Buku Gratisan Dari Mantan Customer
Hibah Kloter Pertama
Ceritanya bermula dari story WhatsApp (red; WA) salah seorang mantan pacar, eh salah, maksudnya mantan customer pada usaha kecil-kecilan stand photo wisuda saya dan kawan-kawan pada tahun 2018 silam. Sebagai contact person stand photo wisuda yang terpampang di selembar pamflet, secara otomatis saya bertugas menyimpan semua nomor customer yang melakukan order.
Tatkala itu, menyimpan nomor WA customer hukumnya wajib, sebab pengambilan hasil foto di hari wisuda sudah barang tentu memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Sebagai dampaknya, alhasil ada beberapa dari sebagian customer yang menyimpan nomor WA saya. Entah itu terpaksa atau mungkin hanya berjangka waktu sebatas keperluannya semata, selebihnya delete!
Pada saat sama-sama telah saling menyimpan nomor itulah ada beberapa story akun WA baru yang kerap kali menghiasi story WA milik saya. Di saat waktu senggang, saya kerap berkencan dengan WA dan tidak hanya satu-dua story akun baru saja yang sempat saya tengok, melainkan hampir semua story terlumat habis tak bersisa.
Awalnya, semua story mantan customer itu biasa-biasa saja, tak ada bedanya dengan mereka-mereka yang girang kepalang karena kelulusannya. Pajang foto sana-sini bersama keluarganya, ekspresi wajah sumringah dengan kawan-kawannya, pamer seberapa banyak hadiah wisuda hingga unggahan ter-so sweet-nya dengan si dia calon pendamping hidup yang terus disemogakannya. Tidak lupa pula, bumbuhan caption "happy graduation" sebagai penyempurna tersematnya gelar sarjana di ujung nama.
Selang beberapa bulan setelah wisuda, secara tidak sengaja saya menemukan story WA salah seorang customer yang hendak menghibahkan dua buku. Sontak, saya langsung kepincut. Di-swipe-lah kolom komentar. Tanpa bertele-tele, saya pun langsung melayangkan kalimat penegasan, bahwa saya tertarik untuk memilikinya. Secara berkesinambungan, customer itu membalas chat saya dengan sedikit mendeskripsikan sinopsis kedua buku tersebut.
"Buku yang satu berisikan cerpen, sementara buku yang satunya lagi novel terjemahan yang bahasanya agak njlimet", tukasnya dalam chat. "Loh... Njlimet piye mbak?", Saya membalas chat WA-nya. "Iku lo mas, angel dipahami, padahal wes tak baca bolak-balik. Tapi yo ancen uangel e", ia menimpali. "Oalah begitu ternyata. Iya tidak apa-apa mbak. Terus, kira-kira bisa diambil kapan? Hari apa? Jam berapa dan di mana?", berondong isi balasan chat saya.
Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan. Dua hari kemudian, sang customer meluncur ke kosan saya dengan menenteng dua buah buku dan sebungkus kopi hitam sebagai bonusnya. Saya menyambutnya dengan senyum kegembiraan yang terwakili dengan celoteh, "wah, terimakasih banyak buku dan kopinya ya, kok baik men to saman mbak".
Kami pun sempat hanyut sejenak dalam perbincangan sebagai tanda keakraban, hingga akhirnya beberapa saat kemudian saling berpisah, kembali ke kediaman masing-masing. Nah, min haitsu la yah tasib kan? Rezeki itu dari arah mana saja datangnya. Jangan kira rezeki itu hanya berupa uang, mendapatkan hibah buku pun menurut saya adalah rezeki. "Pokok e seng enak ki panggah gratisan", qoute tetangga kosan.
Setelah berada dalam genggaman tangan, saya niatkan untuk mengkhatamkannya dalam waktu dekat. Ah, apalah daya, niat tinggal niat, terkadang saya lebih sering tidak berhasil membujuk diri untuk ngemil lembar demi lembar secara konsisten. Alhasil, hanya baru beberapa lembar saja yang sempat terbaca. Namun, tatkala moodnya lagi naik, biasanya saya langsung tancap gas. Apalagi kalau sudah tertarik pada alur cerita dan penasaran dengan ide-ide yang dituangkan di dalamnya.
Hibah Kloter Kedua
Kurang lebih selang tiga bulan berlalu setelah saya mendapatkan buku gratisan dari mantan customer, sang mantan customer kemarin itu akhirnya kembali menawarkan buku gratisan kepada saya. "Mas ada buku lagi nih, minat enggak?, lek minat besok tak anterkan ke kosan Saman", pendek tukasnya dalam chat. "Wah, rezeki nomplok mubazir kalau ditolak. Iya, iya aku minat", sergah saya membalasnya dalam chat.
