Fri, 29 Mar 2024
Travel / Dec 31, 2020

Pesona Legenda Pulau Cinta di Bumi Sriwijaya

Alam Indonesia, banyak menyimpan sejuta keindahan yang dihadirkan semesta. Pulau Kemaro contohnya. Bagaimana tidak, ada Pulau kecil yang berada di tengah Sungai. Pesona keindahan yang dimiliki Pulau kecil ini terletak di antara Daerah Industri, yaitu Pabrik Pupuk Sriwijaya, Pertamina Plaju, dan Sungai Gerong, Palembang, Sumatera Selatan.

Pulau yang dikenal dengan kisah dan peninggalan budaya Tiongkok ini menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk berekreasi, khususnya masyarakat Palembang. Di dalamnya terdapat sebuah wihara yang dikenal dengan nama Klenteng Hok Tjing Rio, yang berdiri sejak tahun 1962. Di depan Klenteng tersebut, masyarakat membangun dua buah makan yang terletak berdampingan, yaitu makam Tan Bun An dan Siti Fatimah.

Menurut legenda masyarakat sekitar, Tan Bun An dan Siti Fatimah adalah pasangan yang menjadi cikal bakal adanya Pulau Kemaro. Konon katanya, pada masa kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan, Raja memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita bernama Siti Fatimah. Ketika pada suatu hari, ada seorang saudagar kaya yang datang dari Tionghoa bernama Tan Bun An. Atas persetujuan Raja sendiri Tan Bun An berdagang di Bumi Sriwijaya.

Pertemuan antara keduanya, menjadikan Tan Bun An menaruh hati kepada Siti Fatimah, dan kemudian dia mempersuntingnya. Pada zaman kerajaan Palembang, Tan Bun An mengajak Siti Fatimah berlayar kedaratan Tiongkok untuk menjenguk orang tua Tan Bun An, setelah beberapa waktu dari itu mereka berdua berpamit untuk kembali pulang ke Palembang dan orang tua Tan memberikan hadiah berupa tujuh buah guci.

Namun ketika sampai diperaian sungai Musi, Tan Bun An sangat terkejut melihat semua guci yang dikirim berisi sayur sawi yang hampir membusuk. Ternyata orang tua Tan Bun An dengan sengaja melapisi guci emas tersebut dengan sayur bertujuan agar tidak mencurigakan dan terhindar dari perampok.

Tan yang tidak tahu akan itu, akhirnya memutuskan untuk membuang guci ke Sungai Musi. Namun, ketika guci terakhir yang dibuangnya jatuh dan pecah di dek kapal, Tan pun sadar bahwa emas-emas batangan untuk mahar tersebut dilapisi orang tuanya dengan sayuran sawi. Menyadari hal itu, Tan akhirnya memutuskan lompat ke Sungai Musi bersama seorang pengawalnya untuk menemukan kembali guci-guci yang telah ia buang.

Melihat hal tersebut terjadi, dan Tan Bun An tak kunjung muncul dipermukaan sungai. Siti Fatimah pun ikut menceburkan diri untuk mencari Tan Bun An. Namun beberapa hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah yang diyakini masyarakat sebagai kuburan Siti Fatimah yang kemudian dikenal dengan nama Pulau Kemarau. Yaitu Pulau yang tidak pernah tergenang air meski Sungai Musi meluap.

Tidak hanya legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah yang menjadi daya tarik Pulau Kemaro ini. Tapi juga ada sebuah pagoda berlantai sembilan yang merupakan pagoda tertinggi di Palembang yang didirikan pada tahun 2006, pagoda ini terlihat sangat megah bersama dengan Kuil Budha yang sering dikunjungi para wisatawan untuk berdoa atau berziarah.

Di Pulau ini juga terdapat pohon yang dikenal sebagai Pohon Cinta, yang melambangkan cinta sejati antara dua bangsa dan dua budaya yang berbeda. Mitosnya, jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon ini, maka hubungan cinta mereka akan bertahan lama hingga sampai kepernikahan. Karena itulah, Pulau Kemaro juga disebut sebagai Pulau Jodoh. Selain itu, menjadi tujuan ribuan orang dari sejumlah daerah yang berdatangan setiap perayaan Imlek atau Cap Go Meh.

Ketika berkunjung di Pulau Kemaro, wisatawan tidak dikenakan biaya apapun. Namun, untuk dapat berkunjung di Pulau ini, wisatawan bisa menyewa perahu kecil atau Speedboat yang ada di bawah dermaga tepian Sungai Musi Palza Benteng Kuto Besak (BKB).

Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 40 kilometer atau sekitar 30 menit dari pusat Kota Palembang jika menggunakan perahu kecil dan tarif yang dikenakan sebesar Rp. 30.000 per orang. Dan 15 menit menggunakan Speedboat untuk muatan enam orang akan dikenakan tarif sebesar Rp. 300.000.

 

Penulis: Mertisa, alumni Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, hobi membaca, menulis, dan jalan-jalan yang aktifi di Komunitas Peduli Kanker Anak dan Penyakit Kronis.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.