Manusia Dikutuk Untuk Bebas (?)
1
IA mengalami dejavu untuk yang ke 525 kalinya dalam sepekan ini. Ia menghitungnya. Dengan cermat dan teliti, dicatatnya dalam sebuah buku catatan kecil berisi segala hal yang sama sekali tidak berhubungan dan benar-benar acak. Disebelah catatan perhitungan dejavunya tertera daftar belanjaannya bulan ini. Lele, ayam, timun 2 kilo, cabai 100 gram, gula, mentega, dan lain-lain, dan lain-lain. Ia hanya mencatat, tapi tak punya kemampuan sedikitpun untuk membeli.
Menurutnya dejavu adalah sebuah pengalaman supra religius. Ia percaya peristiwa paling religius yang pernah dialami umat manusia adalah dejavu. Semasa kuliah dulu ia pernah mempelajari tentang ketidaksadaran kolektif. Teori irasional yang dikemukakan oleh seorang yang mengaku ilmuwan tapi sangat tidak ilmiah, menurutnya. Teori itu dikemukakan oleh Carl Gustav Jung, yang kemudian dengan penuh kekhidmatan menambahkan perangkat-perangkat lain dalam teori ketidaksadaran kolektifnya, yaitu arketip. Gampangnya, setiap manusia memiliki ingatan akan setiap manusia lain, yang terhimpun dalam sebuah ketidaksadaran kolektif. Ia yang kebetulan juga menganut prinsip-prinsip budha namun Bergama islam -dulunya- menghubungkan teori Jung ini dengan dejavu. Ini semacam, meta teori yang ia temukan.
Rak demi rak, rak demi rak, tumpukan roti, bahan-bahan mentah, orang berjajar, mengantre seperti sedang menunggu giliran untuk dipancang ditiang gantung. Ikan-ikan yang kedinginan di ruangan ber-ac super dingin dengan air yang super hemat (sangat sedikit). Gadis-gadis cantik yang menyerupai robot. Menawarinya rokok, menawarinya roti, manawarinya susu formula bayi. Orang yang duduk dibalakang mesin penghitung uang yang sama matinya dengan mesin itu sendiri. orang-orang yang mendorong kereta belanjaan, menuangkan barang demi barang seperti kerasukan. Dan anak-anak yang sudah belajar menipu sejak kecil, pakaian compang-camping, dekil, kurang ajar. Berulang-ulang, berulang-ulang, berulang-ulang. 525 kali, genap hari ini.
Ia bukan orang yang religius, tapi ia percaya pada Tuhan. Ia membenci agama, tapi mengagumi segala aspek primordial yang ia temui dari praktek-praktek keagamaan. Tapi ia tak percaya apa yang dipraktikan oleh setiap agama apapun saat ini bisa menuntunnya bertemu dengan Tuhan. Ia percaya Dejavulah yang ibadah sesungguhnya.
Seminggu yang lalu Baso mengajaknya untuk bersama-sama merayakan hari besarnya, ia baru saja terbebas dari sebuah sistem klasifikasi yang begitu memilukan dinegerinya, pengangguran.
“aku tak tahu, kau pasti ingin minum-minum kan?”
“ayolah, manusia butuh itu, minum dan kesenangan. Ini barang ori, aku jamin”
“tidak, aku tidak mau. Kau ini orang yang beragama, tolong dengarkan apa yang dikatakan tuhanmu sekali saja bro”
“oh, kau tak harus menceramahiku jika kau tidak mau, lihat dirimu!”
“tut..tut..tut”
Ia menunutup telpon dan keheningan menyergapnya. Tak habis pikir ia. Orang-orang yang mempercayai agamanya benar terkadang tak lebih dari seorang lelaki busuk yang berselingkuh dengan istri sahabatnya sendiri. syukurlah aku tak mempercayai apa-apa sama sekali. Pikirnya. Kembali termenung dalam keheningannya, menunggu dejavunya datang. Ia kembali ketempat dimana akan merasakannya lagi.
Rak demi rak, rak demi rak, tumpukan roti, bahan-bahan mentah, orang berjajar, mengantre seperti sedang menunggu giliran untuk dipancang ditiang gantung. Ikan-ikan yang kedinginan di ruangan ber-ac super dingin dengan air yang super hemat (sangat sedikit). Gadis-gadis cantik yang menyerupai robot. Menawarinya rokok, menawarinya roti, manawarinya susu formula bayi. Orang yang duduk dibalakang mesin penghitung uang yang sama matinya dengan mesin itu sendiri. orang-orang yang mendorong kereta belanjaan, menuangkan barang demi barang seperti kerasukan. Dan anak-anak yang sudah belajar menipu sejak kecil, pakaian compang-camping, dekil, kurang ajar. Ia tak merasakannya hari ini. Hitungannya tak bertambah. Dejavunya tak datang lagi. ada apa ini?. Pikirnya. Apakah aku tak religius lagi, apa yang Tuhan lakukan kepadaku. Mengapa ia tak datang lagi padaku. Ia meronta, meronta terus menerus didalam pikirannya.
