Thu, 18 Apr 2024
Cerpen / Dec 31, 2020

Menjelang Pukul Dua Malam

Hari menjelang tengah malam. Lampu kuning bercahaya redup menerangi dinding hijau kos-kosanku yang berbentuk memanjang dengan lima kamar berjajar. Halaman depan kos yang tak berpagar berhadapan langsung dengan jalan. Membuat siapa saja dapat dengan mudah mengunjungi kamarku yang berada paling ujung. Waktu itu pukul dua pagi, ketika suara ketukan mengagetkanku yang masih terjaga dengan tugas kuliah yang tak kunjung usai dalam sebuah laptop merah.
 
“Siapa gerangan yang datang larut malam begini ?!” pikirku cemas, kalau-kalau yang datang adalah seseorang dengan niat jahat.
 
Tok, Tok, Tok. Pintu kamar yang bercatkan putih itu kembali diketuk. Kuberanikan diriku berdiri membuka pintu. Kupasang kuda-kuda terbaik yang kupelajari saat latihan taekwondoku beberapa tahun lalu, berjaga-jaga jika yang masuk akan menyerangku.
 
“Rani ?” Sahutku spontan.
 
Senyum bibirnya merekah memperlihatkan giginya yang indah dan rapi. Pipinya yang bulat tepat berada dibawah mata dengan alis tipis namun elok, memalingkan keherananku akan maksud kedatangannya.
 
“Boleh saya masuk ?” Tanyanya.
 
Aku diam mematung, memandangi wajah seorang wanita yang terkenal sebagai primadona kampus. Masih tenggelam dalam kekaguman bercampur keheranan akan kedatangannya kemari, Kucubit pinggangku sembunyi-sembunyi , memastikan bahwa pikiran ini tidak terjebak dalam halusinasi sekaligus menekan perasaan gugup yang mulai menyergap. Cubitan itu terasa sakit -pertanda ini adalah nyata.
 
“Helo ?! Boleh saya masuk ?” Tanyanya lagi. Kali ini tangannya yang putih halus diacungkan tepat didekat wajahku.
 
Menyalakan pikiran kembali ke dunia nyata.
 
“ Oh, ya. Tentu “ Jawabku.
 
Rani memasuki kamarku yang berantakan. Aku berusaha secepat mungkin merapikan kamarku. Tak menunggu waktu lama, lantai dengan pakaian kotor yang berserakan, ranjang tidur dengan seprai yang acak-acakan, serta laptop dan buku-buku yang berhamburan diatasnya, kini telah dikemasi hingga rapi dan bersih.
 
Beberapa menit selanjutnya adalah aku yang mendapati diriku hanya saling berpandangan dengannya dalam diam.
 
“Maaf, mengganggumu malam-malam begini” tuturnya memecah kediaman.
“Tak apa, itu bukan masalah” timpalku. “ Ngomong-ngomong, apa tujuanmu datang malam-malam begini ?” lanjutku bertanya.
“ Entahlah,… hanya sekedar ingin saja…” jawabnya santai. Matanya memandang kian kemari menjelajah seisi kamarku.
“ Maksudmu !?” tanyaku semakin keheranan. Kata orang-orang memang benar, pikiran wanita memang sulit dimengerti.
“ hmm. Pentingkah hal itu untuk ditanya ? “ ketusnya. Pipinya memerah.
“ Tentu. Maksudku, hey. Aneh rasanya jika seorang wanita sendirian datang ke kos pria malam-malam buta begini… “ jawabku.
 
Rani tak menjawab. Pikiranku kalang kabut. Hampir-hampir kami berdua hanya duduk diam bersila mematung diatas lantai, saling menatap sampai kembar. Lima menit berlalu, ia kemudian berjalan mendekati lemari tempat koleksi buku-bukuku. Di ambilnya sebuah buku hitam tipis berjudul “Ibadah Mendengarkan”.
 
“Aku pernah membacanya. Bait-bait dalam puisinya dapat dikatakan singkat, jelas, tapi menyentuh.” Katanya.
 
Aku masih diam. Gugup tepatnya. Kupandangi dirinya yang terlihat anggun dengan setelan pakaian tidur abu-abu.
 
Rambutnya yang Panjang terikat dengan ikat rambut hitam. Membuatnya terlihat cantik walau tanpa riasan make-up. Tak salah memang, jika ia menjadi wanita idaman para pria dikampus.
 
“Shanny, si penulis buku ini benar-benar lihai menuangkan kenyataan hidup yang sesunggunya dalam sebuah puisi. Aku suka bagian puisinya yang berjudul Lima Bait Yang Meragukan…” katanya lagi. Menungguku merespon obrolannya.
Agar tidak gugup, kuberdiri lalu mengambil buku hitam itu pelan-pelan dari tangannya, sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk merespon obrolan. Kupegang buku hitam itu, membolak-balik halaman, lalu kututup kembali.
 
“Ya, kupikir juga begitu “ kataku merespon.
 
Diriku gugup karena mengobrol dengan Rani. Belum pernah aku mengobrol dengan seorang wanita terlebih dengan seorang primadona kampus dikamarku tengah malam buta begini. Perlahan-lahan diriku mulai rileks dan santai. Kami kemudian tenggelam dalam obrolan tanpa henti. Membicarakan sastra, filsafat, psikologi, hingga yang entah mengapa, dirinya santai saja membicarakan masalah pribadinya denganku, seorang pria yang mungkin baru dikenalnya malam ini. Aku memuji pengetahuannya yang luas mengenai sastra, dalam hati.Hingga tanpa terasa, jam dinding telah menunjukkan waktu pukul tiga pagi.
 
“Kamu tidak pulang ? “ tanyaku yang sejujurnya merupakan kata kiasan dari pertanyaan “ Maukah kamu tinggal disini mengobrol denganku sampai pagi ?”.
 
