Mon, 20 Oct 2025
Esai / Galang Mario / Oct 16, 2025

Pergulatan Batin Hamsun dalam Novel Lapar

Pada musim gugur yang dingin di sebuah kota kecil, seorang penulis berjuang keras menghadapi kehidupan yang penuh kesulitan. Sebagai seorang penulis lepas, ia seringkali kekurangan uang untuk membeli makanan, sehingga kelaparan menjadi teman setianya. Bahkan, untuk mengatasi rasa lapar, ia terpaksa menggigit sepotong kayu.

Namanya Knut Hamsun, salah satu penulis cemerlang yang dimiliki Norwegia bahkan Eropa. Namun pengalaman ke penulisannya ditempuh dengan jalan sulit. Lika-liku karir menulisnya seringkali tidak membawanya gemilang ke puncak gelimang ekonomi, bahkan berakhir melarat seperti halnya pada beberapa seniman atau sastrawan terkenal yang karyanya tenar setelah kematiannya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rollo May (1977), seorang psikolog eksistensialisme dalam bukunya The Meaning Of Anxiety, bahwa penderitaan bukan musuh penghalang tetapi bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia dan bisa menjadi peluang untuk bertumbuh.

Demikian seperti halnya pandangan dari Viktor Frankl (1946) dalam bukunya Man's Search for Meaning membahas tentang teori psikoterapi yang menekankan bahwa makna hidup dapat ditemukan bahkan dalam penderitaan ekstrem sekalipun. Baginya dengan penderitaan memberikan kesanggupan untuk menemukan makna dan kekuatan bertahan hidup.

Dalam hal ini, penderitaan bukan penghalang, dengan menghadapinya membuat seseorang bisa lebih dewasa dan dapat menemukan makna dalam hidup, sekaligus pendorong kreativitas dan pencerahan dalam diri.

Hamsun, dalam penderitaannya, menemukan caranya untuk bertahan hidup melalui tulisan yang akhirnya menemukan makna hidupnya sekaligus dapat  mengangkat namanya.

Memang sebuah karya tak bisa lepas dari kisah hidup pengarangnya, karena pada akhirnya, karya adalah perwujudan jiwa sang pengarang, dan karya yang menarik tak sedikit lahir dari penderitaan. Ini bisa dilihat pada karya novel Crime and Punishment (2002) milik Fyodor Dostoyevsky.

Dibalik karya tersebut, ia bergulat dengan masalah kemiskinan yang menggunung, ditambah lagi dengan kecanduan judi yang membuatnya terjebak dalam utang yang tak kunjung reda. Namun, dalam pergulatan itu, hadir seorang wanita muda bernama anna yang mengubah hidupnya menjadi sosok yang memberikan dukungan emosional yang sangat dibutuhkan, menjadikannya mampu menghasilkan karya hebat.

Selain itu, ia juga menghadapi kerasnya kehidupan Rusia yang kala itu dipenuhi dengan ketidakadilan sosial. Melawan sistem feodalisme dan pemerintahan absolut yang hampir merenggut nyawanya. Dari pengalaman pahit itu, lahirlah suara pikiran yang lantang dan keras dalam karya-karyanya, yang mengkritik ketidakadilan dan memperjuangkan kebebasan berpikir.

Dostoyevsky, dapat mengubah pengalaman traumatis tersebut menjadi sesuatu yang produktif dan penuh arti. Dostoyevsky mampu menghasilkan karya hebat yang merefleksikan pergulatan batin dari penderitaan yang dialami.

Penderitaan tersebut juga dialami Knut Hamsun, anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin di pesisir Norwegia, menjalani kehidupan yang penuh cobaan. Pada usia sembilan tahun, ia diambil paksa oleh pamannya karena masalah hutang keluarga.

Selama lima tahun bekerja di kantor pos, Hamsun mengalami kekerasan fisik dan mental dari pamannya. Bahkan, dalam upaya untuk dibebaskan, ia pernah memotong jari kakinya, namun tidak berhasil.

