Fri, 19 Apr 2024
Cerpen / Mar 12, 2022

Little Prince For Mom

Rerumputan telah digoyahkan oleh angin sepoi-sepoi ditambah kicauan burungpun membangunkan lamunan panjang orang yang sedang mangkir dijendela sembari memikirkan problematika hidup entah itu asmara, keluarga, sahabat ataupun pekerjaan. Berbeda dengan seorang remaja laki-laki dibawah siang bolong terlihat meratapi batu nisan bertuliskan “Ahmad Adzan Saputra, wafat 16 Mei 2015”.

Sesekali mengucek kedua bola mata demi menghalau debu yang masuk. Itu hanya sebuah frase untuk melawan realita bahwa ia sedang menghalau air mata. Memang benar kata orang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sedih hati rasa harus melepaskan seseorang yang disayangi untuk selama-lamanya, itulah yang remaja itu rasakan. Hanya ada kata maaf sembari menyeka batu nisan, meskipun tiada berarti. 

Aydin, nama remaja laki-laki yang baru saja meninggalkan kuburan seorang diri. Ternyata ia hanya seorang yang lemah tidak setangguh  arti namanya. Tidak ada yang berubah setelah 7 tahun kepergian Adzan, kakaknya tersayang karena penyakit kanker otak.

Tuhan memang tidak tidur, tapi bagaimanapun besar doanya itu tidak akan mengembalikan Adzan, itu sudah menjadi garis takdir mutlak bagi setiap makhluk hidup yang bernyawa. Sesampai dirumah, sebuah kertas putih melayang bagaikan daun kering yang telah gugur kehilangan arah. Surat panggilan dari sekolah sudah sampai dipangkuan ibunya. Padahal, ia sudah menyimpan dilaci meja rapat-rapat.

Sejak mengambil kerja part time diawal semester kelas 11, Aydin sering tidak masuk sekolah bahkan meninggalkan ujian tengah semester. Sampai guru wali kelas menelfon ke rumah, rasa malu dan amarah tidak bisa dibendungi ibunya Aydin karena itu. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi sekarang, toh juga pasti sudah surat itu sudah dibaca. 

“Apa kau ingin membunuhku? Hah? Berapa lagi masalah yang akan kau berikan?”, kedua bola mata ibunya memerah tanda sedang meredam amarah. Aydin tidak mampu berkutik. Kini ia hanya dapat memandangi langit-langit kamar sembari merenungi setiap tindakannya.

Tidak perlu risau karena Aydin sudah terbiasa menerima teguran keras seperti itu, bahkan kala kecil dulu dikurung dalam gudang berhari-hari oleh ibunya. Sungguh tidak apa-apa. “Ting!” notifikasi berbunyi, ada pesan dari Sheina. Ouh iya, Sheina adalah sahabat kecilnya. Sudah hampir 10 tahun mereka bersahabat. “Besok Aku tunggu yah”, singkat Sheina langsung menutup percakapan, tidak lagi bertuliskan online disana. 

Hari telah berganti tidak akan ada rembulan dibalik kaca jendela menemani. Aydin terbangun karena suara serak basah begitu nyaring dan bergema. Yah, siapa lagi itu suara Sheina. Entah mungkin karena Sheina atau tidak, ia bisa kesekolah. Sedikit cerita, kemarin Aydin mengintip dari balik pintu kamar ibunya.

Wanita setengah tua itu sedang meratapi sepatu yang sudah rusak, sudah dipakai bertahun-tahun tapi tidak pernah diganti. Sepatu rusak begitu bisa melukai tumit dan punggung kaki pemakai. Rasanya tidak tega melihat itu. Akhirnya, Aydin memutuskan mengambil sedikit tabungannya untuk membeli sepatu baru untuk ibunya. Hari ini, ia berniat memberikan sepatu itu agar bisa digunakan ke kantor.

Bukannya mendapat hasil yang baik, sepatu itu malah dirobek. Bahkan dilempar masuk ketempat sampah. Sedih, sudah tentu iya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam sembari sedikit mengoceh “mengapa semua hal yang Aku lakukan tidak pernah berarti untuk ibu?”, hanya dalam hati. 

