Di Sudut Kamar
Di Sudut Kamar
Di sudut kamar, perempuan itu menangis dalam diam.
Air matanya jatuh tanpa suara,
membasuh luka-luka yang tak pernah sembuh —
luka yang ia pendam, luka yang tak terbaca.
Setiap hari goresan baru menghuni hatinya,
seperti hujan yang tak pernah reda.
Ia bertanya pada langit dan pada dirinya sendiri:
"Kapan semua ini akan berhenti?"
Tiap tetes air matanya penuh tanda tanya.
"Apa aku tak akan pernah meraih bahagia?
Bahagia yang bukan topeng semu,
bahagia yang tak palsu."
Ia lelah terlihat baik-baik saja di depan dunia.
Lelah jadi tegar meski hati retak di dalamnya.
Menanti sesuatu yang tak pasti di ujung sana,
namun tetap menggenggam harapan,
meski hanya setipis sisa doa.
Di sudut kamar itu,
perempuan itu masih bertahan.
Di antara luka, tanya, dan lelah,
ia tetap memeluk dirinya sendiri.
Sebab hanya itu yang nyata
di tengah hidup yang tak selalu ramah.
*
Adik Kecil Adalah Cahaya yang Kupinta
Adik kecil adalah cahaya yang kupinta,
sejak langkahku di sekolah dasar masih mungil.
Ketika teman-temanku memeluk tawa bersama adik mereka,
hatiku pun berbisik, aku pun ingin merasakan itu.
Dengan harap yang tak terbendung,
aku menatap mama penuh keyakinan,
memohon sebuah hadiah kehidupan,
adikku, teman di pelabuhan masa depan.
Mama tersenyum, dan doa itu dikabulkan.
Kala mentari merunduk perlahan,
menyambut senja setelah azan Ashar,
di sebuah rumah sakit kecil di tepian kota,
tangisan pertamamu pecah—
seperti simfoni haru yang menetes dalam diam.
Aku dan papa berdiri terhanyut,
menyambutmu dengan cinta tanpa syarat.
Namun kebahagiaan itu laksana embun pagi,
indah namun rapuh.
Sebelum fajar benar-benar terbuka,
terjadi bisik luka di sela kebahagiaan kami.
Saat papa dan aku dibolehkan mendekatimu,
ada kata yang jatuh bagai duri di hati:
"Lebih cantik dia daripada kamu."
Mungkin hanya gurauan,
tapi untukku yang masih kecil,
kata itu adalah badai yang menghentak.
Aku menelan luka itu mentah-mentah,
menangis tanpa suara,
dan melarikan diri ke sudut rumah sakit.
Di taman kecil di belakang rumah sakit,
aku menatap bunga-bunga yang diam menari oleh angin,
menyembunyikan tangisku di balik senja.
Berharap luka hati ini akan sembuh,
dan cahaya yang kupinta tetap menyala.
Adik kecilku, meski kehadiranmu datang dengan tangis dan luka,
kau adalah titipan cahaya,
sebuah bagian dari cerita hidupku yang tak pernah pudar.
Dan aku akan selalu menunggumu,
dengan doa yang tak pernah lelah.
Penulis: Vonny Dahayu Amanda, Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.