Mencari Bapak
“MAUKAH KAU MENJADI BAPAK dari anak ini?”
“Maksudnya gimana, Mbak?”
Kau kumat lagi. Padahal sudah dua minggu kau menyerah mencari Bapak untukku. Kini semangatmu membara lagi. Aku ingin sekali mengapresiasi hasratmu itu. Meski harga dirimu sudah menghilang sejak menanamku di dalam perut, kau tetap perhatian agar aku punya orang tua lengkap.
“Anak ini butuh Bapak, kau jadi Bapaknya ya?” tanya kau lagi dengan wajah memohon.
Seorang laki-laki memakai rompi jingga terang itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Tanpa menjawab pertanyaan kembali, ia beralih ke motor lain yang ingin keluar dari parkiran, lalu menerima uang dua ribu dari si pengendara motor.
Masih belum mendengar penolakan dari Lelaki Rompi Jingga, kau menghampirinya lagi. Tekadmu sangat kuat waktu itu, terasa dari jantungmu yang berdetak begitu kencang.
"Kau pantas menjadi Bapak anak ini. Jangan ragu, ya?" suara kau tenang, tapi jemarimu mencengkeram tubuh kecilku erat, seakan takut ia hancur oleh guncangan langkahmu yang tergesa.
“Dasar jalang! Pergi sana!” akhirnya Lelaki Rompi Jingga mengusirmu. Persis seperti dua puluh enam laki-laki yang kau minta jadi Bapakku sebelumnya.
Kau melihatnya meneguk kopi hangat dalam gelas plastik. Kau harus coba lagi untuk membujuknya, “Aku bisa buatkan kopi setiap hari, bahkan anak ini akan kuajari buat kopi kesukaanmu.”
Lelaki Rompi Jingga terdiam sejenak, menatap kau dengan mata penuh emosi walau ia tidak melakukan apa-apa. Aku memahaminya, tapi kau sama sekali tidak merespons akan tatapan itu. Entah kau yang memang tidak mengerti atau kau yang sudah kebal akan tatapan penuh amarah dari orang lain.
Sampai di puncak angkaranya, ia membuatmu terkejut sekaligus kesakitan. Lelaki Rompi Jingga melemparkan seluruh cairan kopi panas itu ke tubuhmu. Tangan kau memerah seketika, bahkan kulit luar hampir terkelupas jika tidak diusap dengan cepat.
“Sudah kubilang pergi ya pergi, gini-gini aku masih kuat iman!”
Atas perbuatan yang tidak menyenangkan itu, kau akhirnya terpaksa menyerah. Kau berjalan meninggalkan Lelaki Rompi Jingga dan mulai mencari orang yang berpotensi menjadi Bapak lainnya. Orang dengan tendensi tinggi seperti itu tidak cocok untuk mengurus anak.
Di kala berjalan, kau menemukan salah satu lelaki buncit dengan kaus kutang krem yang sibuk menyiram tanaman. Kau memperhatikan gesturnya.
Lelaki Buncit itu tampak seperti pria yang bertanggung jawab. Wajahnya nan keras mewakili itu semua. Ia juga perhatian, terlihat dari bagaimana Lelaki Buncit menjaga tanamannya agar dapat hidup lebih lama.
Tanpa berpikir panjang, kau segera mendekati Lelaki Buncit. Memperlihatkan diriku di dalam perut seraya bertanya padanya, “Kau ingin jadi Bapak dari anak ini?”
“Orang gila! Pergi sana!”
Sepertinya hari ini adalah hari sial kau. Lagi-lagi kau disiram air tanpa permisi. Kali ini bahkan lebih parah, kau basah kuyup dari atas rambut sampai mata kaki. Lelaki Buncit mengucurkan air keran itu dalam waktu yang lama, seolah ingin menyadarkan kau dari pikiran kotor.
“Apa ini ribut-ribut?”
Siraman air dari Lelaki Buncit berhenti ketika satu wanita bertubuh gelambir keluar rumah. Wajahnya tampak tidak senang. Sepertinya ia adalah istri dari laki-laki buncit.
“Bu,” meski jelas-jelas kau ditolak, kau tetap berani membujuknya, kali ini objek rayuanmu adalah Wanita Gelambir, “Biarkan suami Ibu jadi Bapak anak ini ya, tolong relakan.”
“Sinting! Maksud kau apa?” Wanita Gelambir kepalang marah, ia refleks menampakkan pipimu teramat keras.
Aku yakin pasti rasanya nyeri sekali, aku yang tidak merasakan secara langsung saja dapat merasakan sakit dan pedih bersamaan. Aku tahu gigimu bertabrakan dengan lidah dan tidak sengaja melukainya.
