Multiple Intelligences: Sebuah Pengalaman Belajar
Kata Einstein 'semua orang jenius. Tapi jika kita menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidupnya ikan akan dianggap idiot'.
Artinya jangan menyeragamkan, hargai keunikan setiap individu. Demikian juga dalam menghadapi anak, siswa dll. Ingat, setiap anak itu unik, istimewa, punya kemampuan dan potensi yang berbeda. Istilah kerennya "Multiple Inteligens" sebuah teori kecerdasan majemuk yang diperkenalkan oleh Howard Gardner. Tugas guru dan orang dewasa adalah mengajaknya, menuntunnya mengenali dan mengembangkan potensinya tersebut.
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan mengutip Einstein, bukan karena kelahirannya persis sama dengan tanggal kelahiran saya. Tapi, ide Einstein tersebut relevan dengan beberapa kenyataan dan peristiwa yang saya hadapi akhir-akhir ini.
Amel, adek bungsu saya. Umurnya sudah memasuki 8 tahun, dan saat ini ia tengah menginjak kelas 2 Sekolah Dasar (SD). Hobinya bermain, dan terus bermain. Ia juga suka membuat anak-anak yang lebih kecil darinya menangis. Tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Setiap libur kuliah dan pulang kampung saya selalu mendapat jatah untuk mengajari adek saya. Terutama di masa seperti sekarang, masa-masa pandemik.
Selama mengajarinya, saya menjadi lebih banyak tahu mengenai adek saya. Pertama, saya jadi tahu bahwa ia adalah anak yang sedikit lambat dalam hal membaca (bukan bodoh). Ia hanya lambat membaca, bukan berarti tidak bisa sama sekali. Untuk kata yang terdiri dari 2 dan 3 suku kata ia sudah mampu membacanya, tetapi untuk yang terdiri dari 4 atau lebih suku kata ia masih sulit membacanya.
Namun beberapa kali ini saat saya memintanya membaca kata yang terdiri dari 4/5 suku kata ia sudah mulai bisa membacanya. Herannya, walaupun ada satu/dua kata yang sulit ia baca, ternyata ia dapat mengerti/memahami apa maksud dari kata tersebut.
Contohnya saat UAS kemarin, anak-anak disuruh mengerjakan soal di rumah masing-masing. Ia belum lancar membaca dan kami kakaknyalah yang membantu membacakan soalnya. Walaupun dia sulit membaca, tapi dia bisa menjawab soal-soal ujiannya dengan benar karena dia paham apa maksud dari soal tersebut setelah dibacakan.
Kedua, ia adalah anak yang cepat bosan saat belajar (ternyata saya punya kemiripan dengannya, cepat bosan saat baca buku, hahahah). Paling lama ia mau belajar (di luar sekolah) hanya sekitar 30 menit. Selain cepat bosan ia juga malas untuk belajar (mungkin menurun dari saya yang juga malas belajar, hahah). Itupun ia akan belajar saat disuruh. Tahu lah umumnya anak seumuran dia memang maunya hanya bermain, apalagi saat suara teman-temannya yang bermain di dekat rumah sudah terdengar.
Awalnya saya sering memarahinya, memaksanya untuk terus belajar dan melarangnya bermain sampai ia menangis, tapi lama kelamaan saya sadar itu bukan cara yang tepat (walaupun kadang saya masih memarahinya kalau ia benar-benar tidak mau belajar).
Makanya saya dan dia membuat perjanjian, semacam kontrak belajar. Ia membuat jadwal dan aturan belajarnya sendiri. Misalnya saat di masjid sudah terdengar adzan untuk shalat dzuhur, dengan sendirinya ia akan pulang dan meminta saya untuk mengajarinya, atau setelah shalat magrib dia akan meminta saya untuk mengajarinya atau membantu mengerjakan tugas dari gurunya.
Ia juga menentukan sendiri berapa halaman buku atau berapa kata yang ia akan baca. Dan saya memberinya kebebasan, setidaknya ia belajar atas kemauannya sendiri dan bukan karena paksaan.
Setelah belajar ia juga sering meminta agar saya mau meminjamkan HP saya untuk nonton chanel-channel kesukaannya di Youtube. Tapi tentunya saya tidak semudah itu meminjamkannya, karena saya sangat hemat kuota internet, saya butuh kuota internet untuk kuliah online di masa pandemi Covid-19 ini.
Dan lagi-lagi dia buat perjanjian dengan saya, semakin banyak ia baca atau pelajari maka semakin banyak pula video youtube yang ia tonton ????????, tidak apalah, asal dia mau belajar.
Ketiga, saya jadi semakin yakin kalau ia memang anak yang keras kepala dan tidak mau diperintah, di daerah kami, Mamuju Tengah menyebutnya "Pabali-bali". Makanya harus dengan sabar dan lembut untuk mengajaknya belajar.
Jika dengan lembut saja dia susah disuruh belajar apalagi kalau dengan marah-marah. Bahkan adek pertama saya yang sudah menginjak kelas 3 SMP menyerah mengajarinya karena hanya akan berakhir dengan perkelahian, apalagi kakak kedua saya, dia lebih baik menyuruh saya yang mengajarinya.
Makanya sampai saat ini saya yang masih bertahan mengajarinya walaupun harus mengorbankan kuota internet ????. Dia memang sering membantah atau tidak takut pada kami kakak-kakaknya, kecuali sama kakak pertama ????.
Adapun dalam menulis dan menghitung untuk anak seusianya ia sudah bisa. Saya sempat mengira kalau dia juga lambat dalam menulis dan berhitung, Alhamdulillah ternyata untuk keduanya ia sudah cukup terampil.
Saya pernah bertanya pelajaran apa yang ia sukai di sekolah, dan ternyata ia suka belajar matematika (untung kali ini tidak seperti saya, saya paling tidak bisa dan tidak suka pelajaran yang berbau hitungan).
Banyak hal yang saya dapatkan selama membantu adek saya belajar. Saya jadi lebih paham bahwa setiap anak itu berbeda dan mempunyai keunggulan sendiri, ada anak yang unggul dalam membaca, ada yang unggul dalam menghitung, menggambar, dan unggul dalam bidang lainnya.
Kita tidak boleh menjudge bahwa seorang anak bodoh hanya karena tidak bisa dalam satu bidang, mungkin saja ia bisa di bidang yang lain.
Dan saya juga jadi paham ternyata menjadi seorang guru itu bukan hal yang mudah, perlu kesabaran dan keikhlasan. Mengajari satu anak saja susah apalagi banyak anak-anak.
Maka dari itu saya ucapkan Terima Kasih untuk seluruh guru-guru yang siap mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mengajari kami anak-anak negeri.
Penulis: Lismardiana Reski, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar. Memilih menjadi kuli tinta di pers kampus, Washilah dan pemelajar di PMII Rayon Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM.