Sebuah Tempat Rahasia
Saya sedang berpikir tentang sebuah tempat. Sebuah tempat indah. Di mana, orang-orangnya saling toleransi, tidak membedakan agama, suku, adat, atau perbedaan lainnya.
Tempat itu harmonis dengan lingkungan. Sungai-sungainya dijaga bebas dari sampah buangan. Jalanannya dijaga seperti mereka menjaga ibunya.
Hutannya dijaga bagai tempat sakral. Karena bagi mereka, hutan adalah satu dari saudara empat, seperti juga danau, sungai, samudra dan angkasa.
Tempat sucinya indah, penuh ukiran. Dan orang-orang datang membawa persembahan pada Tuhannya, bagai mempersembahkan pada para Raja dari alam lain.
Orang-orang penuh pengertian dan permakluman. Saling menjaga, saling harmoni. Sebab mereka diajarkan oleh leluhurnya sebuah mantra rahasia;
"Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku."
Burung-burung berkicau riang di mana-mana, karena manusia di pulau itu menjaga mereka. Bunga-bunga mekar di mana-mana, sebagai bahan persembahan setiap hari pada Tuhannya.
Ini karena mereka selalu diajarkan tentang rahasia kebahagiaan hidup yang bisa tercapai dengan keharmonisan antara manusia, alam dan Tuhan.
Maka alunan seruling dan denting tabuh gambelan mengiringi tarian-tarian persembahan. Air-air suci dipercikkan tanpa henti dari waktu ke waktu, menjaga pikiran, ucapan dan tindakan penghuni pulau itu tetap suci.
Api dinyalakan. Lalu mantra, denting genta dan pemujaan berbicara tentang persembahan pada api. Bahwa mereka berjanji, setiap bara semangat yang muncul dalam diri, serta karma-karma dan buah dari karma suci itu, adalah persembahan pada Sang Api yang memberi hidup dalam diri.
Saya tenggelam dalam bayangan akan tempat itu. Di mana terdengar para orang tua bercerita pada cucu-cucunya tentang warisan kisah masa lalu dan kisah harapan masa depan.
Di pulau itu, mereka bisa hidup hanya dengan memetik bunga-bunga untuk dijual di pasar. Atau daun sirih, batang tebu, bahkan kelapa-kelapa muda beraneka warna, ikut memberi makan.
Di sana terdengar mereka saling menyapa dengan ucapan, "Ya Tuhan, semoga selamat kegiatan saudaraku hari ini." Dan usai diskusi yang seru di setiap ruang musyawarah, mereka menutup dengan doa mendalam; "Ya Tuhan, semoga kami damai, damai, damai."
Ketika sanak kerabat sakit, mereka saling menjaga. Ketika wabah tiba, mereka saling mendoakan. Ketika paceklik mendera, mereka saling membantu. Itulah kehidupan yang terlihat di pulau.
Apakah engkau sungguh-sungguh pernah melihat pulau seperti itu, kawan? Bawalah saya ke sana.
Sebab di sana gunung dihormati sebagai Ayah dan samudera dihormati sebagai Ibu. Penduduk pulau itu sangat menghormati keduanya. Tak ada sampah terserak di gunung ataupun samudera. Karena mereka tak mungkin mengotori Ayah dan Ibu mereka.
Tembang-tembang terdengar lirih bertutur tentang pentingnya kerendahan hati; "Jangan pernah merasa sudah tahu dan bisa segalanya, biarkan orang lain menilai. Hidup ini bagai menyapu, akan selalu ada sampah. Meski banyak yang kau tahu, akan selalu ada lagi yang belum kau ketahui."
Di sana mereka berbahasa halus dan sopan kepada orang tua, guru, pejabat, kepada tamu, bahkan kepada orang yang belum mereka kenal.
Apakah saya sedang bermimpi tentang tempat itu? Atau engkau pernah mengunjunginya, kawan. Bawalah saya ke sana. Bawalah.
Penulis: Riswandi, seorang petani, tempat belajarnya di universitas alam semesta.