Thu, 28 Mar 2024
Tips / Dec 31, 2020

COVID-19 dan Upaya Bertahan, Berjalan di Gurun

Pertengahan Maret sebulan yang lalu, setiap kepala daerah, instansi, perusahaan swasta, perguruan tinggi hingga sekolah-sekolah, mengeluarkan surat penyampaian yang berisi tentang anjuran bekerja dan belajar di rumah selama beberapa pekan. Jujur saja, seperti rasa sejuk bagi diri sendiri di tengah jengah bertemu dengan diri yang telah kehilangan dirinya karena lebur dalam masyarakat. Sebut saja hal itu sebagai tawa dalam tangis yang tidak tepat waktu.

Tapi tidak perlu menunggu lama hingga sesal-sesal kecil bermunculan, seperti melewatkan membeli masker dan antiseptik. Peningkatan angka paparan COVID-19 yang terlihat berwarna warni, wilayah ini yang dari hijau berubah kuning, dari kondisi kuning berubah merah. Hingga perpanjangan masa #tetapdirumah yang sekan dua minggu sekali dalam peninjauan.

Adakah yang pernah mengira bahwa sesal-sesal kecil itu yang terus menetap dapat menimbulkan masalah di tengah kondisi saat ini? Kondisi seakan kita tersesat di tengah gurun, tidak bisa memperikarakan sejauh apa jarak tempuh agar sampai ke kota, seberapa lama lagi persediaan air dan makanan dapat bertahan, seberapa lama lagi dapat terus bertahan untuk terus melangkah, hingga pikiran-pikiran ini beruba menjadi kecemasan tersendiri.

Dalam buku Psikologi Abnormal yang ditulis oleh Davison, Naele dan menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami seseorang dapat bermanifestasi menjadi keluhan fisik namun terkadang tidak diketahui secara jelas bagian fisik mana yang mengakibatkan hal tersebut atau mengapa keluhan tersebut terjadi, ini yang disebut dengan somatisasi.

Sekiranya di sela-sela pemberitaan COVID-19, dapat ditemukan informasi terkait ini. Atau mungkin kita telah merasakan sendiri, kondisi dimana kita merasa kepala tiba-tiba pening, tenggorokan terasa kering, mual, kesulitan tidur nyenyak dan kondisi lain yang mungkin saja sering kita alami, bahkan tanpa kita benar-benar sadar.

Dan bisa jadi semakin parah setiap kali melihat pemberitaan yang terus mengalir di layar kaca. Pesan pribadi berisi informasi yang serupa, bahkan di grup akun sosial media untuk belajar atau bekerja di rumah juga berisi informasi COVID-19. Semuanya seakan mengair tanpa henti. Tapi sama sekali tidak memberikan kesejukan di dalam kondisi ini. Kondisi berjalan di gurun COVID-19.

Lantas bagaimanakah agar bertahan untuk tetap melangkah di tengah gurun? Atau paling tidak, adakah cara agar segera menemuka mata air yang menyegarkan sebagai bekal untuk terus bertahan menjalani kondisi ini? Garis kerasnya, “bagaimana bertahan untuk tetap waras?” lakukan dua hal ini:

1. Mengasihani diri
Langkah pertama bertahan tetap waras di gurun pandemik COVID-19, mari mencoba untuk mengasihani diri dengan cara mengurangi informasi terkait perkembangan wabah COVID-19. Informasi berlebihan akan merepotkan kita karena dapat berubah menjadi pemikiran-pemikiran negatif ketika tidak mempu lagi dikelola dengan baik, terutama berita yang tidak bertenggung jawab dan memnimbulkan kekhawatiran yang menumpuk.

Otak bisa saja mengalami kelelahan, hingga akhirnya berdampak pada kualitas kerja yang buruk di rumah, rasa lelah berlebih, butuh tidur tapi hanya kuantitas tanpa kualitas. Tidak ada yang salah jika ingin mengikuti perkembangan wabah COVID-19, tapi ada baiknya cukup sediakan satu waktu tertentu disetiap harinya.

Kita hanya perlu tahu sejauh apa perkembangan kondisi ini bukan berusaha mencari informasi sebanyak mungkin layaknya sedang malakukan riset tentang perkembangan COVID-19. Pemerintah bersama instansi-instansi terkait serta beberapa elemen-elemen lain yang ikut membantu dalam kondisi ini, sedang berusaha di luar sana. Maka kita perlu mengasihani diri, dirinya dan diri mereka yang sedang berjuang. 

2. Merelakan diri
Langkah kedua dalam bertahan pada kondisi ini ialah mengubah haluan pencarian informasi terkait perkembangan wabah covid-19. Menemukan artikel-artikel kesehatan, tentu ada banyak akun-akun media sosial atau situs-situs yang menyediakan informasi terkait. Setelah merelakan diri mengubah kata kunci pencarian, serapi kerelaan tersebut dengan melakukan arahan artikel kesehatan yang telah kita baca.

Seperti menggunakan masker ketika dengan terpaksa harus berada di luar rumah--terpaksa berada di luar rumah, tidak termasuk mengunjungi pusat perbelanjaan untuk membeli sepeda--. Mengikuti protokol kepulangan dari luar rumah, cara mencuci tangan yang benar, cara karantina mandiri setelah melakukan perjalanan serta cara-cara lain yang mengupayakan agar tetap aman dalam kondisi ini.

Melakukan upaya-upaya tersebut mungkin saja akan sedikit memberi ketenangan karena telah memunculkan sedikit harapan untuk bertahan. Relakan diri untuk merasa lapang karena telah berusaha membangun kembali harapan untuk betahan.

Inti dari dua langkah di atas yang telah terjabarkan dengan cukup ribut. Sebenarnya jika diperhatikan dari setiap penjabaran “mengasihani dan merelakan diri”, kisa bisa melihat filsuf Epictetus dalam buku Filofosi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring  yang menjelaskan secara sederhana bahwa ada hal-hal di bawah kendali kita dan ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita.

Mengikuti atau mengabaikan setiap protokol kesehatan sebagai upaya agar tidak terpapar oleh covid-19, hal yang berada di bawah kendali kita. Memilih melakukan hal tersebut atau tidak, kita sendiri yang punya kendali. Namun jumlah paparan wabah COVID-19 yang meningkat seakan tiada hentinya, sesuatu yang berada di luar kendali kita, sehingga akan membuat kita stres jika terus memikir hal tersebut sampai pada akhirnya memunculkan rasa tidak berdaya.

Kita yang milih, apakah berhenti di tengah gurun sembari menghabiskan cadangan tenaga dengan menghujat matahari yang begitu terik dan jalan yang terlihat tiada ujungnya. Tentu, matahari  yang serta jarak tempuh di gurun bukan dalam kendali kita.

Beristirahat untuk mengumpulkan sedikit tenaga agar dapat bertahan saat dalam perjalanan selanjutnya, kita yang punya pilihan. Mengasihani dan merelakan diri.

Terus berpikir kapan semua ini akan selesai hingga tidur pun lupa cara terlelap atau mencoba beradaptasi dengan situasi saat ini. Siapa yang berhak memutuskan?

#bertahanuntukberjuang

 

Penulis: SAR, conten writer pronesiata.id

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.