Sheina mendengar suara keributan dari dalam. Tapi, ia berusaha untuk menghiraukan karena tidak mau Aydin terganggu. Benar saja, Aydin memang pandai menyembunyikan perasaannya dan berpura-pura baik-baik saja padahal tidak. “Kau memang pandai berakting”, ucap Sheina berusaha mengalihkan senyuman palsu Aydin. Laki-laki itu menoleh dan sedikit mengejek  “Eh, tupai”.

Yah, karena tubuh Sheina pendek dan badannya kecil. Tidak berhenti sampai sana, ritual sebelum ke sekolah adalah bermain batu kertas yang kalah harus membawa pemenang. Seperti ada jimat, Aydin memang selalu memenangkan pertandingan itu. Alhasil Sheina harus terlambat. Pak satpam juga enggan  untuk membuka gerbang. Bukannya membantu, Aydin malah menjulurkan lidah seperti anak kecil. 

Sementara itu, dirumah nampak seorang wanita setengah tua tidak lain adalah ibunya Aydin sedang duduk diatas pangkuan kasur empuk sembari membelai foto usang. Ia sedang bercengkrama dengan foto almarhum suami dan anaknya.

Itu biasa dilakukan untuk mengusir rasa kerinduan. “Mas, andaikan kamu masih disini dan juga adzan mungkin kita sudah jalan-jalan ke Hawai seperti impianmu, ya kan?”, air mata tidak bisa terbendungi. Disambung lagi, “Tapi kau malah merusak pernikahan kita. Perempuan dan anak itu membawa malapetaka untuk keluarga kita....”,

***

Sesampai dirumah Sheina, “hati-hati yah” kata Sheina ke Aydin sembari menenteng ranselnya memasuki rumah. Sebelum pergi, Aydin mendadak mendapat telefon dari rumah sakit bahwa ibunya pingsan dan sedang berada di ruang UGD. Tak berpikir panjang kedua kakinya mengayuh sepeda.

Begitu sampai disana, ibunya sudah terbaring diatas ranjang rumah sakit dengan keadaan begitu lemah dan mata tertutup. Kata dokter, ibunya mengonsumsi pil tidur dalam jumlah banyak. Sepertinya ini karena masalah psikis. Jika hal ini terus terjadi, maka akan merusak organ vital dalam tubuhnya.

Alangkah baiknya jika bisa berkonsultasi dengan psikiater yang memang ahli menangani masalah mental. Soal itu, Aydin tidak akan mampu berbuat apa-apa. Bagaimana ia bisa bertindak jika ibunya bahkan tidak pernah mendengar ucapannya sekali saja? 

Ibunya harus dirawat dalam beberapa hari dirumah sakit, bahkan setelah berganti hari sejak masuk RS kemarin ia belum sadar juga. 2 hari telah berlalu, selama itu Aydin bolak-balik RS untuk memantau perkembangan kondisi ibunya. Tetapi hari ini berbeda, sesampai disana. Ranjang sudah kosong.

Rumah sakit kehilangan satu pasien yang kabur dalam masa pengobatan. Meski sudah mencari diseluruh rumah sakit, tetap tidak menemukan keberadaan ibunya. Jika tidak ada dirumah sakit dan rumah kemungkinan besar ada dikuburan Adzan. Biasanya ia memang suka kesana jika sedih. Benar saja, dia berada disana. Seketika, Aydin teringat akan serpihan kisah masa lalu. 

Flashback, 

Adzan!! terdengar suara begitu nyaring dari dalam rumah. Aydin bergegas masuk untuk melihat apa yang terjadi. Adzan terkapar lemah diatas tehel dan kejang-kejang, beberapa hari yang lalu sempat muntah tapi muntahnya tak biasa berwarna agak kehijauan dan tubuhnya sering kaku alias susah digerakkan.

Setelah menjalani pemeriksaan dirumah sakit, Adzan didiagnosa menderita penyakit kanker otak. Keluarga Adzan terutama ibunya sulit menerima kenyataan pahit itu. Ditambah lagi pernyataan dokter bahwa perkiraan umur Adzan tidak akan lama lagi. Kesemua hal itu membuat hati ibu dan Aydin hancur berkeping-keping. 

