Hikayat Negeri yang Dimakan Sendiri
Di sebuah kepulauan di bawah garis khatulistiwa, berdirilah sebuah negeri yang konon gemah ripah. Di sudut desa yang sunyi, seorang anak kecil menanam sebuah biji di tanah yang lembut.
Matanya berbinar, berharap biji itu kelak menjadi pohon raksasa pemberi naungan. Namun tanah itu, meski diguyur cahaya matahari, selalu gelisah. Ia tak pernah benar-benar tahu siapa tuannya, dan siapa pencurinya.
Tanah itu menggeliat dalam kebingungan, bertanya pada akar dan angin: “Untuk siapa aku diciptakan? Untuk memberi hidup, atau untuk digali hingga mati?” Ia menunggu jawaban, tapi yang datang hanyalah jejak sepatu bot dan bayang-bayang kekuasaan.
Malam itu, langit di Pulau Barat tidak sekadar gelap. Ia memikul beban yang tak wajar. Badai besar bernama “Siklon Tropis Senyar” datang dari lautan jauh, membawa hujan yang mengguyur tanpa ampun. Awan-awan hitam berkumpul seperti tentara tanpa jenderal, menggedor pintu tanah yang sudah rapuh.
Di Pusat Kota, para Penjaga Menara Gading yang selalu rapi dengan pakaian kering dan sepatu mengkilap segera menudingkan telunjuk ke langit. “Lihat!” seru mereka lantang. “Ini tidak biasa! Badai tropis langka inilah penjahatnya!” Di samping mereka, berdiri Direktur dengan pakaian bergaris.
Senyumnya licik, namun ia mengangguk khidmat, seolah-olah setuju bahwa awan adalah satu-satunya terdakwa. Matanya yang tajam tidak melihat hujan, melainkan menghitung peluang di balik kekacauan.
Sementara itu, di pengungsian yang basah, rakyat saling melirik. Ketakutan bercampur dengan amarah yang tertahan. Di sela bisik-bisik, mereka menyusun satu kebenaran kecil: “Pemicunya memang dari langit. Tapi pembunuhnya ada di meja kalian.”
Sesungguhnya, jauh sebelum badai mengetuk pintu, raksasa-raksasa tak kasat mata sudah lama menari di atas punggung negeri. Mereka bukan manusia, melainkan roh keserakahan yang menjelma menjadi angka statistik.
Di bawah mantra sihir bernama “Pertumbuhan Ekonomi”, mereka tumbuh seperti benalu. Mantra ini menghisap sari bumi tanpa ampun:
Sebuah keluarga di desa tercekik saat tagihan air melonjak dua kali lipat, ironis di negeri yang kaya air. Seorang nelayan pulang dengan jaring kosong, sebab lautnya telah keruh oleh limbah. Hutan-hutan berubah menjadi kuburan akar, digantikan oleh ladang monokultur dan lubang tambang yang menganga seperti mulut yang tak pernah kenyang.
Di Hutan Purba, tempat roh leluhur bersembunyi, sungai-sungai besar dicekik. Beton membungkam mulut air, memaksa sungai menjadi budak turbin demi janji “energi masa depan”. Keajaiban alam dibiarkan membusuk, diganti dengan ilusi kemajuan.
Senjata terkuat raksasa itu adalah selembar kertas bernama “Izin”. Ini adalah jampi-jampi sakti yang mengubah kehancuran menjadi legalitas. Dalam sekejap, hutan lindung berubah status menjadi lahan produksi. Semua tahu proyek ini busuk, namun suara gergaji mesin dan gemerincing koin jauh lebih nyaring daripada jeritan pohon yang tumbang.
Para tetua desa sudah lama mengingatkan: “Tanah ini berbukit dan rapuh. Jika kepalanya kau gunduli dan perutnya kau belah, ia tak akan punya tangan untuk memeluk air.” Tapi Raksasa itu tuli. Ia lebih memilih nyanyian mesin daripada nasihat angin.
Maka datanglah hari penagihan itu. Angin Asing memanggil hujan, dan langit menumpahkan seluruh air matanya dalam semalam. Tanah yang sudah “yatim”, kehilangan pohon pelindungnya, menjerit. Ia tak sanggup menahan air, lalu menyerah. Ia berubah menjadi bubur cokelat yang lapar, meluncur turun menelan apa saja. Di dasar lembah, bukit yang dulu kokoh runtuh.
Lumpur menelan harapan. Ia menghancurkan rumah, sekolah, dan menenggelamkan masa depan. Seorang anak ditemukan memeluk buku yang basah lumpur, menggenggam sisa mimpi yang karam. Malam turun tanpa bintang. Jembatan patah. Desa terputus.
Namun, di layar kaca, kisah lain diputar. Kamera menyorot wajah-wajah pejabat yang pura-pura peduli. Pasukan penjaga membagikan tenda dan mi instan dengan logo partai. Dan inilah ironi yang paling menyakitkan: Sementara rakyat menangis di atas puing, Pasar Saham menari.
Saham perusahaan tambang dan konstruksi melonjak 30 persen. Para pemilik modal berpesta di atas grafik yang naik, tepat di saat air bah menenggelamkan atap rumah warga.
“Kami akan mengevaluasi,” bisik Tuan Penjaga dengan senyum yang dipinjam dari katalog. “Sebelum tanah ini mengering, kami akan bertindak.” Tangannya merogoh saku, mengeluarkan catatan kecil bertuliskan ‘Prioritas Bencana’. Namun, tulisan di pinggir kertas itu membocorkan isi kepalanya: 1. Menimbang warna tenda yang bagus di kamera.2. Menambah stok mi instan.3. Mengecek kualitas pencahayaan untuk foto selfie saat tinjauan lapangan.
Janji evaluasi itu menguap bersama kabut pagi. Tuan yang lain melafalkan mantra baru: “Kita harus memulihkan alam.” Kata-kata manis yang berfungsi seperti pewangi ruangan, hanya menutupi bau busuk sebentar saja. Sebab di belakang panggung, izin tambang baru terus ditandatangani, jauh dari lumpur yang menempel di kaki rakyat.
Kini, di balik bukit yang belum runtuh, Raksasa itu masih bernapas. Ia sedang beristirahat, menunggu tanah kering agar cakar besinya bisa kembali mencabik bumi.
Kami, orang-orang kecil dalam hikayat ini, hanya bisa menatap awan hitam dan bertanya: Berapa banyak lagi nyawa yang harus jadi tumbal sebelum hujan berhenti dijadikan kambing hitam? Haruskah kita menunggu seluruh pulau tenggelam sebelum sadar bahwa emas tak bisa dimakan dan uang tak bisa membeli napas terakhir?
Namun, ingatlah anak kecil di awal cerita tadi. Dari tanah yang remuk ini, kita masih bisa menanam sesuatu yang lebih kuat dari pohon: Benih Perlawanan. Jika kita bersatu, suara kita akan menembus deru mesin. Langkah kita akan mengguncang menara gading. Mari kita tulis ulang hikayat ini, agar dongeng kekuasaan tak lagi berakhir dengan matinya Bumi.
Penulis: Ummu 'Athiyah, Lulusan Pendidikan Matematika dari Universitas Negeri Makassar yang memiliki passion kuat dalam mengajar.