Meskipun begitu, masa-masa sulit bersama pamannya menjadi momen penting dalam perjalanan spiritual Hamsun, yang mengilhami novel berjudul Lapar, sebuah karya yang menggambarkan pergulatan batin yang mendalam tentang dirinya.

Lapar (1890) merupakan penggalang episode kehidupannya, pernah meraih nobel kesusastraan di tahun 1920. Karya tersebut menceritakan dirinya dalam kondisi getir, pahitnya dihimpit situasi serba sempit. Karirnya tampak jauh dari harapan. Penolakan dari berbagai redaktur membuatnya hampir putus asa.

Ditambah lagi, di tengah kondisi sosial norwegia kala itu yang kurang memberi perhatian pada profesi penulis, membuat nafas kreatifnya terisolasi. Namun, meskipun hidupnya diliputi kemiskinan, pakaian lusuh, dan tubuh kurus karena kekurangan gizi, ada satu hal yang membuatnya bertahan yakni ketabahan dan keberanian yang luar biasa, ia terus menulis meski jiwanya rapuh akibat kelaparan.

Karya tersebut menggambarkan sosok “aku” yang terus menerus dijerat kesulitan di kota itu. Beberapa bulan sewa kamarnya belum dibayar, tanpa keping krona sepeserpun mengisi kantongnya, terakhir makan sudah lewat berhari-hari lampau. Hanya pakaian melekat di badan, serta kertas dan pensil yang tinggal bersamanya. Siap digadai sewaktu-waktu bila mendesak.

Si aku dalam lapar menggambarkan perjuangan seorang individu yang terperangkap dalam penderitaan tanpa akhir. Terhimpit kelaparan yang berkepanjangan hingga ia mengalami delirium, gangguan mental akibat kelelahan fisik yang ekstrim. Keadaan itu membuatnya sering kali terjerumus dalam khayalan dan perilaku yang absurd.

Walau Penderitaan terus menerpa namun tekadnya menjadi penulis begitu kuat. Seluruh isi kepalanya dilambari keinginan menulis sesuatu yang menarik. Hasrat itu menjalar ke seluruh saraf-sarafnya. Tidak ada yang mampu menghalangi dari impiannya itu, bahkan rasa lapar yang membunuh sekalipun.

Pengalaman lapar tersebut bukan hanya dialami dalam satu peralihan musim gugur ke dingin tapi peralihan musim tersulit pun dia hadapi di sana.  Konon, setibanya di denmark, ia langsung mencari kamar dengan harga paling murah, menyewa selama lima pekan tanpa makan malam selama tiga pekan.  Ia masih tetap menulis. Tak berjeda, lupa makan, lupa mandi, lupa segala-galanya.

Segala penderitaan yang dialami membuatnya meluncur masuk ke dalam kondisi pencerahan spiritual yang timbul akibat rasa lapar. Suatu bentuk askese atau mati raga akibat luka derita yang dihayatinya kembali dari seluruh bahan cerita yang ia tuliskan.

Di sisi lain, meski dalam keadaan seperti itu, ia tetap berhati nurani. Ia merasa bersalah karena telah melanggar sesuatu yang berlawanan dengan nilai yang dipercayainya seperti saat si ‘aku’ memaksa seorang nenek demi memberikan sepotong kue kepada anak kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa meski terperangkap dalam penderitaan, nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam dirinya.

Hamsun telah tiba pada pencapaian dirinya, seperti Self Actualization Carl Rogers dalam bukunya Counseling and Psychotherapy (1951) bahwa pencapaian diri dapat dicapai melalui proses penerimaan diri dan penghargaan tanpa syarat, namun krisis atau penderitaan dalam menjadi katalisator untuk memulai hal tersebut. Meski Hamsun berada dalam penderitaan, keinginannya untuk tetap menulis dan menggapai kesuksesan artistik mencerminkan proses pencapaian jati dirinya yang tak tergoyahkan oleh keadaan eksternal.

Membaca Lapar karya hamsun cukup menarik, mengingatkan kita pada The Myth of Sisyphus oleh Albert Camus (1942) tentang absurditas kehidupan yakni benturan kehidupan antara keinginan manusia untuk mencari makna dengan ketidakpedulian alam semesta, sebuah penderitaan dan perjuangan yang tak berujung.