Esok harinya, dua buah buku kembali ditentengnya menuju arah saya. Entah ada angin apa, di kala itu saya merasa beruntung sekali dapat mengenalnya sebagai teman akrab dadakan. Tetibanya ia di hadapan saya, "ini mas bukunya, yang satu bentuknya agak mirip majalah gitu, ada gambarnya lagi. Sementara yang satu ini sih bikin aku geli membacanya (ia menunjukan cover buku tipis itu sembari memajang ekspresi bergidik bukan main)". "Awalnya aku penasaran apa isi buku itu, lah dalah pas aku baca, ternyata, hiiiihhh ngeri. Tentang poligami". Lanjutnya memberikan sedikit sinopsis terkait buku tipis itu.
Pertemuan kami kali ini tidak menyempatkan diri untuk bercuap-cuap ria barang lima belas, sepuluh bahkan lima menit sekalipun. Mengingat sang customer berterus-terang ada keperluan lain yang telah menanti dirinya. Jarak menenggelamkan bahunya seiring kecepatan motor yang dikendarainya, sementara saya mendekap dua buku itu, kembali bertapa di bilik ratapan.
"Baiklah, saya harus sesegera mungkin mencicipi kedua buku ini", gumam saya dalam benak. Namun, tugas pertama saya terhadap kedua buku ini, adalah membubuhkan tanda tangan. Bagaimanapun saya harus memberi tanda istimewa kepemilikan atas koleksi baru ini. Meskipun bekas, tapi bagi saya tidak ada kata expired date teruntuk menyoal sumber pengetahuan. Kapanpun buku itu diterbitkan, ia layak mendapat perlakuan maksimal dari sang majikan.
Lantas perlakuan maksimal seperti apa yang harus diberikan sang majikan sebagai wujud kepedulian? So simpel kok, pertama akuisisi buku itu sebagai bagian barang berharga milikmu. Bubuhkan tanda istimewa kepemilikan atas buku itu. Entah itu ditandatangani yang dilengkapi dengan titimangsa, distempel ataupun direkatkan barcode perpustakaan pribadi milikmu.
Kedua, berilah buku itu pakaian yang pantas, jangan biarkan ia kedinginan. Pemberian sampul buku setidaknya dapat mengurangi lecet, termakan rayap dan kemungkinan kerusakan lainnya dengan mudah. Intinya, perlakukanlah buku seperti anak-anak kandung kita, meski ia tidak telahir dari rahim yang sama.
Ketiga, simpanlah buku itu pada tempat yang layak. Tempat yang layak untuk menyimpan buku-buku itu maksudnya rak. Jika tidak punya rak lantas bagaimana? Taruh saja buku-buku itu di tempat yang sekiranya mudah dijangkau dan tertata rapi di satu titik. Jikalau masih bingung, sini hibahkan saja buku itu pada saya.
Keempat, tatkala diletakkan, usahakan posisi buku-buku itu dalam keadaan berdiri. Bagian pembatas kedua sisi (red; bagian ujung buku yang dilem) adalah bagian yang menjorok ke luar. Mengapa harus demikian? Supaya nanti tatkala butuh, kita dengan mudah dapat menemukannya.
Cerita dua kloter hibah buku tersebut, pada kenyataannya mengantarkan saya pada satu titik kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang menjadi hobi kita--dalam konteks ini tak terkecuali mengoleksi buku-- akan senantiasa mendapatkan dukungan dari luar. Bahkan, dukungan itu bisa jadi muncul dari arah yang tidak pernah kita perkirakan sebelumnya. Baik itu, dukungan dari lingkup relasi pertemanan, lingkungan kerja dan lain sebagainya.
Itu artinya, apa yang menjadi hobi dalam hidup kita selalu menemukan nasibnya. Selalu ada bagian dan ruang-ruang khusus untuk menyempurnakan apa yang menjadi bagian dari dirinya. Tanpa terkecuali, dan bisa jadi pengejawantahannya di luar apa yang kita kehendaki.
Eh, eh, bagaimana? Ngoceh panjang kali lebar seperti ini kira-kira sudah ada yang merasa terketuk hatinya untuk hibah buku pada saya gak ya? Kalau sudah merasa iba, bingung mau menghibahkan buku dan tidak kuasa menahan kehendak untuk bersedekah, silakan sesegera mungkin hubungi saya ya? WA saya standby 24 jam lho...
Penulis: Roni Ramlan, lulusan Pascasarjana IAIN Tulungagung. Beberapa coretan penanya sering nangkring di beberapa situs media online. Untuk lebih dekat, silakan sapa penulis di akun Fb, Ig dan Twitter dengan nama Dewar Alhafiz.