Sore
Beberapa akhir tidak selalu tentang perpisahan. Kadang, datang untuk mengingatkan bahwa yang pernah hilang, bisa saja singgah kembali meski hanya sebentar, meski hanya dalam diam.
Joy duduk di balkon kampus menunggu giliran masuk ke ruangan ujian. Hari itu dengan penuh rasa khawatir dan cemas, sudah sejauh ini Joy melangkah hingga pada akhirnya sampai pada akhir mata kuliah 6 sks itu.
Tatapannya kosong mengingat semua kenangan dimana pada awal Joy masuk di kampus ini. Waktu begitu cepat berlalu, kenangan datang satu per satu, teringat semua memori yang sudah berlalu.
Terlihat dari kejauhan datang sebuah motor, dua orang berboncengan perlahan mendekat tepat di bawah Joy. Seketika terdiam melihat seseorang itu turun dari motornya tapi Joy masih menghiraukan disebabkan rasa cemas yang masih menghantuinya.
Waktu ujian semakin mendekat. Suasana semakin tegang, suara dari admin ujian terdengar memanggil nama yang selanjutnya masuk ke ruang ujian. Joy menarik napas panjang sembari mendengarkan lagu sebelum melangkah masuk ke ruang ujian. Namun, pandangannya kembali tertuju pada sosok yang tadi ia lihat turun dari motor. Mereka sempat saling menatap, seakan akan memberi pesan:
"Semua akan baik-baik saja."
Joy tersenyum tipis, meski gugupnya belum benar-benar hilang. Tidak ada kata, hanya tatapan sudah cukup untuk jadi semangat terakhir sebelum masuk ruang ujian.
Waktu terus berjalan, tapi terasa sangat lama. Joy memaparkan skripsinya di hadapan pembimbing dan penguji. Beberapa pertanyaan tajam dilontarkan oleh penguji, Joy dibuat berpikir keras dan mencoba menjawab dengan tenang walau jantungnya berdetak cepat. Semua terasa seperti ujian yang bukan hanya isi skripsi saja, tapi juga perjuangan empat tahun lalu di kampus ini.
Setelah presentasi dan sesi tanya jawab selesai, Joy dipersilahkan keluar oleh pimpinan sidang untuk menunggu hasil keputusan. Joy berdiri tepat depan pintu ruang ujian, tangannya dingin. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan ujian terbuka. Pimpinan siding memanggil kembali untuk masuk.
"Inilah saatnya." berbicara dalam hati.
Pimpinan sidang membuka suara,
"Berdasarkan surat keputusan dengan mempertimbangkan hasil presentasi yang anda sampaikan dengan ini kami menyatakan...."
Sentak Joy menahan napas.
"LULUS ujian tutup ini."
Joy tidak bereaksi, hanya menghembuskan napas panjang. Semua malam tanpa tidur, semua revisi tanpa akhir, semua rasa ingin menyerah ternyata tidak sia-sia.
Pimpinan sidang, pembimbing, dan penguji satu persatu berbicara.
Kata ucapan selamat, terima kasih, dan maaf jadi satu sebelum Joy benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Joy melangkah keluar dari ruangan, kali ini langkahnya terasa ringan. Teman-temannya semua menunggu di depan ruangan sembari mengucapkan selamat.
Joy menuju ruangan admin untuk menyetor nilai hasil ujiannya, Joy duduk depan ruang admin menunggu untuk masuk. Samar-samar terdengar suara dari sampingnya, satu bangku jaraknya.
"Joy, bagaimana dengan Pak Roy saat kamu bimbingan." Ucap seseorang itu.
"Kadang dia tidak datang, jadi harus ditunggu." Jawabnya dengan pelan.
Obrolan itu berjalan cepat, tidak padat. Tidak banyak basa basi. Joy tak menyangka bahwa seseorang itu membuka obrolan untuk pertama kalinya setelah dua tahun tanpa bicara.
Setelah menyerahkan berkas, Joy berpindah menuju fakultas. Di dekanat, suasananya tidak seramai tadi, hanya beberapa mahasiswa lalu lalang, entah mengurus pembayaran ukt, bimbingan atau sekedar menemani teman.