Hamsun, dalam kesulitannya yang tak kunjung selesai, menunjukkan betapa besar tekad dan semangat hidup dalam dirinya meskipun dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Ketabahan dan keberanian Hamsun dalam bertahan hidup untuk terus menulis meskipun kelaparan dan kemiskinan menghimpit, menjadi cermin dari tekad kuat yang mendorongnya untuk terus melangkah mencapai tujuan.

Harapan Dalam Derita Si Aku

Membaca Lapar terjemahan Marianne Katoppo membuat kita merasakan optimisme yang tersembunyi di balik penderitaan tokoh "Aku". Membacanya  bagaikan diajak berlari, kadang berlari kecil, perlahan dan kemudian tak terasa lari marathon telah dimulai.

Ada jeda namun sejenak, setelah itu kembali berlari. Kebulatan tekad Aku menerjang hidupnya yang sekarat membuat karya ini seperti nafas yang memburu. Pembaca mungkin akan mengejar terus penghujung dari buku tersebut dengan sendirinya, ingin segera mengetahui nasibnya.

Disadari tidaknya, penulis berhasil memaksa pembaca mengikuti rangkaian perjalanan sang tokoh aku yang terus saja berjalan dengan arah dan tujuan tidak jelas, tergantung ke mana dan sejauh apa lapar menggoncangkan pikiran sehatnya.

Bergerak, dan terus bergerak, agar fisik dan kepalanya tetap bekerja menemukan ide menulis, yang kadang tidak kunjung datang. Semua demi beberapa krona untuk membeli makan yang akan memperpanjang nyawanya sedikitnya tiga hari.  Keyakinannya utuh meski menghadapi kesulitan beruntun.

Setiap kali laparnya tak tertahankan, ia dengan segera menekan tombol optimismenya akan satu hal. Ia mengambil sikap perlawanan keras terhadap kondisinya, Melawannya dengan keyakinan bahwa setelah ini, ia mampu menyelesaikan sebuah tulisan berharga seandainya ada sedikit asupan menginterupsi tubuhnya.

Harapan itu selalu muncul di sela-sela situasi yang membayangkannya pun sudah cukup menyulitkan. Dari situ, Lapar telah mengobarkan optimisme yang lebih dari sekadar wajar.

Ketika pemilik penginapan mengusirnya, kehidupannya tengah memasuki bagian yang memperburuk fisik dan nyaris merontokkan jiwanya. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu sengsara ke sengsara lain. Lalu mulailah ia berjalan, menggotong semua miliknya.

Memulai proses menulis ‘menggebu-gebu’ karena diserang lapar. Semakin digempur, dihajar lalu babak belur jiwa raganya karena lapar, justru semakin ia paham bahwa ia menyadari sepenuhnya cobaan itu, juga dimaksudkan untuk menguji sekuat apa moralitas dan tekadnya.

Pagi-pagi, ia sudah keluar mencari tempat yang tepat untuk menulis. Belum makan, tapi ia sadar, harus tabah dan tetap fokus menulis. Nyaris saban hari, ia bersikeras mengeluarkan seluruh pikiran terbaiknya dari pagi menuju petang. Kadang tanpa istirahat di malam hari, sebagian karena kedinginan dan kelaparan.

Namun satu waktu, entah sudah hari ke berapa ia bahkan tidak mampu melirik sekelas toko roti sekalipun. Tak ada keping sama sekali dan ia takut tergugah. Sekali lagi, tidak ada jalan lain. Menghinakan diri sekali-kali tak mengapa, dengan rasa ragu memasuki lalu memilih roti, dan menipu kasir, semacam strategi pertahanan manusia yang terlilit lapar tingkat mencemaskan.

Di jalan pulang, ia marah kemudian memaki-maki dirinya sendiri. Batinnya bergejolak hingga ia menangisi dirinya sendiri. Karena tidak sanggup mencegah tangannya berbuat culas dan mencuri. Semua keping akhirnya ia serahkan pada seorang nenek tua penjual kue.

