Panggil Saja Aku Tukik
Bak tubuh lunglai ilalang yang terseok oleh angin topan. Tak terperhatikan oleh belas kasih indra yang menyaksikan. Aku mahluk sebesar batang sabun, bertahan dari unggas, dari burung besar, dari apapun yang akan memisahkan kulit dan tempurungku. Untuk sampai ke bibir pantai yang penuh riak itu dua hari dua malam semoga tetap aku bersama sejawatku.
Anjing yang berdiri di balik tumpukan pasir itu terus menggonggong menyuarakan kegirangan menyambut deburan air laut yang berlomba-lomba menghantam karang. Ia berlari menuju balik pasir yang langsung mengekspos keelokan Pantai Senggigi.
Dari belakang terlihat seorang perempuan rupawan dengan busana pantainya mengulas senyum melihat anjing peliharaannya dengan antusias menyaksikan keindahan air laut.
Derap Langkah anjing itu tak hanya menghujani suka bagi empunya, sekaligus menjadi debar bagi kami tukik-tukik yang sedang berjalan menuju bibir pantai.
Mariska, Puan dari Fusso si anjing hitam yang tampak berkilau bulu-bulunya menarik tali yang menyambung pada leher anjing berjenis Flattie itu. Ia bawa Fusso menjauh dari rombongan tukik yang sedang meniti jalan menuju pantai.
Meski ada relawan yang menjaga, Mariska tetap antisipasi kalau saja nanti Fusso benar-benar menggondol kami para tukik yang rentan ini.
***
“Kau tahu, Wanita berbaju putih itu selalu menghabiskan sore harinya akhir pekan di pantai ini. Ia selalu memakai topi bundar warna hijau army di atas kepalanya. Baju putih sepaha dengan gelang kaki yang eksotis. Senyumnya tampak mengembang sepanjang mata memandang. Hiruk pikuknya tak lagi sekelam cerita mama.” Kataku, membuka percakapan bersama Bas saat kita meniti jalan pantai.
“Bagaimana kau bisa mengenal wanita itu. Bahkan kita baru saja keluar sarang hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Kau ini baru saja lahir sudah pandai mengada-ngada, Lif.” Sahut Bas yang tak percaya dengan ceritaku yang tetiba.
“Kau tak pernah mendengar mama?”
“Kau ini hanya sedang mengigau, mungkin selaput cangkang masih menyelimuti pikiranmu, sampai-sampai kau berbicara tanpa arah seperti itu”.
“Tidak ada yang mengada-ngada, Bas”. Kataku sambil meneruskan langkah.
“Mari kuceritakan, wanita yang riang gembira itu adalah Mariska. Semua penduduk laut mengenalnya, hanya saja mungkin ia tak pernah menyadarinya. Setiap sore hari pada penghujung pekan, penduduk laut akan berlomba-lomba menenangkan air agar cahaya senja bisa memantul indah di atas hamparan air laut. Kau tahu mengapa? Mari kuceritakan masa lalu Mariska dulu”. Masih sambil berjalan, Bas seakan sudah muak dengan cerita yang dianggapnya hanya dibuat-buat olehku.
“Mariska adalah seorang perempuan yang lahir dari seorang gundik. Semasa hidupnya tak ada seorang pun yang menjadi tempat pulang. Dari lahir sudah tak mengenal suara ibunya. Ia dan adik-adiknya berpisah dan bertemu dengan orang tua yang berbeda-beda."
"Mariska bertemu seorang wanita paruh baya yang tinggal di dekat jembatan besar agak jauh dari Pantai Senggigi. Dulu, ibunya menitipkan Mariska kepada wanita paruh baya itu untuk tiga hari saja. Ia janji akan mengambil kembali Mariska setelah tiga hari ia pergi. Wanita paruh baya kala itu pun percaya dan mengiyakan. Namun, setelah tiga hari, seminggu, hingga waktu yang tidak ditentukan Ibu Mariska tidak pernah datang."
Para tetangga wanita paruh baya itu tahu dan pastinya bertanya-tanya siapakah anak tiba-tiba itu. Awalnya wanita itu tak mau memberitahu kebenarannya, tapi cibiran yang semakin berdatangan membuat ia menyatakan sebuah ultimatum kejujuran kepada masyarakat sekitarnya.
Mereka jelas saja mengetahui status Ibu Mariska adalah seorang gundik. Dua anak yang lahir sebelum Mariska sudah tidak jelas arahnya, ada yang menjadi seperti dirinya dan satu lagi menjadi pemandu karaoke ilegal di jalan menuju kota.
Pada akhirnya mau tidak mau wanita paruh baya itu bersedia merawat Mariska meskipun dengan kondisi yang serba kekurangan. Mariska tumbuh dengan fisik yang molek, tidak berbeda jauh dari ibunya.
Bulu matanya lentik dan senyumnya menawan membuat ia mudah digandrungi oleh mata yang memandangnya. Namun, satu kalimat itu kini tiada artinya. Ia tetaplah seorang anak gundik, label yang akan ia bawa sampai kapanpun.
Masih dengan kekesalannya, wanita paruh baya itu tak pernah menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada Mariska, tapi ia berusaha mencukupi Mariska sejak kecil. Hingga umur lima belas tahun Mariska hidup bersama wanita paruh baya itu. Ia harus berpisah karena wanita itu berpulang karena sakit yang tak kunjung ditangani.
Selepas kepergian ibu sambungnya, Mariska menjerit sejadi-jadinya. Ia berjalan sejauh yang ia mau, hingga ia mendengar gonggongan anjing dari arah belakang ia berjalan. Berbalik badan dan menyaksikan anjing hitam dengan bulu berkilau, agaknya Mariska takut dan lari tapi anehnya anjing itu tak mengejarnya.