“Dia memang perempuan gila yang suka bertanya kepada semua lelaki! Jalang dari sananya,” ujar Lelaki Buncit memberitahu istrinya. Ternyata rumor tentangmu sudah tersebar.
Tidak puas hati sudah menampar, Wanita Gelambir menghimpun seluruh ludahnya dalam mulut lalu meludah dengan kasar, tepat mengenai wajahmu, “Amit-amit! Jalang gila, sana pergi! Penyakit jalangmu itu membuat jijik!”
Kau mengusap seluruh saliva berbau amis di wajah. Lalu memandang Lelaki Buncit menarik Wanita Gelambir masuk ke dalam rumah sebelum istrinya itu semakin meledak. Dari jendela yang terbuka, kau bisa melihat Wanita Gelambir tampak marah-marah dan teriak di dalam rumah itu, sepertinya ia bersumpah serapah atas sikapmu tadi.
Aku tidak tahu apa maksud pikiranmu saat itu, hanya saja aku dapat merasakan bahwa kau menaruh rasa optimis kepada Lelaki Buncit, apabila di bulan kedelapan kau tidak menemukan laki-laki lain, kau akan tawarkan kembali si Lelaki Buncit untuk jadi calon Bapakku nanti.
Sejujurnya, aku begitu sedih atas perlakuan mereka kepadamu. Andai orang-orang tahu bahwa kau adalah korban dari durjananya dunia. Kau tertatih-tatih seperti ini karena ulah oknum yang sekonyong-konyong menjadikan tubuhmu sebagai tempat penitipan anak, lalu lari setelah mengetahui diriku akan terlahir anomali.
Tujuh bulan lalu, kau ditawarkan oleh sepasang suami-istri. Mereka bukan orang lain, mereka berdua adalah sahabat karibmu di SMA dahulu. Mereka sudah sepuluh tahun menikah, tapi tak kunjung jua diberikan momongan.
Sebagai sahabat yang baik, kau memperhatikan kehidupan mereka berdua. Kadangkala kau merasa terpukau atas perjuangan mereka. Sang suami rela menghabiskan hampir seluruh hartanya untuk menjalankan proses bayi tabung. Namun sayangnya, usaha mereka tidak membuahkan hasil. Calon manusia tidak pernah berkembang lama di rahim sang istri.
Kadangkala menjadi manusia janganlah terlalu baik, karena risikonya akan berdampak menyakitkan. Contohnya seperti kau kini, kau ditawarkan menjadi tempat penitipan bayi mereka.
Benih keduanya; baik suami dan istri ditanamkan secara paksa di tubuhmu. Mulanya semua berjalan baik, hingga tiba-tiba, satu bulan yang lalu, aku dinyatakan akan terlahir tidak sempurna.
Dokter handal yang mereka sewa menyatakan, di dalam diriku terdapat ekstra salinan trisomi sebanyak dua puluh satu. Dampaknya begitu parah, hingga dapat mengganggu perkembangan fisik maupun intelektual. Dengan kata lain, aku kemungkinan besar mengalami sindrom down.
Keadaan semakin runyam setelah Dokter menambahkan penyakit bawaan lain yang akan kuderita, diantaranya kelainan jantung bawaan; lima puluh persen bayi sindrom down mengalami hal serupa.
Lebih-lebih masalah lainnya berupa gangguan penglihatan, pendengaran, serta hipotonia; kelemahan otot yang bisa memengaruhi kemampuan berjalan, duduk, menelan, sampai berpikir.
Aku dapat rasakan jantungmu hampir jatuh kala itu, apalagi ketika kau coba menggenggam tangan si istri untuk berbagi kekuatan, ia malah menepis tanganmu dengan kasar. Dari sana kau mulai merasakan ada yang tidak beres.
Sampai puncaknya. Baru saja kalian keluar dari rumah sakit, tiba-tiba sahabat perempuanmu itu berteriak histeris. Ia menyalahkan dan memakimu habis-habisan. Katanya, “Tak becus rawat anak! Ambil saja anak itu, aku tak lagi menginginkannya!”
Suaminya; sahabatmu juga, sungguh tidak enak hati kepada dirimu saat itu. Namun ia tidak ambil sikap. Ia hanya menahan istrinya tanpa membela dirimu sama sekali.
Setelah kejadian itu, bagaikan asap dari kobaran api yang dimakan udara, pasangan suami-istri; orang tuaku sebenarnya bagai lenyap ditelan bumi. Yang tertinggal dari mereka hanyalah rumor, bahwa mereka pindah ke Malaysia untuk menangani penyakit depresi sang istri.
Kau tidak diberikan permohonan maaf atau penjelasan apapun selain cek senilai lima puluh juta, yang kau sangat yakin sang suami memberikannya secara diam-diam. Di dalam cek itu tertulis pesan, “Untuk menafkahi anakmu.”
Kini aku sudah bertahan tujuh bulan di kandunganmu. Alih-alih membuangku, kau mempertahankan diriku di rahim yang hangat ini.
Tapi entah apa yang ada di pikiranmu dua minggu lalu, kau tiba-tiba ingin sekali mencarikan diriku Bapak. Kau tidak pernah berkata kepadaku apa tujuanmu itu. Jika boleh aku menebak, aku yakin kau tidak bisa membesarkanku sendiri.
Mengingat semua memori itu, kau akhirnya menangis. Tangisan yang pecah begitu saja di trotoar jalan yang dulu begitu akrab dengan langkah-langkah percaya dirimu. Jalan ini telah menjadi saksi masa jayamu, ketika orang-orang menunduk hormat saat kau melangkah, ketika hidup terasa penuh kendali. Kini, di tempat yang sama, kau tersungkur tanpa daya.
Selama tujuh bulan bersamaku, aku hanya melihat air matamu pada dua waktu. Pertama, saat dokter menyatakan bahwa aku akan lahir dengan Sindrom Down.
Saat itu, kau tidak langsung menangis, hanya diam lama, menggigit bibir kau hingga hampir berdarah, seolah menahan sesuatu yang tidak boleh keluar. Tapi akhirnya, di malam sepi itu, kau menyerah pada isak yang kau redam di balik selimut.
Kedua, adalah saat ini.
Bulir air matamu jatuh satu per satu, membesar seperti tetesan hujan yang enggan berhenti. Menggambarkan kesedihan yang tak berujung, kehilangan yang tak dapat digambarkan. Napas kau tersengal, tersendat dalam dada yang terasa penuh dan kosong sekaligus. Kau ingin merintih, ingin berteriak, tetapi suara pun seolah menolak keluar.
“Kenapa menangis?”
Suara isakanmu terhenti ketika mendengar pertanyaan laki-laki asing. Laki-laki tersebut berpenampilan carut-marut. Dari rambutnya tampak tidak terawat; gimbal banyak kutu. Pakaian putihnya sudah lusuh; bahkan noda tai tergambar jelas di bagian perut si lelaki.
Bagian yang sedap dipandang hanyalah celananya. Celana biru tua yang tampak baru, sebab masih terdapat kertas merk menggantung. Apabila tebakanku mujur, ia adalah laki-laki gila yang baru saja mencuri dari toko pakaian.
Kau menghentikan tangismu dalam hitungan detik. Kau tarik tangan Lelaki Gila dan memberikan ekspresi yang akhir-akhir ini sering ditampakkan, “Maukah kau menjadi Bapak dari anak ini?”
“Mau! Aku mau jadi Bapak!” tanpa berpikir dua kali, si Lelaki Gila setuju.
Kau menangis sejadi-jadinya lagi. Tapi aku merasakan ini bukan tangis kesedihan, melainkan tangisan penuh haru. Seolah puncak kebahagiaan yang kau rasakan sudah berada di level tertinggi.
“Sekarang mana anaknya?” Si Lelaki Gila bertanya kebingungan, “Masih dalam perut?”
Kau mengangguk seraya tersenyum merekah. Merayakan kebahagiaan yang tak terbendung. Ternyata inilah jawaban dari segala penderitaan yang telah kau alami. Lalu dengan tangan gemetar, kau meraih perutmu sendiri. Karena ia sudah mewujudkan keinginanmu, kau akan memenuhi perintahnya segera.
Tanpa ragu, jemarimu menekan kulit yang membentang di sana, menyusuri setiap lakukannya. Mencari sesuatu yang tersembunyi di dalam.
Lapisan kulit di antara kedua pahamu merekah seakan kertas tipis yang disobek perlahan. Darah mengucur dimana-mana, jemarimu semakin merogoh lebih dalam. Menembus batas yang seharusnya tidak ditembus.
Akhirnya, aku merasakan jemarimu. Kau mengusapku lembut lalu menarikku penuh kasih sayang, menuju tempat bercahaya dari kegelapan.
"Inilah anak kita,” kau mengangkatku tinggi-tinggi, memperlihatkan kepada dunia dan laki-laki gila, bahwa aku sudah tidak lagi terbentuk.
Bu, aku juga mengabulkan keinginanmu.
Penulis: Intan Karunia Dewi, mahasiswa semester 8 prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia. Aktif bergiat di Komunitas Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI sejak 2021 sampai sekarang. Dapat dihubungi melalui Intagram @inwinxx.