Meski begitu, mereka tidak pernah kehilangan harapan agar Adzan bisa sembuh dari penyakitnya. Fakta bahwa Tuhan ada, tidak akan pernah hilang dari benak Aydin, setiap doa dalam shalatnya hanya ada ukiran nama Adzan disana. Semua usaha dilakukan mulai dari operasi ataupun radiosurgery (proses menghentikan dan menghambat sel-sel kanker), sampai mengonsumsi obat-obatan, tapi tidak menunjukkan hasil yang baik.

Bahkan, Adzan sempat mau dibawa ke rumah sakit luar negeri. Namun, sebelum dibawa kesana Adzan sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Selama berbulan-bulan berjuang melawan penyakit itu akhirnya Adzan menyerah dan kini ia tidak akan merasakan sakit lagi. Tuhan lebih sayang ke Adzan. 

 “Kakak tidak akan sakit lagi”, gumam Aydin didepan makam Adzan.

Hamparan tanah telah meniup menghampiri bola mata Aydin yang sedang menatap ibunya disamping makam Adzan. Orang-orang yang lewat akan mengira ibunya gila karena memeluk batu nisan sembari menangis. Padahal 7 tahun sudah berlalu. Jika ditanya apakah sedih, sudah tentu Aydin merasakan hal yang sama seperti ibunya.

Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan hanya dengan menangis. Sejujurnya ia mengerti mengapa orang menangis, itu untuk melepas kerinduan akan kehilangan seseorang disayangi.  “Andaikan rasa sayang ibu ke Adzan, juga sama kepadaku. Mungkin Aku akan berkali-kali lipat lebih bahagia dibanding orang lain”. Aydin bermaksud untuk menenangkan ibunya lagipula sudah hampir hujan. 

“Ibu, Ayo pulang ini sudah hampir hujan. Kakak sudah tenang dialam sana”

“Siapa kau berani bilang begitu ke anakku? Pergi!!!”

“Ibu, tapi Aku juga anakmu”

“Tidak. Aku bukan ibumu, dan dia bukan kakak mu. Dia anakku. Anakku!!!! Aku sudah menahan semuanya selama ini. Aku sudah kehilangan Adzan. Jadi, tidak ada lagi yang perlu kututupi. 20 tahun yang lalu, suami ku berselingkuh dengan ibumu. Dan kau adalah buah cinta dari perselingkuhan mereka! Kehadiranmu dan ibumu adalah malapetaka bagi keluarga ku.

Aku kehilangan suami dan anak kandungku. Jadi berhenti menganggapku ibumu. Kenapa tidak kau saja yang mati?!”. Jari-jemari Aydin gemetar tak karuan, air mata tak lagi mampu terbendungi. Akhirnya setelah sekian tahun berlalu, pertanyaan yang tersimpan rapat-rapat telah terjawab secara langsung. Sekarang ia mengerti mengapa ibunya sangat membencinya.

Seharusnya ia bisa tahu itu dari dulu, agar ia bisa menjauh sejauh mungkin dari keluarga mereka. Jadi tidak perlu ada yang tersakiti. 

Flashback, 

Aydin tidak pernah mendapat kasih sayang dari ibunya. Mulai dari barang bermerek dan mainan dirumah semua milik Adzan. Sedangkan Aydin, hanya akan mendapat sisa barang dari Adzan yang sudah tidak dipakai. Meski begitu, sedikitpun rasa kebencian dari Aydin tidak akan pernah ada pada ibunya.

Kadang-kadang ia berpikir seperti “mungkin uang ibu tidak cukup”, “tidak apa-apa, barang kak Adzan juga milikku”. Kata-kata seperti itu menyadarkan Aydin bahwa bagaimanapun ibunya adalah orang yang berjasa hingga ia bisa berada didunia. Senja telah berakhir, matahari pagi menyambut.