“kau salah bung, kau tak tahu apa itu Tuhan, dan omong kosong tentang teorimu bukanlah pengalaman spiritual seperti yang kau pikirkan”.
Ia tersentak. Ditengah-tengah rak-rak barang yang bertumpuk. Ditengah-tengah lautan manusia. Diantara kebisingan, riuh rendah, dan lalu lalang bunyi-bunyian. Ia mendengar suara bergema tepat didalam kepalanya. Bukan ditelinga. Oh, ia benar-benar tahu suara yang ditangkap lewat telinga. Tapi ini, ini bukan suaranya yang didapatkan dari inderanya, dari telinganya. Suara ini, datang dari sebuah ketakterhinggaan, ia tahu itu. ia merasakannya.
“apa ini?, siapa kau?, apa yang kau lakukan dalam kepalaku”. Suaranya tertahan dipangkal tenggorokan, tak bergema, orang-orang hanya melihat ia membatu. Sementara teriakannya. Menjalar menelisik ruang-ruang hening yang menjembatani ia dan suara azali itu.
“aku Tuhan bung, siapa lagi menurutmu?”
“tidak mungkin, aku tidak mempercayaimu”
“tapi inikan yang kau yakini bung?, akan bertemu denganku dengan cara seperti ini”
“tapi, tapi, ini tidak mungkin”
“apa maksud perkataanmu bung, ini aku”
“tidak, tidak, tidak mungkin”
Ia berlari keluar gedung itu. berjalan lurus menuju apartemennya. Menaiki laintai demi lantai. Ia tak menggunakan lift, ia tak sabar lagi. berdiri diatas puncak bangunan itu. dan melompat dari ketinggian 5 lantai.
2
Manusia dikutuk untuk bebas
Begitulah kata-kata yang hingga kini terpatri dengan jelas didalam kepalaku. Kata-kata ini dari seorang filsuf eksistensialis besar. Pertanyaan ini aku yakini mempunyai makna esensial yang begitu dalam, ia mengilhami perdebatan-perdebatan antara penganut kepercayaan dan orang-orang yang tidak menyakini ada sebuah kekuatan supra natural.
Dua bulan yang lalu aku berlayar menuju timur. Aku bukanlah seorang filsuf, aku adalah ilmuwan, ilmuwan biologi lebih tepatnya. Aku membaca kalimat Sartre pada waktu aku berada disekolah menengah atas. Saat itu aku hanya menanggapinya dengan antipati. Pikirku, aku tak mungkin bebas, aku memiliki takdir yang telah ditentukan oleh sang Pencipta. Aku berdoa, dan meminta padaNya yang berarti, entah sedikit atau banyak Tuhan mempunyai campur tangan akan hidup ini.
Itulah yang kupercayai saat itu. bekerja diwilayah sains membuatku mau tak mau harus berpikir materialistis. Sebelumnya ini tak mengganggu keimananku, hingga sampai dua minggu yang lalu, aku menemukan kata-kata itu lagi di rak buku didekat kafe tempatku sering menghabiskan waktu menikmati secangkir kopi dan beberapa halaman buku bacaan.
Kali ini, aku berada ditimur dunia ini. Orang-orang tahu bahwa , berkebalikan dengan barat. Masyarakat disini bisa dibilang religius. Aku kesini untuk mendamaikan kemelut didalam kepalaku. Apakah manusia memiliki kehendak bebas atau patuh pada takdir dan ketentuan Tuhan. Aku teringat, sebelum berada disini aku pernah melakukan percakapan dengan seorang professor astronomi terkemuka dari luar negeri. Ia mengataiku naif, karena menjadi ilmuwan yang masih memiliki keyakinan beragama.
“kau tahu professor, kau begitu naif jika berpikir bisa terus menjalankan riset ilmiahmu sembari kau masih mempercayai bahwa ada sebuah intelegensia dengan kemampuan luar biasa yang mengatur segala sesuatu didunia ini” ucap professor itu saat kami sedang berjalan menuju kantin sebuah universitas yang menyelenggarakan seminar dan mengundang kami berdua sebagai pembicara.
“kenapa tidak professor, keyakinan agamaku tak mengganggu metode yang kulakukan. Selain itu. hal ini menyangkut kepercayaan professor. Ini diluar perhitungan ilmiah yang kita lakukan”
“dan kau, masih mempercayai kalimat itu, hahaha. Ayolah professor, keyakinan beragama hanya untuk orang-orang lemah, orang-orang yang membutuhkan delusi dan menjanjikan mereka kehidupan enak setelah mengalami kehidupan sengsara dibumi yang nyata ini. Mereka hanya ingin obat penenang. Dan keyakinan itu, mujarab”
“aku tak bersepakat denganmu professor, setidaknya untuk saat ini”
“well, kita lihat saja”
Aku tak tahu mengapa aku teringat percakapanku dengan professor astronomi itu, aku bahkan tak ingat lagi, apakah kehadiranku saat ini, disini, di negeri timur ini, adalah untuk membantah atau justru membenarkan apa yang ia katakan.
