk menjadi angin,
untuk lenyap—
seperti hujan yang mati
di udara.
Penulis: Evy Uswatun Hasanah, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo.