Negara Pajak: Catatan 80 Tahun Kemerdekaan
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia yang cukup matang untuk menilai dan mengoreksi perjalanan bangsa. Dalam kurun hampir satu abad, Indonesia telah melewati berbagai fase: perjuangan kemerdekaan, pembangunan ekonomi, krisis multidimensi, reformasi politik, hingga era digital yang serba cepat.
Namun, di tengah capaian dan tantangan itu, ada satu hal yang terus mengemuka dan kini kian terasa mencengkeram: negara yang semakin bergantung pada pajak warganya.
Memang benar, pajak adalah nadi utama kehidupan negara modern. Hampir semua negara di dunia menggantungkan keberlangsungan birokrasi dan pembangunan dari penerimaan pajak. Tetapi ketika pajak dijadikan satu-satunya tumpuan, ketika ruang gerak warganya dibatasi oleh kewajiban fiskal yang kian luas, muncul pertanyaan, apakah negara sedang salah urus?
Dari “Gotong Royong” ke “Negara Pajak”
Sejak awal berdirinya, para pendiri bangsa membayangkan Indonesia sebagai negara yang mengusung semangat gotong royong. Bung Karno pernah menyebut gotong royong sebagai inti Pancasila, yakni kedaulatan rakyat yang dipakai untuk menyejahterakan rakyat. Namun, dalam praktiknya, negara kita lebih sering terjebak dalam pola fiskal yang mengandalkan pungutan.
Dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan, pajak bumi dan bangunan, pajak cukai rokok, hingga wacana pajak digital dan pajak karbon—semuanya diarahkan untuk menutup defisit anggaran. Rasanya tidak ada ruang dalam kehidupan sehari-hari yang luput dari incaran pajak.
Fenomena ini menimbulkan pergeseran imajinasi bernegara. Jika semula negara dipandang sebagai pelindung dan pengayom, kini ia sering hadir sebagai pemungut, bahkan mungkin pemalak. Warga negara pun cenderung melihat negara bukan lagi sebagai “rumah bersama”, melainkan sebagai institusi yang selalu menagih, tanpa benar-benar menjamin balasan berupa pelayanan publik yang layak dan berkualitas.
Ketergantungan berlebihan pada pajak sesungguhnya adalah gejala negara yang gagal menemukan sumber daya alternatif. Indonesia memiliki potensi besar dari kekayaan alam. Namun, pengelolaan sumber daya ini kerap dikuasai oleh segelintir kelompok besar, baik swasta maupun konglomerasi asing, yang memberi kontribusi minim bagi kas negara.
Lihatlah bagaimana royalti tambang sering kali jauh lebih kecil dibanding kerusakan lingkungan yang ditinggalkan. Atau bagaimana ekspor bahan mentah terus berjalan, sementara nilai tambah industri dibiarkan lari ke luar negeri. Dalam situasi demikian, negara justru menutup celah fiskal dengan jalan termudah: menarik pajak dari kantong rakyat.
Padahal, pajak bukan hanya urusan fiskal. Pajak adalah kontrak sosial antara negara dan warga. Teori klasik menyebut, warga bersedia dipajaki karena mereka mendapat perlindungan, pelayanan, dan kesejahteraan dari negara. Namun, bila kontrak itu timpang—pajak dinaikkan, tetapi pelayanan publik stagnan—maka kepercayaan publik akan luntur.
Salah satu indikator yang mencemaskan adalah menurunnya kepatuhan pajak secara sukarela (tax compliance). Banyak warga merasa terbebani, bahkan tidak sedikit yang berupaya menghindar. Fenomena ini bukan semata karena moralitas pajak (tax morality) yang rendah, melainkan karena persepsi publik terhadap negara yang tidak akuntabel.
Kasus-kasus korupsi di lembaga perpajakan semakin memperdalam luka kepercayaan ini. Masyarakat bertanya, untuk apa mereka taat membayar pajak jika uang itu justru digunakan untuk memperkaya segelintir pejabat? Lebih jauh, wacana pajak yang terus meluas—hingga ke transaksi digital kecil sekalipun—membuat rakyat merasa negara terlalu jauh masuk ke ruang privat kehidupan mereka.
Dalam situasi demikian, istilah “negara pajak” bukan lagi sekadar metafora, melainkan realitas sehari-hari. Negara yang tidak sanggup mengelola kekayaan alam dan potensi ekonomi dengan bijak, akhirnya menjadikan rakyat sebagai sumber pendapatan utama.
Menimbang Jalan Keluar
Lalu, apa jalan keluar? Pertama, negara perlu memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Potensi mineral, energi, hingga hasil hutan dan laut harus benar-benar memberi kontribusi nyata bagi kas negara, bukan hanya menguntungkan segelintir elit dan asing.
Kedua, reformasi birokrasi perpajakan harus terus berlanjut. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak mutlak dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Tidak cukup dengan digitalisasi layanan, tetapi juga penegakan hukum yang tegas terhadap penyalahgunaan kewenangan.
Ketiga, negara perlu mengubah paradigma fiskalnya. Pajak harus dilihat bukan sebagai cara menutup defisit, tetapi sebagai instrumen redistribusi yang adil. Artinya, mereka yang lebih mampu harus menanggung beban lebih besar, sementara kelompok rentan perlu mendapat keringanan dan jaminan sosial.
Keempat, kontrak sosial antara negara dan warga harus dipulihkan. Negara perlu membuktikan bahwa setiap rupiah pajak yang dipungut kembali ke rakyat dalam bentuk pelayanan publik yang nyata: pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang merata, infrastruktur yang adil, dan rasa aman yang terjamin.
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momen refleksi. Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang membangun negara gotong royong, atau sekadar negara pajak yang sibuk menambal defisit dari kantong warganya?
Negara memang membutuhkan pajak, tetapi pajak bukan segalanya. Jika negara hanya hadir sebagai pemungut, tanpa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, maka kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata akan terasa hampa.
Kita ingin Indonesia di usia 80 tahun bukan sekadar bertahan hidup dengan menggali kantong warganya, tetapi tumbuh sebagai negara yang mampu mengelola kekayaan, adil dalam distribusi, dan setia pada janji awalnya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum.
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UNM