Kode Jemuran dan Operasi Rahasia
Kalau kau pikir jemuran cuma tempat menjemur cucian, berarti hidupmu masih aman-aman saja. Tapi tidak di gang sempit tempat aku tinggal. Di gang itu, jemuran bukan sekadar tali dan kaus kaki bau matahari. Jemuran bisa jadi sinyal. Kode. Bahasa rahasia. Dan kadang—tanda bahaya.
Aku Damar, 27 tahun, petugas pengantar surat kelurahan yang belum diangkat jadi PNS meski sudah 5 tahun mengabdi dan sempat tiga kali nyelamatin berkas warga dari banjir dan tikus. Tapi di balik profesi itu, aku adalah bagian dari unit rahasia: Jaringan Warga Sadar Negara (JWSN). Kami punya tugas: memantau pesan-pesan rahasia di kehidupan paling biasa.
Termasuk di jemuran.
Semuanya dimulai dua minggu lalu, saat Pak Haji Mukhtar tiba-tiba jemur kaus dalam pola segitiga terbalik, warna merah–putih–biru, dan ada satu celana anak kecil di ujung yang menggantung sendirian. Buat warga biasa, ini mungkin cuma “Pak Haji nyuci sendiri karena Bu Haji ke pengajian.” Tapi buat kami di JWSN, ini kode. Dan bukan sembarang kode.
Aku foto cepat. Kirim ke server pusat. Tak lama, sinyal balasan masuk: "ALERT. Kode 734D: Sinyal aktif jaringan tidur. Lokasi: Gang 3 RT 12. Dekati dengan tenang. Jangan bikin curiga."
Kode 734D. Sudah lama tak muncul. Terakhir, tahun 2012, sebelum Pilkada yang penuh rahasia itu. Sejak itu kami pikir jaringan tidur sudah bubar. Tapi ternyata, mereka bangkit—dan memulai dari tempat paling tak mencurigakan: tali jemuran warga.
Sore itu, aku pura-pura jalan sambil antar surat edaran lomba 17-an. Tapi mataku awas. Pak Haji lagi nyapu teras pakai sapu lidi yang tangkainya lebih pendek dari normal—kode lain: peringatan eskalasi tahap dua. Di sebelahnya, Mbak Rini, tetangga sebelah, nampak biasa saja... kalau kau tak memperhatikan dengan jeli: kerudungnya dilipat dua kali dan dijepit pakai penjepit jemuran warna kuning–biru–kuning. Kode frekuensi komunikasi.
Warga biasa mungkin pikir: “Ah, ini cuma kebetulan.” Tapi tidak. Di dunia kami, tidak ada kebetulan. Yang ada hanya pesan yang belum terpecahkan.
Kelihatannya remeh, tapi buat kami di JWSN, itu kode 734D. Sinyal lama dari jaringan tidur yang sudah kami anggap punah sejak Pilkada 2012. Kombinasi warna dan bentuknya familiar. Kami pernah melihat formasi yang mirip waktu seorang mantan lurah kabur ke luar kota pakai identitas palsu dan tukar jemuran tiap hari buat ngacauin pelacakan.
Kau boleh tertawa. Tapi ini sungguhan.
Dulu, saat Perang Dunia II, mata-mata Inggris di Prancis nggak bisa kirim pesan pakai radio karena sinyalnya disadap. Jadi mereka pakai kain dan pakaian yang digantung dengan pola tertentu di jendela. Satu sapu tangan merah = "Aman". Dua kaus kaki disilang = "Target bergerak." Itu sistem komunikasi yang sederhana, tapi efektif. Di sini, jemuran jadi warisannya. Dan kami, generasi lanjutannya—meski pakai sarung sobek dan baju daster.
Malamnya, aku kirim foto ke pusat.
Tak sampai 10 menit, balasan masuk: “734D dikonfirmasi. Jaringan aktif. Tetap tenang. Jangan bikin gerakan mencurigakan.”
Aku langsung kontak Seno, rekan satu unit. Nama sandinya “Komandan Guling.” Julukan itu datang karena dia pernah nyamar dua malam tidur di tumpukan guling toko kasur demi nyadap diskusi ilegal antara dua ketua RW yang rebutan lahan parkir.
“Seno, ini serius. Pak Haji kirim sinyal,” kataku lewat walkie talkie mini yang kami masukkan ke dalam termos nasi bekal.
Seno diam sebentar. “Kombinasi warnanya?”
“Merah–putih–biru. Bentuk segitiga. Penjepit tunggal celana anak, warna hijau.”
Hening.
“Wah… Ini bukan sekadar sinyal. Ini peringatan eskalasi tahap dua. Kita harus nyamar. Besok arisan RT, kita selidiki lebih jauh. Biasanya mereka tukar sandi lewat risoles.”
Aku mengangguk, meski dia nggak bisa lihat.
Besoknya, aku datang ke arisan RT dengan menyamar sebagai pengantar air galon. Seno datang lima menit kemudian, nyamar sebagai tukang benerin setrika. Kami pura-pura sibuk, tapi mata kami awas.