Ada suara ketukan keras dari luar, sedikit celah membuat keributan dipagi hari. Aydin mendapat masalah karena menghajar anak tetangga sebelah rumah. Sebenarnya tidak seperti itu, dia bukan jagoan yang sering mencari masalah dimana dan kapan saja. Tugas Aydin hanya membela kakaknya, itu saja. Bagaimana ia bisa menerima seseorang mengatakan bahwa kakaknya akan mati.

Tidak akan ada yang berubah, ibunya akan tetap marah. Buktinya, dia dikurung dalam gudang. Padahal sepulang kerumah tadi, ia berharap akan melihat senyuman dari ibunya dan berterima kasih karena telah membela kakaknya. Namun tidak. Pokoknya apapun yang dilakukan Aydin akan tetap salah dimata ibunya. “Kau pikir Aku akan berterima kasih karena itu? hah? Tidak akan. Dasar bocah nakal!!”

Kalimat itu seraya menusuk relung bocah tujuh tahun itu. Masih belia untuk mengerti apa yang dikatakan orang dewasa. Keadaan memang telah memaksanya untuk menjadi dewasa. Tapi untung saja ada Adzan. Apapun itu, Aydin bersyukur karena masih ada kakaknya. Dia adalah penyelemat. Orang yang paling menyayanginya. 

Karena itu ia sudah tidak enak kembali kerumah. Langitpun ikut menangis menjadi saksi bisu kesedihan Aydin yang sedang duduk ditaman. Bahkan tetesan hujanpun tidak akan menghentikan derai air mata Aydin. Tiba-tiba, sebuah payung hinggap diatas. Siapa yang memberi pertolongan pertama ditengah hujan ala drama-drama romantis? Ternyata Sheina.

Tapi itu bukan kisah romantis seperti drama Crash Landing On You atau descandat of the sun. Hanya kisah kasih sahabat. Lalu, Sheina bahkan memberikan pelukan hangat dengan sedikit kata penenang. “Aku tidak tahu kau kenapa, tapi tak apa. Menangis saja. Aku disini”, 

***

Seberkas cahaya melewati celah dinding kelas Aydin. Semalam tak sadar kepalanya bersender diatas meja kelas. Semua orang menatap kearahnya. Seolah berita besar sedang terjadi. Tiba-tiba sebuah bola melantang jatuh kekepala Aydin. Jelas ada yang berteriak “Woy, bangun anak haram!!” suara Dave begitu lantang menusuk gendang telinganya. Kalimat itu benar ditujukan kepadanya.

Tanpa berpikir panjang, Aydin langsung berlari kearah Dave dan menendang perutnya sampai tersungkur jauh didepan pintu. Apakah sedang ada pertandingan MMA didalam ruangan. Guru penertib membawa mereka berdua ke ruang BK. Lagi dan lagi Aydin masuk diruangan itu. Dia bahkan tidak percaya ada jalan keluar disana, semua seolah memojokkannya. Apakah itu karena dendam Deva kemarin? Aydin melawan Deva, karena ia merudung anak kelas 10. 

Sheina tak sengaja melewati ruang BK dan melihat sahabatnya ada disana, pasti Aydin terkena masalah itulah pikiran terlintas. Sheina berbicara ke wali kelas untuk membantu Aydin di ruang BK, pasti Deva yang salah sudah jelas. Ia sangat percaya pada Aydin. Lapangan menjadi persinggahan terakhir dua sejoli itu.

Pada akhirnya, Sheina hanya akan membawa buruk untuk Aydin. Dia akan pergi ke Jerman untuk selama-lamanya sebab ayahnya dipindah tugaskan kesana. Lagipula ia sudah memutuskan untuk mengejar mimpinya dengan fokus menjadi model disana. Lantas bagaimana nasib Aydin? Ia sudah kehilangan semuanya, Adzan, ibunya, kedua orang tua kandungnya dan sekarang Sheina pun pergi. Tuhan tidak adil, gumam Aydin. 

 “Apa kau benar-benar harus pergi?”, kata Aydin, meyakinkan Sheina sekali lagi. Siapa tahu, bisa berubah pikiran. Tapi, nihil dia akan tetap pergi. 

