Refleksi 80 Tahun Indonesia: Kebiasaan ala Kita vs Negara
Malam ini di hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 80, saya berkumpul bersama kawan-kawan untuk merayakannya. Sebenarnya bukan merayakan, saya datang untuk melanjutkan tesis yang sudah terbengkalai. Walaupun sebenarnya sudah lelah dengan kondisi dari pagi hingga sore hari beraktivitas di sekolah, namun karena tesis sudah mendesak akhirnya saya melanjutkannya.
Di sebuah sekretariat NGO kami berkumpul, berdiskusi tentang tesis hingga salah seorang kawan menawarkan untuk ikut langganan netflix melalui sharing akun. Lumayan, 20 ribu sebulan sudah bisa menikmati netflix. Hitung-hitung sudah hampir setahun tidak nonton netflix.
Nah, di tengah pengerjaan tesisnya, bunyi perut tak bisa lagi diabaikan. Singkatnya, kami patungan mengumpulkan uang untuk membeli makanan. Dan seperti biasa, kami membeli gorengan, indomie coto makassar, dan telur 3 biji. Kami membagi tugas siapa yang masak nasi, beli gorengan, mie dan telur serta siapa yang menunggu makannya jadi (upa’ki ini iya).
Saya mendapat tugas untuk membeli gorengan, mie dan telur. Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba kepikiran tentang kondisi yang kami alami dengan kondisi Indonesia saat ini. Ditambah momen kemerdekaan, akhirnya saya memutuskan untuk merangkai narasi singkat di pikiran saya menjadi sebuah tulisan yang saat ini saya buat.
Kebiasaan ala Kita vs Negara
Berkumpul, bercerita, patungan beli gorengan plus Indomie, serta pembagian tugas pengerjaan tanpa kita sadari menjadi sebuah kebiasaan yang telah berlangsung lama. Saat masih kecil, mahasiswa, bahkan kerja pun kita terus melakukannya. Tanpa memandang usia, status dan identitas yang melekat, kebiasaan itu telah merasuki jiwa-jiwa penduduk +62.
Pertama kita masuk dulu pada momen kumpul-kumpul. Bagi kita, perkumpulan merupakan sebuah momen untuk mendekatkan dan penuh dengan emosi positif. Sayangnya, momen perkumpulan ala negara, dijadikan sebagai momen yang alih-alih memperkuat dan menyenangkan masyarakat Indonesia, justru sebaliknya.
Kebijakan lingkungan hidup di Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh. Perizinan berusaha dipermudah, partisipasi publik dikebiri dan pengawasan yang lemah. WALHI misalnya, secara resmi telah melakukan permohonan uji materiil untuk klaster lingkungan hidup dalam UUCK pada juni 2025. WALHI meminta MK untuk mencabut 13 pasal yang melemahkan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup.
Jauh sebelum itu, lahirnya UUCK telah menyebabkan gelombang besar protes warga dengan menolak hadirnya aturan tersebut. Tapi, diproses banyak pihak kok malah semakin dikebut pengesahannya? Entah apa yang merasukimu….
Kedua adalah patungan beli makanan. Pada kegiatan perkumpulan, patungan menandakan solidaritas. Dalam konteks negara, patungan menjadi ajang kongsi antara pemerintah dan pengusaha untuk mengeruk sumber daya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan masyarakat lokal/adat di wilayah tersebut.
Data dari Auriga Nusantara menyebut Indonesia kehilangan 261.575 hektar hutan pada tahun 2024. Hal itu sama saja Indonesia kehilangan hutan 4x lebih luas dari Jakarta. Nah, dimana pertautannya? Masih dari data yang sama, 97% deforestasi terjadi pada wilayah yang legal.
Ini menandakan perlindungan hutan Indonesia masih lemah, malah terus mengurangi luasan hutan yang diberikan kepada korporasi. Apalagi dengan demam hilirisasi nikel yang masih menjadi andalan pemerintah. Maka jangan heran bila di daerah seperti Sulawesi, Maluku Utara hingga Papua akan terus dihantui deforestasi yang semakin luas.
Ketiga yakni makan gorengan campur Indomie. Gorengan tahu, tempe sama bakwang menjadi menu wajib yang harus dibeli bisa akan disantap bersama. Sesuai tagline nya, Indomieee, selerakuuuu. Apalagi kalau rasa Coto Makassar, assipaki’ tawwa.
Jika kita kaitkan dengan kondisi negara, gorengan berkaitan dengan populisme menyesatkan, kebijakan yang digoreng dengan narasi indah yang dipoles dengan berbagai buzzer yang mendukung kebijakan yang dibuat. Swasembada listrik, menjadikan nikel sebagai kekuatan keuangan negara adalah contoh kecilnya. Eh, IKN masuk juga kah? Hmm..
Hilirisasi nikel secara besar-besar bukan hanya menghilangkan hutan namun juga mencemari lingkungan baik di hutan itu sendiri, pesisir, hingga laut. Belum lagi energi listriknya yang biasa disebut dengan PLTU Captive yang telah menyebabkan kualitas udara memburuk yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Pada awal Agustus ini, warga Morosi, Sulawesi Tenggara yang ruang hidup tercemar akibat PLTU Captive menang gugatan di MK dengan menyatakan PLTU di wilayahnya cemari lingkungan dan melawan hukum. Itu hanya satu daerah saja, belum lagi daerah lainnya yang merasakan kondisi yang sama!
Tahukah jika Indonesia merupakan negara tertinggi ketiga di dunia yang menambah kapasitas PLTunya. Dilansir dalam bisnis.com, pada tahun 2024 sebesar 80% PLTU adalah PLTU Captive.
Instan kita kaitkan dengan kondisi kebijakan yang serba instan tanpa mempertimbangkan secara matang-matang dampaknya. Kalau ini kalian saja yang bisa melihat dramaturgi yang dibuat pemerintah.
Terakhir, adalah pembagian tugas. Setelah kita mengumpulkan uang dan telah menetapkan rencananya, tugas selanjutnya adalah pembagian tugas. Jika kita lihat kondisi negara, sentralisasi melalui UU CK telah menyebabkan pusat memiliki peran yang sangat besar.
Pada kebijakan lingkungan, sentralisasi ini menggerus peran daerah dalam perlindungan, yang juga selama ini dimanfaatkan organisasi masyarakat sipil lokal untuk mengadvokasi kasus-kasus ham dan lingkungan. Proses perijinan yang lebih cepat, terasa makin jauh terlihat dan terdengar bagi warga yang terdampak.
Akhir Kata
Momen kemerdekaan seharusnya membuat kita merefleksi lagi bagaimana kebijakan negara yang hadir apakah untuk kepentingan masyarakat, atau hanya kepentingan individu atau kelompok tertentu? Bagi saya merdeka adalah saat lingkungan, warga dan demokrasi sama-sama kenyang dan senang, tanpa harus menukar dengan masa depan melalui berbagai kebijakan instan dan tidak bergizi.
Selanjutnya, pengalaman malam ini ternyata membuat saya kembali lagi menulis setelah beberapa bulan tak menulis, kembali menajamkan bacaan dan tulisan yang hampir tumpul.
Begitu saja kira-kira, lumayan, dapat mencapai 800 kata tulisannya. Eh, iyakah?
Penulis: Muhammad Riszky