Sun, 17 Aug 2025
Esai / T.H. Hari Sucahyo / Aug 16, 2025

Berhenti Hidup di Mata Orang

Ada suatu kebiasaan yang diam-diam tumbuh di dalam diri manusia, sering kali tanpa disadari, yaitu kecenderungan untuk menimbang hampir setiap langkah hidup berdasarkan apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Seolah-olah pandangan dan penilaian eksternal adalah cermin utama untuk mengukur nilai diri, keberhasilan, bahkan kebermaknaan hidup. 

Fenomena ini bukan hanya sebatas rasa ingin diterima secara sosial, sesuatu yang wajar dalam interaksi manusia, tetapi sudah menjadi pola yang melelahkan secara emosional, ketika setiap keputusan, ucapan, dan tindakan selalu dikendalikan oleh bayang-bayang opini orang lain. Dalam psikologi, pola ini sering dikaitkan dengan konsep social approval dependency atau ketergantungan pada persetujuan sosial, yang pada tingkat tertentu bisa merusak kesejahteraan mental.

Manusia, pada dasarnya, adalah makhluk sosial yang dibentuk oleh kebutuhan akan keterhubungan. Dari sudut pandang evolusi, penerimaan kelompok menjadi kunci untuk bertahan hidup, sehingga otak manusia terprogram untuk mencari tanda-tanda persetujuan dan menghindari penolakan. 

Dalam masyarakat modern, di mana jaringan sosial tak lagi terbatas pada lingkungan terdekat tetapi meluas ke dunia digital, tekanan untuk diterima justru semakin besar. Kita tidak lagi hanya mencari persetujuan dari keluarga atau tetangga, melainkan dari ratusan atau bahkan ribuan orang yang nyaris tidak kita kenal, namun opini mereka bisa membuat hati kita terombang-ambing.

Ketika seseorang terlalu peduli pada apa yang dipikirkan orang lain, ia cenderung membentuk perilaku yang bersifat self-monitoring berlebihan. Setiap kata yang akan diucapkan harus disaring berkali-kali.

Setiap keputusan harus melalui simulasi mental tentang bagaimana orang akan bereaksi. Bahkan, cara berpakaian, pilihan makanan, atau minat pribadi pun bisa diubah hanya demi kesan tertentu. 

Secara psikologis, hal ini menciptakan konflik batin yang konstan antara true self (diri yang otentik) dan false self (diri yang dipoles) untuk konsumsi publik. Dalam jangka panjang, benturan ini dapat mengikis identitas personal hingga seseorang kehilangan arah tentang siapa dirinya sebenarnya.

Mencoba mengubah pola ini sering kali terasa sulit, bukan karena orang tidak menyadari dampak buruknya, melainkan karena sudah tertanam dalam pola pikir sejak lama. Pendidikan, budaya, dan pola asuh sering memperkuat pesan bahwa penilaian orang lain adalah indikator utama nilai diri. 

Anak-anak yang tumbuh dengan pujian hanya saat berhasil memenuhi ekspektasi orang lain cenderung membawa pola ini ke masa dewasa. Demikian pula, kritik yang disampaikan dengan nada merendahkan dapat menanamkan rasa takut akan penolakan.

Perasaan ini membentuk lingkaran setan: ketakutan akan penolakan membuat seseorang semakin bergantung pada persetujuan orang lain, dan setiap penilaian negatif memperkuat rasa tidak aman.

Dalam ranah psikologi kognitif, kebiasaan terlalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain sering kali dipicu oleh cognitive distortions atau distorsi kognitif. Salah satu yang umum adalah mind reading, yaitu keyakinan bahwa kita tahu persis apa yang orang lain pikirkan tentang kita, padahal sering kali itu hanya asumsi. 

Distorsi lain adalah catastrophizing, membayangkan skenario terburuk jika orang lain tidak menyukai kita. Kombinasi keduanya membuat pikiran selalu berada dalam kondisi siaga, memindai tanda-tanda penilaian dari lingkungan. Ini melelahkan secara mental, dan ironisnya, justru membuat interaksi sosial terasa lebih tegang dan tidak alami.

Mencoba mengubah pola ini bukan berarti menghapus sepenuhnya kepedulian terhadap opini orang lain. Bagaimanapun, manusia tetap membutuhkan umpan balik sosial untuk berkembang. Namun, pergeseran perlu dilakukan dari ketergantungan yang pasif menjadi kesadaran yang aktif. 

Alih-alih bertanya “Apakah mereka akan menyukai saya?”, seseorang bisa mulai bertanya “Apakah ini sesuai dengan nilai dan tujuan hidup saya?” Pergeseran pertanyaan ini menempatkan kontrol kembali ke tangan individu, bukan di tangan kerumunan yang tak pernah bisa benar-benar kita kendalikan.

