Bahasa Indonesia dan Geopolitik Budaya: Refleksi untuk Generasi Muda
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi — ia adalah identitas, kekuatan budaya, bahkan senjata diplomasi. Di ruang publik, sering muncul perdebatan tentang posisi Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu. Banyak yang menyederhanakan keduanya sebagai "bahasa yang sama", bahkan muncul narasi bahwa Bahasa Indonesia belum sah sebagai bahasa mandiri karena belum berusia 100 tahun. Artikel ini hadir sebagai klarifikasi elegan yang berbasis fakta linguistik dan geopolitik, tanpa harus konfrontatif.
Secara historis, Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu memang berasal dari akar yang sama — rumpun Austronesia, tepatnya cabang Melayu-Polinesia. Namun sejak awal abad ke-20, keduanya menempuh jalur perkembangan yang berbeda. Indonesia menetapkan Bahasa Indonesia secara resmi pada Sumpah Pemuda 1928, bukan sebagai turunan pasif dari Bahasa Melayu, melainkan sebagai bahasa persatuan nasional yang sengaja dibangun sebagai simbol identitas baru bangsa merdeka.
Sementara itu, Malaysia mengembangkan Bahasa Melayu berdasarkan kebijakan pascakolonial mereka dengan pengaruh kuat dari bahasa Inggris. Karena itu, meski serumpun, keduanya tidak identik. Bahasa Indonesia bukanlah dialek Melayu Malaysia — ia adalah hasil rekayasa kebudayaan dan politik nasional yang memiliki jalur sejarah, fungsi, dan otoritas kebahasaan tersendiri.
Dalam kajian sosiolinguistik, sebuah bahasa tidak hanya dinilai dari struktur dan kosakatanya, melainkan juga dari fungsi sosial dan legitimasi politiknya. Bahasa Indonesia sejak awal dirancang sebagai simbol persatuan nasional — bukan sekadar alat komunikasi, tetapi penyatu ratusan etnis dan bahasa daerah di Nusantara. Ia disahkan dalam UUD 1945 Pasal 36 dan menjadi bahasa resmi negara dalam pendidikan, pemerintahan, dan diplomasi.
Sebaliknya, Bahasa Melayu di Malaysia berkembang dalam konteks yang berbeda. Meski memiliki kedekatan historis, fungsi ideologis keduanya tidak sama. Bahasa Indonesia lahir sebagai proyek kebangsaan, sementara Bahasa Melayu Malaysia lebih kuat dalam konteks etnisitas dan kolonialisme Inggris. Karena itu, penyamaannya secara langsung berpotensi mengabaikan dimensi historis dan politik yang sangat penting.
Salah satu argumen yang terkadang muncul adalah klaim bahwa sebuah bahasa baru dapat diakui jika telah digunakan secara resmi selama lebih dari 100 tahun. Klaim ini tidak memiliki dasar dalam standar linguistik internasional. UNESCO, ISO 639, maupun lembaga bahasa dunia menilai keabsahan sebuah bahasa berdasarkan status resmi, sistem kodifikasi, fungsi pendidikan, dan penggunaan dalam kehidupan bernegara — bukan berdasarkan usia semata.
Faktanya, banyak bahasa negara modern seperti Tetum (Timor Leste) dan Filipino (Filipina) baru distandardisasi resmi dalam beberapa dekade terakhir, tetapi langsung diakui oleh dunia internasional. Bahasa Indonesia sendiri telah memiliki landasan hukum sejak 1928 dan 1945, serta sistem baku seperti KBBI dan PUEBI yang menjadikannya salah satu bahasa modern paling terstruktur di Asia.
Dengan demikian, klaim "harus 100 tahun dahulu" tidak relevan dalam diskursus akademik maupun diplomatik.
Bahasa adalah bagian dari "soft power" suatu negara — kekuatan yang bekerja melalui pengaruh budaya, bukan kekuatan militer maupun ekonomi. Jika istilah "Bahasa Melayu" dipaksakan sebagai representasi tunggal Asia Tenggara, ada risiko narasi budaya Indonesia secara perlahan tergeser. Pengabaian terhadap istilah "Bahasa Indonesia" tidak hanya mereduksi identitas nasional, tetapi juga melemahkan posisi Indonesia dalam wacana diplomasi, pendidikan global, dan representasi peradaban.
Karena itu, penyebutan istilah suatu bahasa dalam forum internasional bukan perkara semantik, tetapi soal pengakuan kedaulatan naratif. Di titik ini, kesadaran publik — terutama generasi muda — menjadi krusial agar tidak sekadar bangga menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi juga memahami nilai strategis yang dikandungnya.
Di tingkat global, Bahasa Indonesia telah diakui secara luas. Beberapa contoh nyata:
- Program Bahasa Indonesia di universitas top dunia seperti Harvard dan Tokyo University.
- UNESCO dan ASEAN mengakui bahasa ini sebagai bahasa resmi di berbagai forum.
- Google Translate, kursus online internasional, dan media edukasi global menggunakan istilah "Indonesian" secara konsisten.
Hal ini membuktikan bahwa legitimasi Bahasa Indonesia tidak tergantung pada narasi lama atau klaim usia 100 tahun, melainkan pada penggunaan nyata, pengakuan hukum, dan kekuatan budaya yang dibawanya.
Bahasa Indonesia lebih dari sekadar sarana komunikasi; ia adalah simbol identitas, alat diplomasi, dan kekuatan budaya. Klarifikasi terhadap miskonsepsi seperti "harus 100 tahun untuk diakui" atau penyamaan dengan Bahasa Melayu bukanlah hal sepele. Generasi muda perlu memahami bahwa penguasaan, penghargaan, dan penyebaran Bahasa Indonesia bukan hanya soal kebanggaan, tetapi strategi kebudayaan yang menentukan posisi Indonesia di dunia. Dengan kesadaran ini, kita dapat melanjutkan tradisi kebangsaan dengan elegan dan cerdas, tanpa kehilangan identitas atau legitimasi di panggung global.