Ibu-ibu tertawa, bapak-bapak saling sindir soal sumbangan karang taruna. Tapi di atas meja, aku lihat satu baki risoles yang bentuknya beda: risoles biasa itu lurus dan menghadap utara. Tapi yang satu ini disusun miring ke tenggara, dan di atasnya, tiga cabai rawit membentuk huruf A.
Itu bukan dekorasi. Itu sinyal.
Huruf A berarti “Agung.” Bukan nama makanan. Tapi mantan ketua RT yang hilang tiga tahun lalu setelah dituduh memanipulasi data bansos. Warga pikir dia kabur. Tapi JWSN yakin, dia bersembunyi, mungkin menyamar jadi tukang tambal ban, atau malah jadi penjual cilok yang selalu tahu siapa yang baru nikah.
Aku keluar arisan sambil pegang dus air mineral. Di dalamnya, bukan air. Tapi peta gang, kunci pas kecil, dan satu pertanyaan besar: “Siapa yang bangkitkan jaringan ini lagi? Dan apa yang mereka rencanakan?”
Angin sore menyapu tali jemuran. Di ujung gang, aku lihat seorang anak kecil berdiri di bawah celana bolong yang bergoyang pelan. Dan aku sadar, malam ini mungkin akan panjang.
Gang kami tidur lebih cepat dari sinyal Wi-Fi tetangga yang sering putus jam sembilan malam. Tapi malam itu, suasana berubah. Jemuran Pak Haji yang biasanya diturunkan sebelum Magrib, malam ini justru tergantung lebih banyak—dan lebih aneh. Ada baju renang anak warna oranye menggantung di paling ujung. Di sebelahnya, celana bahan dewasa, ukuran XL, digantung menyilang. Di tengah-tengah, bra kawat model lawas warna ungu yang terlalu besar untuk semua perempuan di gang ini.
Kode 82-B, pikirku. Aku tahu ini. Aku pernah baca dokumen arsip operasi “Kawat Ungu”—pengawasan terhadap transaksi tanah ilegal yang disamarkan lewat yayasan fiktif: Yayasan Jemuran Peduli Pakaian Dalam Nasional (YJPPDN). Nama yang terlalu panjang untuk bisa dipercaya, justru karena itulah mereka lolos pengawasan.
Aku mengendap ke halaman belakang, tempat kami biasa bertukar kode. Seno sudah di sana, berdiri di balik pagar kawat yang digulung sarung, matanya menatap langit-langit seperti sedang menghitung jumlah bintang. Padahal dia lagi nyadap frekuensi walkie yang dipakai Pak RT dan sekretaris karang taruna.
“Damar,” bisiknya. “Ada yang nggak beres. Sinyal malam ini bukan peringatan. Ini pengalihan.”
“Pengalihan?”
“Iya. Kita dikasih peta palsu. Bra ungu itu... tipu daya. Fokus kita dialihkan ke operasi lama. Tapi yang terjadi sebenarnya ada di halaman belakang Bu Rini.”
Aku menelan ludah. Halaman belakang Bu Rini adalah tempat paling sakral se-Gang Kantil. Di sanalah jemuran tidak pernah kering karena selalu ditutup tirai plastik anti-matahari. Dan tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan tukang cat dinding pun pernah ditolak mentah-mentah karena mencoba bersihkan bercak jamur di temboknya.
Seno menunjukkan tangannya. “Aku dapat sandi lewat siaran radio AM 1080. Format Morse. Tapi disamarkan lewat suara hujan tiruan. Kayak zaman perang dulu. Mereka pernah pakai radio hujan buat kirim sinyal ke tentara rahasia Jepang yang nyamar jadi penjual tahu.”
“Jepang?”
“Iya, fakta sejarah, Dam. Ada arsipnya di buku Shadow of the Bamboo Curtain. Di Indonesia, bahkan pernah ada tukang tahu yang punya catatan paling rapi soal pergerakan tentara kolonial. Mereka nggak pakai peta, pakai not angka dan kode kain.”
Aku manggut-manggut, bukan karena paham, tapi karena sudah terlalu malam untuk debat.
Pukul dua dini hari, kami merayap masuk lewat samping rumah Bu Rini, melalui semak dan jalur sempit yang hanya muat dua sendal jepit. Kami tak pakai senter. Cuma mengandalkan pantulan cahaya dari jemuran stainless yang kena sinar bulan.
Dan di sanalah kami melihatnya.
Tergantung di tali plastik, sebuah handuk besar dengan gambar ikan paus, dikelilingi empat kaos putih polos, semua menghadap barat. Di bawahnya, baskom merah ditaruh terbalik, seperti tudung saji yang salah fungsi.
“Ini... peta arah operasi,” gumam Seno. “Lihat arah kain. Kaos putih = pasukan. Handuk paus = target besar. Baskom terbalik = sistem perlindungan. Artinya... besok pagi mereka nyerang warung Bu Atun.”