“Terima kasih untuk 10 tahun ini, kau selalu disampingku, membuatku tertawa, dan banyak membantuku. Yah, meskipun kadang mengejek. Tapi tak apa. Aku menyukainya. Ouh iya, 2 hari lagi kan ulang tahunmu? Maaf, aku tidak akan ada disini. Jadi, Aku menyiapkan hadiahnya lebih awal. Ambil ini. Aku akan selalu merindukanmu, Aydin”, ucap Sheina panjang lebar sebagai salam perpisahan sembari perlahan memeluk Aydin untuk terakhir kalinya. Aydin bahkan belum sempat menyatakan perasaannya. Tapi, Sheina sudah mengucapkan salam perpisahan seolah tidak akan bertemu lagi selama-lamanya. 

Apakah Aku bukan sebagian dari mimpimu? Pada akhirnya Aku tidak berani mengatakan bahwa Aku menyukaimu tiap saat sejak 10 tahun itu. Aku hanya berharap kau bahagia dimana dan kapanpun. Jikalau memang kita tidak ditakdirkan, semoga Tuhan mengirimkan seseorang yang baik untukmu.

Nyatanya ucapan orang benar, cinta tak harus memiliki, gumam Aydin dalam hati. Perempuan berambut panjang dikuncir, kulit putih mulus dan seorang yang menjadi idola laki-laki di sekolah  telah meninggalkan gerbang sekolah. Selamat tinggal, Sheina!!

***

3 hari berlalu sejak kepergian Sheina, taman sekolah terasa sepi karena tidak ada yang menemani Aydin lagi disana. Padahal tiap jam istirahat mereka selalu bertemu disana. Sampai beberapa orang memandangi, tidak lekas bertanya, kenapa Sheina dekat dengan laki-laki konyol itu? sekian lamanya, Aydin baru menyadari memang tidak ada kesamaan dia dan Sheina, dunia mereka sangat berbeda.

Biarlah hanya menjadi kenangan. Ouh iya, Aydin menyewa kos kecil dekat dari sekolah supaya bisa menghemat biaya transportasi. Ia harus ekstra lebih bekerja dari yang dulu, banyak biaya harus dikeluarkan untuk listrik, air, sewa kos dan kebutuhan sehari-hari.

Meski begitu, Aydin belajar membagi waktunya sekarang, apa itu istilahnya, yah time management. Daripada dikeluarkan dari sekolah, mending membuat perubahan. Meski terpisah agak jauh dari ibunya. Aydin tidak berhenti untuk memantau kondisi ibunya dari jauh. 

Semua berjalan dengan baik, sampai suatu hari ketika Aydin memberanikan diri untuk datang ke rumah ibunya. Sudah beberapa lama ia tak pernah melihat ibunya, katanya ditempat kerja juga tidak ada, sudah lama dipecat juga. Tanpa berpikir panjang, Aydin mendobrak pintu rumah.

Ia menemukan ibunya terkapar lemah dilantai kamar. Tak ada bala bantuan, ponsel juga tidak berfungsi sama sekali, sialnya tidak satupun kendaraan ingin membantu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggendong ibunya diatas punggungnya berlari begitu kencang sampai dijalan raya. “Tolong ibu saya”, ucap Aydin memelas, sesampai dirumah sakit.

Dokter segera menangani ibunya. Hari itu, tidak sengaja ia bertemu dengan ibu Elisa yang kebetulan mengurus sesuatu di RS. Aydin sangat khawatir dengan kondisi ibunya. Semoga semuanya baik-baik saja. 

Kondisi ibunya sangat memperihatinkan, ia harus dirawat inap karena koma. Hari terus berganti, pagi, siang, malam begitu seterusnya. Tidak ada perkembangan yang baik untuk ibunya.

Tuhan maha penolong akan segala sesuatu, sebuah mukjizat ibunya sadar dari koma setelah seminggu. Sebuah rasa syukur begitu besar Aydin. Perlahan bola mata ibunya terbuka menatap kearah dua orang yang sedang berdiri dihadapannya, Aydin dan Ibu Elisa. Tetapi, ketika itu Aydin diusir oleh ibunya. Padahal ia pikir waktu bisa menyembuhkan luka seseorang, ibunya memang tidak pernah menyayanginya sampai kapanpun.