Beberapa menit berselang, seseorang itu datang mendekat tak jauh dari Joy duduk. Tidak ada sapaan, hanya sedikit tatapan mata dan senyuman. Bukan hening yang canggung, ada yang tumbuh diantara diam, seperti kenangan yang tidak perlu disebutkan untuk bisa dipahami.
Samar-samar terdengar nyanyian dari seseorang itu. Potong lirik Mangu dari fourtwnty sontak membuat Joy melirik ke arah seseorang itu.
Bukan hanya sekedar lagu, tapi mereka tahu artinya.
Joy masih menunggu yudisium, mahasiswa yang telah melaksanakan ujian tutup mulai berdatangan. Setelah semuanya lengkap, mahasiswa dipanggil satu per satu oleh staf wakil dekan III untuk masuk ke ruangan. Joy berdiri di barisan kedua.
Wakil dekan III menyebutkan satu per satu nama mahasiswa dengan predikat yang didapatnya. Suasana menjadi sendu, beberapa mahasiswa ada yang menangis ketika namanya dibacakan.
Yudisium bukan hanya sekedar nama yang dibacakan dengan gelar baru, tapi kehidupan baru dimulai.
Keluar dari ruangan wakil dekan III, Joy turun menuju depan dekanat. Sudah banyak orang-orang yang menunggu, beberapa di antaranya sudah mulai berfoto dengan selempang yang bertuliskan nama dan gelar barunya.
Namun, pandangan Joy tertuju pada satu titik.
Seseorang itu berdiri bersama temannya tak jauh dari tiang bendera.
Joy menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu sejak lama untuk berfoto. satu, dua bahkan belasan foto dijepret melalui ponsel. Semua orang turut merayakan, Joy tertawa bersama teman-temannya. Di tengah-tengah keriuhan Joy di panggil foto bersama oleh salah satu temannya.
Saat Joy menuju menghampiri temannya, terdengar sebuah suara yang menghentikan langkahnya.
"Joy.."
Pelan, tapi tidak asing.
Suara riuh tawa terasa tergantikan oleh denyut jantung yang sangat berdebar.
Seseorang itu berdiri dengan tatapan lembut dan senyum kecil.
"Selamat ya Joy."
Suaranya masih sama, tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan. Terasa begitu dekat tapi Joy tahu, ia tidak akan bisa menggapainya lagi.
Joy diam sejenak, Waktu seakan berhenti berputar. Lalu Joy mengulurkan tangannya. Jabat tangan itu hanya sepersekian detik, rasanya seperti memutar kembali semua kenangan yang sudah terkubur bertahun-tahun.
Joy menghela napas
“Terima kasih.” Ucapnya pelan.
Ada ribuan kenangan yang tiba-tiba bersuara. Ada senyum kecil yang pernah mengisi hari-harinya. Ada suara yang datang tiba-tiba seperti mengingatkan pada malam-malam ketika ia berbicara via telepon saat sebelum tidur.
Dan hari ini, suara itu kembali Joy dengarkan. Bukan dalam panggilan telepon tapi tepat berdiri di depannya walau hanya sebentar.
Semuanya teringat. Di mana Joy pertama kali bertemu dengannya. Di mana mereka pertama kali duduk berdampingan, berbicara seolah dunia hanya milik berdua. Di mana tangan mereka saling menggenggam, saling menguatkan tanpa harus banyak kata. Dan di mana pula akhirnya mereka belajar melepaskan, meski hati belum benar-benar rela.
Seseorang itu berbalik perlahan meninggalkan Joy.
Kini seseorang itu bukan lagi siapa-siapa, namun pernah menjadi segalanya.
Joy beranjak melangkah meninggalkan kampus, ia tersenyum kecil lalu berkata dalam hati:
“Kalau nanti dipertemukan lagi, semoga dia menetap dan menjadi akhir dari segala perjalanan.”
Dan jika waktu memang berbaik hati, jika semesta mengizinkan sebuah temu lagi. Joy berharap, kali ini bukan untuk dilepaskan.
Namun untuk tinggal. Selamanya. Tanpa perlu janji, tanpa perlu kata.
Hanya rasa yang tahu kapan harus pulang.
Penulis: Rifqi Akila, mahasiswa di Makassar.