Tidak ada uang berarti tidak ada kamar. Juga berarti tidak ada makanan. Ia berjalan ke hutan, dan tertidur di lantai hutan yang agak basah. Meski tubuhnya harus menjerit kaku, diterjang dingin.

Tuhan yang ia ejek dan puja sekaligus karena derita bertubi-tubi, akhirnya mengulurkan pertolongan. Orang yang ia sebut-sebut komandan menyelamatkannya. Seorang redaktur koran lokal di mana ia rutin mengirim artikel yang sangat sering ditolak, dibentak daripada naik cetak. Untung saja si komandan meminjamkan uang karena kaget dan iba melihatnya yang nyaris mati kelaparan. 

Berhari-hari menghalau lapar hanya dengan menggigit-gigit sepotong kayu, tubuhnya hanya nampak kulit membalut tulang. Akhirnya ia menuju pasar mencari pertolongan. Perutku yang teraniaya, katanya, sudah tidak bisa mentolerir waktu. Sedikit meleset, perutnya akan mengirim sinyal ke otak dan meminta semuanya berhenti. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa.

Saat itu, ia bertemu penjual daging. Sembari menguatkan badannya berdiri tegak, ia memberanikan diri meminta sedikit tulang bagi anjingnya yang tidak pernah ada. Kebohongan yang menurut situasi itu, terasa sangat diperlukan. Sepotong tulang akhirnya datang sebagai penyelamat.

Ia pamit setelah membalas bantuan darurat itu dengan kesantunan yang agak berlebihan. Sepotong tulang itu menyisakan sedikit daging di beberapa bagian. Dijilati dan digigitnya saking laparnya. Begitu lemahnya, walau tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Daging mentah beraroma amis darah kuat yang menembus tenggorokannya, rupanya terasa panas dalam perut.

Membuatnya mual dan memuntahkannya tiap kali gumpalan itu berhasil masuk.  Ia keluarkan semua daging itu. Tidak ada yang tertinggal pada raganya. ia menangis sehingga tulang itu menjadi basah dan kotor karena air mata, ia pun muntah dan muntah sekali lagi.

Waktu terus bergerak, namun kemalangan terus menimpa. Sepanjang cerita, rasa-rasanya hampir semua jalan di kota Kristiania pernah di tapak oleh raga yang lemah dan penampilan yang lusuh. Lagi-lagi, ide cemerlang belum singgah dari bakat menulisnya. Tetap saja begitu, sebanyak dan sefokus apapun ia berusaha. Benar-benar sungguh malang derita yang dialaminya.

Demikian segala penderitaan Aku, membuatnya menemukan makna hidup, Kondisi tersebut juga sama seperti yang dinyatakan oleh Viktor Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning (1946) bahwa memang penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia, namun manusia memiliki kemampuan untuk menemukan makna dalam penderitaan tersebut. 

Karya Hamsun ini menantang pembaca untuk merasakan perjalanan batin yang penuh dengan perlawanan. Si aku, meskipun terus dihantam dengan kesulitan, tidak menyerah begitu saja. Freud dalam Beyond the Pleasure Principle (1920) terhadap teori dorongan khususnya naluri hidup (Eros).

Manusia sering kali dipaksa untuk menghadapi dorongan yang lebih kuat daripada sekadar kebutuhan dasar, seperti kelaparan atau kebutuhan fisiologis. Dalam hal ini, Aku melawan dorongan untuk menyerah kepada penderitaan dan justru mencari makna melalui proses menulisnya.

Penulis memaksa pembaca untuk mengikuti perjalanannya yang penuh perjuangan, di mana setiap langkah yang diambil adalah perlawanan terhadap kelaparan yang mengancam eksistensinya.

Keberlanjutan dari perjuangan Aku dalam menghadapi kelaparan ini juga mengingatkan kita pada konsep existential crisis yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1943). Sartre mengemukakan bahwa manusia harus menciptakan makna sendiri melalui kebebasan dan pilihan mereka.

Manusia selalu berada dalam keadaan kekosongan eksistensial yang terus-menerus dipenuhi oleh pencarian makna hidup. Meskipun Aku tidak menginginkan kelaparan, ia terus bergerak dan berjuang untuk menemukan makna dalam hidupnya.