Akhirnya, iapun pergi darisana dengan perasaan sangat kecewa. Sama  halnya dirasakan oleh ibu Elisa, bagaimana bisa seorang ibu melakukan itu pada anaknya? Padahal Aydin mengurus segala sesuatu dirumah sakit ketika ibunya sakit. 

“Anda keterlaluan, Saya tidak peduli apapun masalah anda dengan Aydin. Tapi, anda tidak berhak melakukan itu padanya. Asalkan anda tahu selama anda sakit, Aydin ada disini, disamping anda mengurus semuanya. Memapah anda sampai kerumah sakit. Andaikan dia tidak melakukan itu, mungkin takdir akan berkata lain”, 

“Ibu juga sebaiknya pergi”, balas ibu Aydin. Memang susah berbicara dengan orang keras kepala. 

***

Senja telah pergi meninggalkan kesendirian dalam diam seorang wanita setengah tua yang sedang duduk didalam kamar seorang diri. Jendela dibiarkan sedikit terbuka agar membawa sensasi lebih sejuk. Angin malam memang sejuk. 

Flash back, 

Posisi suami ibu Aydin saat itu sedang koma diatas ranjang rumah sakit.Tidak berdaya, hanya bisa mengucapkan sepatah kata. Sementara, ibu kandung Aydin sudah tewas karena bunuh diri setelah melahirkan Aydin. “Tolong jaga bayi itu. Maafkan Aku untuk semuanya”, Setelah itu, semuanya sirna.

Suaminya meninggal dunia. Sementara bayi itu, ia tetap menjaganya bersama Adzan juga sesuai pesan terakhir dari suaminya. Meskipun, rasa dendam itu masih ada tetapi ia harus tetap merawatnya. 

Suatu pikiran menyadarkan wanita tua itu dari lamunan panjang, sampai sekarang ia masih penasaran isi dari kotak milik Adzan. Sudah sejak lama ia menyimpan tanpa tak berani membuka, kenangan akan sangat menyakitkan. Tiba-tiba ia mendapat sebuah alat perekam, itu hadiah yang pernah diberikan Aydin untuk Adzan dihari ulang tahunnya.

Adzan suka sekali menulis diary. Jadi, jika menyimpang juga dalam bentuk rekaman, maka kenangan Adzan akan lebih nyata. Isinya.,

“Ibu, ini Aku Ahmad Adzan Saputra, anak ibu yang paling ganteng. Awalnya Aku sungguh takut menghadapi kenyataan bahwa Aku menderita kanker otak, tapi berkat Ibu dan Adik. Aku bisa sekuat sekarang. Adik selalu menjagaku kala ibu tidak ada. Dia menjaga ku dengan baik dan selalu membuatku tersenyum."

Karena itu, Aku merasa masih ada harapan agar Aku bisa sembuh. Jangan pernah marah-marah lagi ke Aydin, bu. Dia tidak salah. Aku tahu kenyataan bahwa dia bukan saudara kandungku, tapi bukan berarti Aku tidak menyayanginya. Bahkan, Aku menyayanginya berkali-kali lipat."

Terlepas dari apa yang ayah lakukan, jangan pernah menyalahkan Aydin. Ibu tahu kan, seorang anak tidak bisa memilih dari orang tua mana mereka lahir. Meskipun, ibu selalu memarahinya, dia sama sekali tidak pernah membencimu. Aku tahu Bu, hidupku tidak akan lama lagi. Jadi, Ibuku tersayang, sebagai permintaan terakhirku tolong sayangi adikku Aydin sama seperti ibu menyayangiku. Dari anakmu tersayang, Ahmad Adzan Saputra. 13 Mei 2015”.

Tidak tahu kenapa, setelah mendengar itu. Air mata ibu menetes begitu deras. Apa itu perasaan bersalah yang mulai muncul? Ataukah tangisan sebagai bukti akan kerinduan pada Adzan, anaknya. Tiba-tiba, ponsel ibu berbunyi agak keras sampai membangunkan renungan panjang itu.