Perubahan ini memerlukan keberanian untuk menerima bahwa tidak semua orang akan menyukai kita, dan itu adalah hal yang wajar. Dalam psikologi humanistik, khususnya pendekatan Carl Rogers, konsep unconditional positive regard mengajarkan bahwa nilai diri tidak bergantung pada persetujuan orang lain. 

Untuk mencapainya, seseorang perlu melatih penerimaan diri yang mendalam, yang melibatkan pengakuan atas kekuatan sekaligus kelemahan, tanpa mencoba mengubahnya demi selera eksternal. Ini bukan proses instan, tetapi perjalanan yang mengubah cara kita memandang diri sendiri.

Langkah praktis untuk mulai melepaskan ketergantungan ini bisa dimulai dari mengidentifikasi momen-momen ketika kita mengubah perilaku hanya demi penilaian orang lain. Kesadaran diri (self-awareness) menjadi pintu masuk. Setelah itu, teknik cognitive restructuring bisa digunakan untuk menantang asumsi yang muncul.

Misalnya, jika pikiran mengatakan “Kalau aku menolak undangan itu, mereka pasti menganggapku sombong,” kita bisa menantangnya dengan pertanyaan “Apakah ada bukti nyata mereka akan berpikir begitu? Atau ini hanya asumsi?” Perlahan, otak belajar untuk tidak bereaksi otomatis terhadap ketakutan sosial.

Di sisi lain, membangun toleransi terhadap ketidaknyamanan sosial juga penting. Setiap kali kita memilih untuk bertindak sesuai nilai diri meskipun tahu akan ada penilaian negatif, kita memperkuat rasa otonomi.

Ini seperti melatih otot; semakin sering digunakan, semakin kuat. Dalam terapi perilaku, hal ini dikenal sebagai exposure terhadap rasa takut akan penolakan, yang terbukti efektif mengurangi sensitivitas berlebihan terhadap opini orang lain.

Perubahan juga memerlukan pengaturan ulang hubungan sosial. Mengelilingi diri dengan orang-orang yang menerima kita secara tulus dapat menjadi lingkungan aman untuk melatih otentisitas.

Di ruang seperti ini, kita bisa bereksperimen menjadi diri sendiri tanpa tekanan untuk menyesuaikan diri secara berlebihan. Dukungan sosial yang sehat tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan pada penilaian eksternal, tetapi juga memperkuat kepercayaan diri untuk menghadapi situasi yang lebih menantang di luar.

Meski demikian, dalam prosesnya akan selalu ada godaan untuk kembali ke pola lama, terutama ketika menghadapi situasi baru atau penuh ketidakpastian. Otak akan mencari jalan aman, dan jalan aman itu adalah mengikuti ekspektasi orang lain.

Di momen seperti itu, penting untuk mengingat bahwa setiap kali kita memprioritaskan opini orang lain di atas nilai pribadi, kita sedang menyerahkan kendali atas hidup kita. Mengubah kebiasaan berarti berulang kali memilih untuk mengambil kembali kendali itu, meski terasa menegangkan.

Satu hal yang sering dilupakan adalah bahwa orang lain jauh lebih jarang memikirkan kita dibanding yang kita bayangkan. Efek ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai spotlight effect, yaitu kecenderungan melebih-lebihkan seberapa banyak orang memperhatikan kita.

Kesadaran bahwa kebanyakan orang sibuk dengan urusan mereka sendiri bisa menjadi pembebasan yang signifikan. Kita mungkin merasa menjadi pusat perhatian, padahal bagi orang lain, kita hanya sekilas bagian dari latar.

Perjalanan untuk berhenti terlalu peduli pada apa yang dipikirkan orang lain bukanlah upaya untuk menjadi individu yang sepenuhnya kebal terhadap kritik atau bebas dari kebutuhan akan koneksi. Ini lebih kepada membangun keseimbangan yang sehat antara mendengarkan masukan dari luar dan mendengar suara hati sendiri. Mengubah pola pikir ini adalah latihan jangka panjang dalam membangun keberanian, menerima ketidaksempurnaan, dan merayakan keunikan diri.

Ketika seseorang berhasil mengurangi ketergantungan pada penilaian orang lain, mereka mulai mengalami kebebasan yang jarang dirasakan sebelumnya. Keputusan dibuat bukan lagi berdasarkan “Apa yang akan orang pikirkan?”, tetapi “Apakah ini benar bagi saya?”.

Kebahagiaan menjadi lebih murni karena tidak lagi bergantung pada sorak sorai penonton. Dan meskipun perjalanan ini penuh tantangan, setiap langkah kecil menuju otentisitas adalah langkah menuju kehidupan yang lebih tenang, lebih jujur, dan lebih memuaskan—bukan hanya di mata orang lain, tetapi terutama di mata diri sendiri.

 
 
Penulis: T.H. Hari Sucahyobergiat di Cross-Diciplinary Discussion Group "Sapientiae".

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.