Merasa tak ada gonggongan yang ia dengar, Mariska berhenti dengan nafas tersengal-sengal. Menoleh ke belakang dan melihat posisi anjing itu masih sama seperti sejak ia tinggal lari. Akhirnya ia berjalan pelan menuju pantai dengan anjing yang mengikutinya dari arah belakang.
Fusso namanya, ia juga makhluk yang terkenal di kumpulan penghuni laut. Selama sepuluh tahun terakhir ini, ia yang senantiasa menemani Mariska kemanapun. Kasih sayang seekor anjing bisa membuat seseorang bertahan.
Mariska menemukan apa yang selama ini tak pernah ia peroleh dari manusia, kasih sayang. Fusso, layaknya hewan biasa tak bicara juga tak bisa bertanya bagaimana keadaanmu hari ini. Kasih sayang yang ia utarakan lewat tindakan membuat Mariska menemukan rumah yang selama ini belum pernah ia punya.
Karena Fusso, Mariska bisa berjualan pakan anjing dan punya pet care mini di dekat pantai. Ia bertahan, bekerja, belajar menerima dan meneruskan hidup yang tidak mudah itu. Mariska seperti dua bata yang mencuat dari ratusan bata tersusun rapi pada vihara yang dibangun Ajahn Brahm.
Keduanya selalu tampak sebagai sesuatu yang tidak sempurna, sesuatu yang dianggap tak indah dan bahkan sebagai suatu kekurangan. Tapi pada suatu takdir, dua batu itu menemukan seseorang yang memandang ia bukan sebagai ketidaksempurnaan tetapi sebagai keunikan yang ratusan bata lainnya tidak punya.
Mariska menemukan lautnya seperti kita menemukan lega ketika sampai pada bibir pantai. Menemukan khalayak yang menerimanya sebagai suatu bagian dari dinamika kehidupan oleh penghuni laut yang mengenalnya dengan akrab.
Kelak kita juga menemukan muara seperti Mariska, itupun kalau aku dan kau sama-sama kuat. Aku sudah tak sabar bertemu anak kuda laut yang lahir dari ayahnya, kerumunan terumbu karang yang membentuk taman bermain untuk kita lari-larian dan dan melodi-melodi lumba-lumba yang berdansa bebas.
Jika tak seekor burung, seekor predator atau pemangsa lainnya dengan bringas menerjang kita. Semoga saja”.
Pungkasku dengan pengharapan sederhana bersama saudaraku, Bas.
***
“Anak gundik sepertimu siapa yang mau menerima, Mar”. Aku terdiam mendengar ucapan wanita yang masih dekat dengan ibu sambungku.
“Kau tahu Fusso, aku tak pernah membenci ibuku, juga ibu kandungku. Aku besar bersama kebencian, meramu untuk menemukanmu, kasih sayang. Menemukanmu adalah bagian yang paling berarti dalam rentang waktu usiaku”. Ucap Mariska sambil menempelkan kepalanya pada punggung Fusso.
“Kau lihat mereka Fusso?”. Sambil menunjuk kerumunan tukik yang lebih mirip perlombaan di seberang penglihatan.
“Aku sama seperti mereka. Merakit asa menuju bibir pantai untuk melihat kehidupan baru mereka. Kau harus tahu, Fusso, meskipun kau ini tidak bisa menjawab perkataanku semoga kau paham. Ketulusanmu seperti Felice yang menemani Kafka, serupa juga Rahma yang mendekap hangat keresahan Ayub. Bedanya, mereka menemani orang hebat, sedang kau menemani orang beruntung. Kau sama seperti mereka, kau boleh kuat mereka boleh rentan tapi kau tak boleh menghalangi jalan mereka untuk menjadi kuat sepertimu, menjadi kuat untuk sampai di bibir pantai, menemui teman-teman dan rumah baru. Kuharap tetap jadi Fusso yang kukenal, kau tak akan mengganggu perjalanan mereka, kan?”.
Mendengar suara camar yang berputar-putar di atas laut, Fusso meluruskan pandangannya. Semakin memburu dan perlahan mengeluarkan gonggongannya. Benar saja, burung camar itu memangsa beberapa tukik.
Sebagian berhasil dilindungi oleh para relawan namun sebagian lainnya terkunyah oleh camar-camar ganas. Fusso lari ke arah tukik-tukik itu, menjemput Lif dan Bas, kiranya mereka masih bisa diselamatkan.
Fusso terus menggonggong mengusir camar-camar yang masih berterbangan di atas tukik. Hingga akhirnya para relawan sudah mengamankan tukik yang tersisa. Itu Lif, di atas telapak tangan seorang relawan, dia selamat. Namun Bas, ia bernasib seperti saudara-saudara Mariska, tak selamat. Semoga ia bermuara di lain tempat yang lebih indah.
“Kau hebat Fusso, kau hebat”. Fusso terus menggonggong seakan menyuarakan bahwa “Kau lebih hebat Mariska”.
Penulis: Saptianah Irmalita Wulandari, Aktif menulis sejak 2019 (bangku SMA). Melanjutkan kuliah di jogja dan menemukan tempat belajar menulis baru di pesantren kreatif baitul kilmah dan kawan-kawan baru di Jejak Imaji. Suka menulis sastra terutama surealis, karena merasa sesuatu yang tidak nyata adalah pelipur lara yang bisa ditakar sesuai kadar yang diinginkan dari penyakit kehidupan nyata.