Senja Mengantar Duka
Sepotong senja mengantar duka
Menggores pilu di bawah bayang-bayang mentari
Yang akan tenggelam ke dalam bumi
Seketika aku menjerit dalam ruang ingatan yang kusut,
Karena waktu membawa jiwa tuk berdiri di puing-puing kenangan yang roboh,
Tak dapat memungut serpihan harap walau hanya seuntai kisah.
Menahan tiap tetesan yang hendak jatuh di pelupuk mata, karena malu.
Tetapi, bendungan air mata ini tak kuat lagi dalam menyimpan duka
Hingga percikan-percikan kesedihan pun jatuh dengan deras
Menangisi realita yang tak lagi memihak.
Tersadar, walau rasa yang pernah bermuara di hati
Telah terkubur oleh waktu dan jarak,
Hingga bayang-bayangnya tak lagi mampu menghipnotis jiwa.
Walau demikian, kenangan yang terukir di lembaran lalu tak akan lenyap,
Karena telah abadi dalam memori,
Itulah yang menjadikan hati terpenjara
Di jeruji waktu yang berkepanjangan.
Kini jiwa diperhadapkan oleh realita yang telah lama dinanti
Mengurai atas teka-teki yang meresahkan hari.
Realita kembali berargumentasi dengan menyodorkan data rasionalnya
Menjadikan rasa berkasus atas goresan yang tercipta di dasar hati.
Menjadikan rasa yang pernah membersamai di hari yang telah lalu,
Kini kembali meresahkan sebongkah hati ini
Gelap menjadi saksi, bahwa ribuan bait doa pernah terpanjatkan
Untuk kisah ini di atas permadani suciku
Menabung harap kepada Sang Pemilik Cinta
Agar secercah harap dapat kupetik di episode akan datang.
Namun, Sang Penguasa Alam melukis rencana lain di ceritaku akan datang
Aku pun terdiam
Memaksa jiwa tuk bermuhasabah dalam kesunyian.
Keharusan tuk belajar mengambil ibrah
Ditiap-tiap bangunan harap yang berdiri kokoh,
Namun roboh karena hempasan takdir
Yang melulu lantahkan harapan.
Kuharap, ketika semuanya telah redah
Ia meninggalkan lentera hikmah dalam jiwa
Agar dijadikan pelita di kisah akan datang.
Penulis: Kasmira, alumni Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Alauddin Makassar.