“Warung Bu Atun?”
“Iya. Kalau Bu Atun jatuh, mereka ambil alih distribusi kopi saset. Dan kau tahu... di sini, siapa kuasai kopi, dia kuasai gosip. Siapa kuasai gosip, dia kendalikan narasi gang.”
Kami segera bikin strategi pencegahan. Seno akan pura-pura jadi pembeli yang minta dikasih utang, biar suasana kacau. Aku akan menyusup lewat belakang dan ganti posisi jemuran Bu Rini sebelum fajar.
Tapi rencana kadang seperti cucian—gagal kering karena mendung tiba-tiba.
Fajar belum sempurna, aku sudah di halaman belakang. Saat aku tarik handuk paus, terdengar suara langkah mendekat. Cepat, aku sembunyi di balik tumpukan ember. Dan saat itulah, aku melihat sosok yang tak asing: Pak Haji Mukhtar.
Tapi bukan dengan sarung dan peci. Dia pakai jaket kulit. Di tangannya ada kartu keanggotaan Jaringan Jemuran Global—organisasi bayangan yang katanya pernah menggagalkan pemilu di satu RT karena tukar kain lap. Dia mendekati tali jemuran, lalu... menambahkan satu benda baru: sarung bergaris cokelat tua. Hanya satu jenis sarung yang seperti itu. Dan hanya satu pesan di baliknya.
“Ada pengkhianat di JWSN.”
Hatiku mencelos. Jemuran telah bicara. Tapi kali ini, bukan cuma tentang kaos dan celana.
Ini tentang siapa yang bisa dipercaya.
=========
Pagi itu, gang Kantil berubah jadi medan laga. Aku berdiri di pojok jalan sambil ngintip dari balik pagar besi, jantung sudah kayak lagu dangdut koplo yang lagi naik daun—deg-degannya gak berhenti.
Seno datang dengan wajah serius tapi sambil bawa seember air sabun. "Ini senjata rahasia," katanya. "Kalau ada yang nyerang, kita siram jemurannya. Baju basah, kode gak jelas."
Kami sudah tahu, perang ini bukan soal baju, tapi soal informasi. Siapa menguasai jemuran, dia pegang data curhat warga, gosip tetangga, bahkan rahasia yang biasanya cuma didengar tukang becak waktu macet.
Tiba-tiba, dari ujung gang, muncul sosok berjaket hitam. Dia membawa keranjang kecil penuh dengan kaos kaki warna-warni yang digantung satu-satu.
"Kode kaos kaki warna-warni itu... serius ini," aku berbisik ke Seno.
"Kalau kamu tahu," Seno menjelaskan, "pasukan rahasia dulu sering pakai kode kaos kaki untuk komunikasi diam-diam. Kalau kamu gantung kaos kaki merah dan biru, itu tandanya ‘Bahaya, musuh datang!’ Tapi kalau warna kuning dan hijau? Itu artinya ‘Aman, silakan tidur siang.’"
Aku nyengir gak percaya, tapi langsung ngitung kaos kaki yang dia bawa: merah, biru, merah, kuning... hmm, berarti mereka sedang waspada tapi santai.
Kami bergerak cepat. Aku menyusup ke belakang rumah Bu Atun yang terkenal dengan kopi sasetnya itu. Di situ, aku pasang jebakan: tali jemuran dipotong sedikit dan dirangkai ulang jadi simpul ajaib yang cuma bisa dibuka dengan kombinasi suara ketukan khusus.
Ketukan? Ya, suara ketukan itu adalah ritme khas yang dipakai tukang kayu zaman dulu buat kode rahasia proyek bangunan kerajaan Majapahit. Fakta sejarah yang aku baca di buku Kode-Kode Nusantara itu selalu bikin aku kagum.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari arah gang. Seno muncul sambil terengah-engah. "Mereka datang, Dam! Pasukan hitam itu!"
Aku pasang posisi, siap mengaktifkan jebakan jemuran. Pasukan hitam berlari mendekat, tapi tiba-tiba semua baju jemuran basah kuyup oleh air sabun dari ember Seno.
"Awas, licin!" teriak salah satu dari mereka, terpeleset dan jatuh. Kekacauan terjadi.
Aku dan Seno langsung berlari ke arah yang aman. Tapi aku sempat lihat sosok misterius berkerudung yang diam-diam mengambil sesuatu dari balik jemuran basah.
Aku menatap Seno, dan kami tahu, ini bukan sekadar perang antar gang. Ini sudah jadi pertempuran legenda jemuran yang menghubungkan sejarah, budaya, dan rahasia warga Gang Kantil.
Kami pun berjanji, di pertempuran lainnya, kami akan bersiap dengan strategi baru.
Penulis: Fadol. H, Siang Blackpink, malam Nasida Ria, pagi nulis cerpen, malam mikir dosa. Percaya bahwa hidup butuh semangat panggung dan damainya rebana. Dan menulis agar hidup tetap waras “katanya”.