Kapankah Kita Saling Menghargai?
Seperti biasanya, semenjak final berakhir kami menghabiskan waktu berdua, mungkin untuk membalas waktu kencan kami yang tidak ingin menganggui produktivitas kuliah dan kegiatan yang lain. Seperti perjanjian sebelum hubungan kami dimulai. Kurasa tidak ada yang spesial diantara hubungan kami, kecuali percakapan singkat kami saat bertemu.
Hubungan ideal dipikiranku adalah kami menghabiskan waktu untuk berbincang dengan bebas tentang segala sisi kehidupan, tentang ketiadaan dan keberaadaan. Kurasa, perbincangan adalah cara untuk saling mengenal satu sama lain.
Keharusan bagi kami adalah antri berdua. Setelah antri, kemudian kami duduk di kursi dengan posisi berhadapan. Mulai lah terdengar pertanyaan "Cerita apa untuk hari ini?" tanya ku sambil meminum minuman yang berada dihadapanku.
"Apa ceritamu hari ini?" seperti biasa, kalimat ini akan selalu jadi jawaban untuk pertanyaanku.
Setelah kalimatnya itu pasti akan kulanjut dengan ceritaku.
"Cerita ini saat aku liburan di daerah Papua. Seorang perempuan yang berkulit putih bersama satu anaknya datang disebuah warung terenak di tempat itu, di dalam warung itu hanya terdiri atas tiga meja panjang yang berada di sudut ruangan. Tempat yang sempit dan makanan yang enak membuat warung itu terlihat ramai. Saat itu, masih tersisa dua kursi kosong di sudut meja.
“Kau tau apa yang menyedihkan?"
Perempuan berkulit putih itu memilih untuk duduk di kursi bagian depan warung yang tentu terkena asap pembakaran ikan. Kemudian, melihat dengan sinisnya ke dalam warung menunjukkan kejijiannya dan menutup hidung. Mba pelayan warung meminta kepada perempuan tersebut untuk masuk ke dalam karena masih ada yang kosong. Namun dia tidak menghiraukan dan tetap melanjutkan makanannya sampai habis. Singkat cerita perempuan itu pergi.
Beberapa saat kemudian salah satu bapak yang berasal dari daerah tersebut, tentu dengan keunikan warna kulit dan rambutnya, yang kurasa menandakan bahwa itulah keanekaragaman Indonesia. Bapak tersebut keluar dari warung kemudian duduk ditempat perempuan yang tadi. Ia kemudian mengatakan "ko dan sa memang berbeda, tong dari timur ini berbeda dengan kalian yang dari barat sana. Tapi kitong tidak pernah minta jadi seperti ini. Kitong menerima kalian di daerah kami, tapi susah sekalikah kalian menerima kitong. Sa tau kalau dia itu tra mau makan deng kami (wajah bapak tersebut menunjukkan bahwa ia sedang menahan kesedihannya)
(Kamu dan saya memang berbeda, kita dari timur berbeda dengan kalian yang dari barat sana. Tapi kita tidak pernah memintanya dari pencipta. Kami lahir seperti ini dan kamu lahir seperti itu. Kami menerima kalian datang di kampung kami, begitu susahnya kalian menerima kami. Saya tau perempuan tadi tidak ingin makan bersama kami)
"Kira-kira seperti itu bahasa dari bapak itu, mungkin logatnya agak sedikit berbeda. Sungguh, menyedihkan kurasa melihat kejadian tersebut. Apakah begitu susahnya untuk kita saling menghargai?" ucapku dengan nada sedih.
"Belum tentu perempuan itu bermaksud seperti itu?” timpalnya padaku.
"Sangat terlihat jelas dari perilaku perempuan tersebut, paling tidak ia bisa menunggu hingga tempat tersebut mulai sepi kemudian makan atau membungkus makanan tersebut. Kita tidak bisa mengendalikan persepsi orang terhadap kita, tapi kita bisa mengendalikan perilaku kita terhadap orang lain. Sepertinya, perbedabatan kulit hitam dan putih takkan selesai hingga perang III benar-benar terjadi.
Itulah ceritaku malam itu, dan selanjutnya kuberi kesempatan kepadanya untuk menyampaikan ceritanya.
Penulis: Ulva Dwiyanti, mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar, pengurus MAPERWA KEMA F.PSI UNM 2018-2019.