Keberanian untuk terus bertahan dan menulis meskipun tak ada jaminan apapun menunjukkan bagaimana Aku mencoba mengatasi kehampaan eksistensialnya dengan menggantungkan harapan pada hal-hal yang lebih tinggi, seperti proses menulis itu sendiri.

Setiap peristiwa dalam hidupnya tampaknya hanya membawa penderitaan lebih jauh. Namun, seperti yang diajarkan dalam filosofi Stoikisme, khususnya oleh Epictetus, penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan karena banyak hal di luar kendali kita.

Tapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang meresponnya. Tokoh Aku dapat dilihat sebagai contoh dari seorang individu yang meskipun terhimpit oleh penderitaan, tidak menyerah pada nasib. Sebaliknya, ia memilih untuk tetap maju, tetap menulis, dan tetap berusaha bertahan, meskipun dunia semakin keras.

Walau Kebanyakan pembaca mungkin tidak merasakan penderitaan fisik yang sama dengan yang dialami oleh tokoh Aku, namun setiap manusia pasti memiliki beban dan penderitaan masing-masing, meskipun bentuknya berbeda-beda. Karya ini mengingatkan kita akan kenyataan hidup yang penuh dengan ketidakpastian dan perjuangan.

Namun, dalam setiap penderitaan tersebut, ada ruang untuk menemukan kebahagiaan dan kebermaknaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Aku, yang meskipun terus dihantam oleh kelaparan dan kesulitan, tetap menemukan harapan dalam proses menulis.

Moralitas Yang Teruji

Penulis berhasil menggali kesadaran terdalam dalam karya ini “Lapar”, menunjukkan bahwa setiap usaha materi yang diperoleh manusia untuk memenuhi kebutuhan, lambat laun hanya mampu mengurung atau menunda rasa lapar yang tak terelakkan.

Seperti yang diungkapkan oleh Maslow pada buku Motivation and Personality (1954), kebutuhan manusia dapat dikategorikan dalam piramida dengan kebutuhan fisiologis di dasar piramida. Akan tetapi, meskipun kebutuhan dasar ini sudah dipenuhi, ketidakpuasan tetap hadir menandakan bahwa kebutuhan manusia tidak pernah benar-benar selesai.

Bagaimanapun juga, lapar akan selalu kembali menghampiri. Si aku beruntung dengan keyakinan itu, dibalik kelaparan yang menggerogoti, ia berhasil membangun pertahanan moral yang kuat.

Lapar telah menjadi bayangannya dan kematian terus mengintai di pundaknya. Meskipun dalam kondisi tersulit sekalipun, tak mampu mengobrak-abrik pertahanan spiritual dan etika yang ia pegang teguh.

“Si Aku paling bahagia adalah ketika aku menderita sebagai orang jujur”, kalimat tersebut ia lontarkan ke dirinya sendiri ketika rasa lapar gagal membawanya ke titik terendah. Sekaligus bukti bahwa ia merasakan kehadiran utuh dengan idealismenya yang mengalir deras.

Bahwa pada akhirnya segala sesuatu bisa diatasi. Secara tidak langsung, ia mengajarkan tentang kecukupan hidup pada dunia dengan ungkapan “hei, perutmu itu tidak butuh banyak, kenyanglah secukupnya. Sebanyak apapun, lapar pasti datang lagi.” Bahwa lapar adalah hal biasa saja. Semua orang merasakannya.

Maka kita pun tahu bahwa perut diberi asupan secukupnya saja dan masalah pun selesai. Karya ini jadi menarik karena si aku telah membuktikannya berkali-kali, dimana Berulang-ulang ia merasa cukup dengan makan yang tidak seberapa tapi mampu menulis berjam-jam lamanya.

Novel ini lebih dari sekadar cerita tentang kelaparan fisik. Ia juga mencerminkan perjalanan spiritual yang disajikan dengan apik melalui pergulatan psikologis tokoh utama ‘aku’. Meskipun pergulatan dengan tuhan bukanlah tema utama novel ini, kita dapat melihat bagaimana Aku, dalam penderitaannya, mengutuk tuhan namun sekaligus berdoa dan mensyukuri segala yang dimilikinya.

