Cantik Itu Sederhana
-can·tik[1] a 1 elok; molek (tt wajah, muka perempuan); 2 indah dl bentuk dan buatannya.
*
Kadang-kadang aku menginginkan menjadi seseorang yang cantik; tinggi semampai, berkulit putih mulus, memiliki tubuh proporsional, berwajah cantik, bola mata hitam yang dipayungi bulu mata lentik nan tebal. Seseorang yang ketika berjalan menarik perhatian orang.
“Secantik apapun perempuan itu di mata semua orang, tetap saja di mataku dia tidak cantik kecuali satu hal,” tanggap mbak Ratih setelah panjang lebar kujelaskan definisi cantik menurutku.
Oya, mbak Ratih anggota rohis dan kami baru saja dekat minggu-minggu ini, meski baru berkenalan tapi kami cukup akrab. Usianya dua tahun lebih di atasku, dia supel, ramah dan sering mengajakku diskusi kecil tentang apapun.
“Apa itu, Mbak?” aku mengerutkan alis.
“Menutup auratnya dengan baik.” Jawabnya.
Aku terdiam, hanya kedua mataku berkedip-kedip, masih menunggu mbak Ratih menjelaskan.
“Kalau perempuan tampil cantik dan sekadar ingin menjadi pusat perhatian, menurutku itu bukan cantik sesungguhnya.”
Jleb, jawaban ini sangat menusuk, setidaknya menurutku.
“Lalu, seperti apa cantik yang sesungguhnya?” ada penekanan dalam intonasi suaraku.
Cindy Crawford, Naomi Campbell, Britney Spears, sampai sosok fiksi seperti Buffy The Vampire Slayer, atau Miss Dynamite menjadi idola banyak orang. Mereka semua cantik.
Lantas, bagaimana jadinya bila seseorang memiliki fisik kurang sempurna, pendek misalnya, atau kulitnya hitam legam, atau katakanlah wajahnya kurang enak dipandang, lagi-lagi orang itu tidak cantik, bukan? Benar juga sih. Mau dibandingkan dengan Britney Spears misalnya bakal jatuh telak. Apa jadinya bila orang-orang semua berpikir ingin seperti itu, operasi plastik akan jadi pilihan pertama, berkeras hidup diet, olahraga rutin sampai menjadikan obat pencahar sebagai vitamin harian. Harapan-harapan di atas langit yang sulit digapai dengan tangga jadinya akan bablas. Dunia ini bukan negeri dongeng, atau hanya cukup dengan satu kata simlabim semua perempuan di dunia ini berubah menjadi cantik.
“Cukup jadi dirimu sendiri tanpa menjadi orang lain, dan yang paling penting jadikan dirimu sebagai tempat tumbuhnya kebaikan.” Tambah mbak Ratih.
Ini definisi cantik yang sangat anggun, setidaknya lagi-lagi menurutku.
“Apakah hanya sesingkat itu definisi cantik?” tanyaku lagi, ingin tahu lebih jauh pandangan mbak Ratih.
Dia mengangguk mantap. “Dan haruskah cantik hanya diartikan sesempit itu? Tinggi, putih mulus dan sebagainya?” dia balik bertanya.
Aku terdiam dan mulai membenarkan apa yang dia katakan sejauh ini. Pertanyaan yang dilontarkan membuatku merenung. Selama ini begitulah definisi cantik yang kutemui dalam buku-buku yang kubaca, dalam iklan-iklan televisi, penuturan para artis dan dari jawaban beberapa temanku. Tapi benar juga yang dikatakan oleh mbak Ratih, apakah hanya sesempit itu definisi cantik?
Setiap usai melaksanakan sholat zuhur aku lebih suka duduk berlama-lama di pelataran mesjid, memerhatikan beberapa mahasiswi yang sedang berlalu-lalang di depanku. Ini merupakan aktivitas baru untukku. Melihat bagaimana cara mereka menuruni tangga, cara mengenakan sepatu apakah secara tergesa-gesa atau lambat, cara mereka mengambil langkah, jenis baju yang dikenakan, bahkan melihat cara mereka tertawa.
Ah, seketika aku menjadi seorang pengamat hanya gara-gara kata cantik!
Ada berbagai gaya dan jenis pakaian yang mereka kenakan; memakai rok bewarna terang yang dipadu blus dengan warna lebih muda. Mengenakan kerudung motif kembang-kembang, ada yang melilitnya di leher—seperti model kerudung pegawai bank—dan ada pula yang menjulurkan hingga ke dadanya. Namun pandanganku kemudian tersita pada seorang perempuan yang sedang mengenakan gamis disertai kerudung panjangnya yang menjulur ke dada. Gaya pakaian yang menurutku sangat sederhana namun anggun. Perempuan itu santun menyalami tanganku dan tersenyum ramah. Mataku mengekor setiap langkah dan gerakannya.
Tunggu! Sepertinya aku sedang terpana dengan perempuan itu. Sepulang dari sana, di dalam kamar kos kukeluarkan semua pakaian dari lemari. Memilah-milah pakaian mana yang ketika kupakai bisa membuatku seperti dirinya. Pilihanku jatuh pada gamis merah maron. Besok ketika pengajian aku memutuskan untuk mengenakan gamis itu.
“Cantik tidak hanya dari fisik saja melainkan dari batin juga.” Musrifahku kembali memberi penjelasan.
“Caranya?” alisku mulai berkerut.
“Buat akhlaknya juga menjadi cantik.”
Setiap orang membelenggu dirinya dengan hal-hal yang mudah terlihat sehingga melupakan hal terkecil yang bisa jadi sangat berpengaruh besar. Dan, beruntung aku mengingat satu hal, bahwa keindahan tingkah laku sangat memberikan kontribusi besar terhadap definisi cantik yang selama ini kucari.
“Cantik itu sederhana kok, tak perlu dibuat ribet dengan berbagai embel-embel kecantikan ala orang sekuler.” Kata musrifahku lagi.
Penulis: Khaeriyah Nasruddin, menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar serta tergabung dalam FLP Ranting UIN Alauddin Makassar.