Negeri ini sudah hampir musnah, pusat konflik, orang-orang kelaparan, berdarah dan berperang secara tidak imbang dengan Negara tentangganya yang lebih kuat yang disokong oleh Negara adidaya. Perang ini, adalah perang wilayah, perang politik, dan kekuasaan. Para ahli boleh menganggapnya seperti itu, sementara orang-orang awam sudah kadung menganggap bahwa ini adalah perang antar dua keyakinan.
Aku tahu, kau pasti berpikir aku begitu nekat sampai-sampai datang kesini, membahayakan nyawaku. Tapi mengapa tidak, aku tak tahu apa yang lebih penting didunia ini ketimbang mengetahui makna eksistensial dari diri kita yang sesunggunya. Aku berjalan-jalan disepanjang jalan yang mencekam. Apa yang kudengar hanya keheningan. Sebuah kesepian yang benar-benar menyublim bersama oksigen-oksigen yang ku hirup.
Bangunan-bangunan setengah roboh menjadi pemadangan yang mendominasi disini. Aku berharap hari ini tak ada serangan. Tapi aku tetap mellihat anak-anak berdarah dan kepalanya diplaster. Seorang lelaki yang sedang menangisi anaknya, seorang pemuda yang kehilangan kakinya, rumah sakit yang begitu sibuk. Dan orang-orang yang sedang berjajar rapih, dan sangat khusyuk menjalankan ritual keyakinan mereka. pemandangan yang begitu luar biasa. Aku berjalan terus. Mencari seorang yang memiliki otoritas tinggi, seseorang yang dituakan, atau bisa kusebut, seorang ahli agama.
Dan kutemukan ia di sebuah rumah yang sedikit reot, aku diantar oleh seorang gadis kecil yang kutemui dijalan. Ia tampak tua renta, berbaju serba putih namun mengeluarkan sebuah aura mistis yang benar-benar kuat. Ruangan itu sederhana, luas 3x3 dengan sebuah lemari yang hampir memenuhi ruangan , sebuah meja bulat ditengah ruangan, dua buah kursi, tempelan-tempelan tulisan yang berasal dari kitab suci, dan sebuah kitab suci yang tersimpan rapih diatas lemari.
Aku memberi salam, ia menjawab salamku. Aku memulai pertanyaan-pertanyaanku. Sedikit ragu-ragu, mungkin juga sedikit takut. Ia menjawab dengan tenang, sangat bersahaja. Aura kebijaksanaan yang begitu luar biasa, dan cara bicara yang benar-benar lembut, tanpa sedikitpun maksud untuk menggurui.
“tapi, apa yang anda dapatkan dari mempertahankan tanah yang gersang ini, tanah yang tak memberikan keamanan lagi bagi kalian. Kalian hanya menderita, dan berhadapan dengan musuh yang lebih besar dari kalian”
“kami tidak mempertahankan tanah ini karena ini milik kami. Kami mempertahankan tanah ini karena Tuhan menitipkannya pada kami. Ini adalah amanah kami. Dan aku percaya, Tuhanku mencintai orang-orang yang amanah”
“lantas apa yang kalian dapatkan?, hanya penderitaan” tegasku.
“kau tahu nak, manusia tak sekuat, dan secerdas yang kita kira. Dan Tuhan sungguh lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui”
Aku menutup percakapanku. Meminta izin, berasalaman dan memberi salam lalu berjalan keluar. Aku tahu, keyakinan seperti itu tak mungkin hanya sekedar ‘obat penenang’ seperti yang dikatakan kolega professor ku tempo hari. Ada yang lebih kuat dari itu. Dan sejak hari itu, aku putuskan untuk berhenti mencari pertanyaan itu lagi.
***
Aku menggigil, keringat membajiri tubuhku, aku belum pernah mengalami ketakutan yang luar biasa seperti ini. Perutku terasa diaduk-aduk, dan aku sepertinya ingin memuntahkan seluruh organ dalam tubuhku. Saat itu, aku berada disebuah perpustakaan dan tiba-tiba saja aku kehilangan semua inderaku. Penghillatan,pendengaran, penciuman, kemampuan meraba dan merasa, aku kehilangan itu semua dan merasa berada di dalam sebuah “ketiadaan”, dan saat itulah sebuah suara bergema jauh didalam diriku.
“Aku adalah Tuhanmu”
“tidak mungkin, tidak mungkin, aku tak percaya”
“Itu adalah pilihanmu”
***
Penulis: M. Wahyu Setiawan, mahasiswa Psikologi UNM, berorganisasi di Maperwa UNM.