Ada panggilan dari rumah sakit bahwa Aydin mengalami kecelakaan lalu lintas. Kenyataan bahwa, “Anak anda sudah meninggal dunia”, ucap seseorang dari telefon membuat hati ibu Aydin hancur. Aydin terlibat kecelakaan lalu lintas setelah berusaha menyelamatkan seorang anak kecil dari pantauan CCTV. Tidak ada pertolongan pertama yang harus dilakukan karena Aydin meninggal dunia ditempat.

Tepat 5 menit setelah kecelakaan, ambulans baru datang menjemput jenazah remaja laki-laki berseragam itu. Perasaan bersalah dan penyesalan begitu besar telah menyelimuti ibu Aydin setelah merenungi begitu panjang kisah kasih bersama anak bungsu yang tidak pernah dianggapnya. Karena itu, ia tidak percaya benar Aydin telah meninggal. Tidak mungkin, Aydin tidak mungkin pergi! Tegasnya dalam hati. 

Sesampai dirumah sakit, Ibu Elisa sudah nampak berdiri disamping jenazah Aydin sembari terus menangis. Sementara ibunya, perlahan melangkah mendekati jenazah. Tidak ada satu katapun yang terucap, hanya ada tangisan penyesalan dan rasa bersalah begitu besar.

Kedua kaki dan jari jemarinya gemetar tak karuan. Kini jenazah Aydin telah berada dipelukan ibunya. Hal yang sangat diingikan Aydin. Tapi apalah artinya, ia tidak bisa merasakan hangatnya pelukan itu. Tidak ada rasa kasih sayang dan senyuman yang sangat ia inginkan.

Semua menjadi kenangan tertinggal untuk selama-lamanya. “Aydin. Bangun nak, ini ibu. Ibu ada disini. Kenapa kau hanya menutup mata mu, buka mata mu nak, ini ibumu” ucap ibunya menangis tersedu-sedu sembari mendekap jenazah Aydin. 

“Tanganmu sangat dingin, wajahmu pucat nak. Maafkan ibu, mohon maafkan ibu. Ibu salah, tolong maafkan ibu”, ucapan maaf berkali-kalipun tidak akan pernah membangunkan Aydin yang telah tertutup kain putih. Selamat tinggal!!

“Kadang, kamu harus kehilangan seseorang sebelum akhirnya menyadari betapa berartinya dia dalam hidupmu”, - penulis..

Lembaran putih kini telah tertutup setelah sekian lama kepergian Aydin, ibunya masih meratapi penyesalan, 

“Ibu, Aku selalu berdoa untuk mu kapan dan dimanapun Aku berada. Semoga ibu selalu sehat. Tidak peduli apapun yang pernah kau lakukan dan katakan padaku, ketahuilah satu hal ibu."

Aku tidak akan pernah membenci mu. Terima kasih sudah menerima ku dalam hidupmu, bahkan ketika kau tahu fakta bahwa kehadiranku amat menyakiti hatimu. Hiduplah dengan baik bu, makan makanan yang enak."

Jika nanti kau membaca surat ini, berarti Aku sudah tidak ada didekatmu. Tapi ingat satu hal ibu, jangan pernah menyalahkan dirimu atas apapun yang terjadi padaku. Jaga dirimu baik-baik. Aku sangat menyayangi ibu. I Love you so much”, . Dear Aydin Adnan Saputra Oktober 2021.

 
Penulis: Ulfiah Syukriseorang mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan di Univeritas Muhammadiyah Makassar. Selain fokus dalam bidang akademik, Saya juga melatih diri diluar kampus untuk mengembangan soft skill dan hard skill. Saya bergabung diperusahaan kecil yang didirikan oleh dosen saya bernama PT.belajarbersama nusantara dan memegang posisi sebagai Chief Creative Officer. Disamping itu, saya lebih suka menghabiskan waktu luang untuk menggambar, menulis, belajar bahasa dan menonton film.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.