Ini menggambarkan betapa dalamnya perasaan manusia yang dilanda penderitaan, dimana keputusasaan dan harapan seringkali berjalan beriringan. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Kierkegaard dalam karyanya The Sickness Unto Death (1849), bahwa penderitaan bukan sebagai akhir tetapi katalisator untuk pertumbuhan Rohani dan penemuan makna hidup yang lebih dalam. Penderitaan adalah jalan menuju pencerahan, di mana manusia dapat menemukan makna yang lebih dalam melalui penderitaannya.

Dalam novel ini, hamsun seperti sedang membangun sebuah fondasi moral. Bahwa keinginan tidak berbanding lurus dengan kebutuhan.

Kebutuhan manusia terbatas, sementara keinginan membuatnya caruk maruk. Dan mungkin selama ini, yang kita beri makan adalah nafsu, bukannya perut. Tegas seperti hamsun saat menampik uang dan makanan yang dituhankan dari hidup manusia yang singkat.

Secara tidak langsung, karya Hamsun ini menyampaikan sebuah pesan yang tegas tentang perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Menarik jika dikaitkan dengan konteks sekarang di mana masyarakat modern sering kali terjebak dalam siklus keinginan tanpa batas, yang tidak pernah mencapai kepuasan sejati.

Novel ini secara halus mengkritik pola konsumsi yang tidak terkendali dengan menunjukkan bahwa nafsu tidak bisa memenuhi kebutuhan sejati manusia. Hamsun seolah mengingatkan kita bahwa dalam hidup yang serba materialistik ini, kita sering memberi makan nafsu dan bukan kebutuhan sejati kita.

Pengaruh karya ini tidak hanya terbatas pada karya sastra, tetapi juga menjangkau ke berbagai bentuk seni lainnya seperti seni rupa. Misalnya Picasso yang terinspirasi oleh metode “to show” yang digunakan Hamsun untuk menggambarkan realitas dalam karyanya.

Bukan hanya pesan yang ingin disampaikan, tetapi kesan yang dapat ditangkap oleh indra, sehingga memberi dimensi yang lebih dalam dalam memahami penderitaan. Hal Ini juga tercermin dalam aliran aliran modernis yang muncul pada abad ke-20, yang menekankan pencarian makna dan refleksi mendalam terhadap pengalaman manusia.

Demikian Marianne Katoppo yang menerjemahkan sekaligus memberi kata pengantar pada buku novel tersebut, menyebut Hamsun sebagai pelopor metode mengalirkan cerita yang disebut aliran flow of thought.

Masa itu memang sangat dipengaruhi realisme Dostoyevsky yang karya-karyanya mengakar kuat pada kelas-kelas di masyarakat rusia akhir abad 19. Alih-alih membahas pergulatan kaya raya, Hamsun fokus pada persona yang mengalami tragedi kelaparan.

Ia mengeksplorasi ide lebih dalam dan menantang, Imajinasi seluruh efek yang ditimbulkan jika kelaparan mendatangi berhari-hari. Tanpa uang, tanpa tempat tinggal, hanya pakaian yang melekat di badan.

Ia menawarkan efek dari kelaparan yang bukan hanya fisik tetapi juga psikologis, yang menggugah pembaca untuk merenungkan kembali kondisi eksistensial manusia dalam dunia yang serba materialistik ini.

Secara tegas novel tersebut mengingatkan kita pada kenyataan hidup yang kompleks. Mungkin banyak di antara kita yang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh Aku, namun kita semua memiliki beban dan penderitaan masing-masing.

Kehidupan ini memang penuh ketidakpastian, seperti halnya nasib Sisifus yang dihukum untuk mendorong batu ke puncak bukit hanya agar batu itu kembali jatuh ke bawah. Meski demikian, kita tetap bisa menemukan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup dengan hal-hal sederhana seperti membaca buku sembari menikmati secangkir kopi hangat besama sahabat.

 

Penulis: Galang Mariomahasiswa Pendidikan Seni Pascasarjana UNY.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.