Pikiranku canggung, khawatir kalau-kalau pertanyaanku itu ditafsirkan berbeda hingga membuatnya tersinggung. Siapa bisa menjamin bahwa pertayaanku itu tidak ditafsirkannya sebagai “ Pulanglah ! aku ingin tidur !” atau “ pergi dari kamarku sekarang !”. “Ah, Bodohnya..” kataku dalam hati.
“ Mungkin pagi. Bolehkah ?” Jawabnya melunak.
“ Tentu, semua tergantung dari kamu “. Jawabku sok tenang namun sebenarnya dengan hati kegirangan.
 
Kami lalu kembali asik dalam obrolan. Suara-suara kami berupa percakapan dan seringkali diselingi tawa mengusir kesunyian malam. Sesekali aku berpikir, mungkinkah suara kami tidak mengganggu tetangga sebelah ? Cukup lama kami menghabiskan waktu. Hingga daun jendela yang menampilkan langit-langit penuh bintang perlahan mulai berganti menjadi langit kemerahan. Pertanda matahari sudah mulai terbit diujung ufuk.
 
” Aku harus pergi. “ Katanya, sambil menatap jendela.
“ Ya, tentu. “ Jawabku.
 
Ia kemudian pergi meninggalkan kosku tanpa pamit atau mengucapkan selamat tinggal. Tak ada perasaan rindu atau pikiran bahwa ia takkan kembali, mengingat aku juga akan bertemu dengannya lagi sebentar dikampus. Kubersihkan diriku sebaik mungkin. Kupakai pakaian rapi terbaikku. Kusemir rambutku yang acak-acakan, hal yang sebenarnya tak pernah kulakukan sejak lima tahun  terakhir. Semua itu untuk memastikan, bahwa Rani, akan semakin nyaman jika nanti ia mengobrol-ngobrol denganku dikampus.
 
Sesampainya dikampus, kutelusuri gedung-gedung kampus, berharap bertemu dengannya lagi dan mungkin mengajaknya makan siang. Hilir mudik kerumunan Mahasiswa lain yang berjalan dilorong gedung menyulitkan pergerakan serta mempersempit pandanganku. Tak beberapa lama kemudian, mataku yang membelalak kesana-kemari, kemudian tertuju pada seorang wanita yang terlihat asik berbicara dengan gerombolan teman wanitanya. Wanita itu mengenakan kemeja biru dengan terusan rok kain dan sepatu pantovel yang sama-sama berwarna hitam. Jam tangan emas kecil terlihat melingkar dipergelangan tangannya yang putih. Kali ini rambutnya dibiarkan lurus terurai. Rani.
 
“Rani” Sapaku, sambil berjalan menghampiri.
“Ya. ?” Balasnya.
“ Kamu tidak ngantuk karena obrolan kita semalam ?” tanyaku basa-basi mencoba membuka obrolan dengannya.
“ Obrolan kita...,semalam ? “ tanyanya dengan nada keheranan. Seluruh teman-teman yang berada disekitarnya kini mengarahkan pandangan menyelidik kearahku.
“ Ya, tentu. Obrolan kita semalam tentang buku Ibadah Mendengarkan karyanya si Shanny Kasysyaf itu.. kau lupa ?” Aku mencoba memastikan raut wajah Rani, kalau-kalau ia hanya bercanda dengan pura-pura lupa. Namun, yang kutemukan hanyalah ekspresi wajah yang benar-benar keheranan.
“ Obrolan tentang buku apa…!? Semalam!? maafkan saya. Kita bahkan belum saling mengenal. Bagaimana bisa saya mengobrol denganmu semalam ?? “ jawabnya dengan nada ketus.
 
Aku terperangah sama sekali tak mengerti, kebingungan yang telah bercampur rasa malu mendorongku untuk mempertanyakan mengenai obrolan semalam, dimulai dari topik sastra hingga kehidupan pribadinya. Namun tak satupun yang tak ditampiknya. Membuatku seolah-olah terlihat seperti pria sinting yang ingin memodusi sang wanita.
 
“ Hey ! Dasar Pecundang ! Yang benar saja ! Begitukah caramu memodusi primadona kampus ? hahaha” celetuk salah seorang pria yang sedari tadi bergabung dengan gerombolan, ikut mendengar percakapanku dengan Rani.
Aku kini diam membisu, tak percaya dengan sikap Rani yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa semalam. Mungkinkah kejadian semalam hanya halusinasiku saja ? Ataukah Rani memang benar-benar mengerjaiku? “ Sial” gerutuku dalam hati. Gerombolan yang berada disekitar kami kini makin banyak. Semuanya ikut-ikutan tertawa dan mengolok-olok tanpa henti.Kuputuskan untuk pergi dengan pikiran yang kacau dan rasa malu yang tak karuan. Rani dan gerombolan disekitarnya menatapku geli.
 
“ Aku takan memaafkanmu, Rani. “ kataku dalam hati geram.
 
Pikiranku yang tak karuan ditambah tubuhku yang belum tidur sejak tadi malam membuatku sangat lemas. Aku pulang menuju kos. Membuka kamar, lalu merebahkan tubuh diatas ranjang. Kupandangi buku hitam itu sembari mengulang-ulang ingatan kemarin malam. Pandanganku mulai kabur. Mataku layu perlahan-lahan menutup. Tertidur.
 
Aku terbangun disaat suara ketukan terdengar dari balik pintu. Jam dinding telah menunjukkan waktu pukul dua pagi, menandakan aku telah tidur selama kurang lebih lima belas jam. Wajahku terlihat kuyu saat menoleh ke cermin. kubasuh wajahku terlebih dahulu agar terlihat lebih segar dipandang.
 
Tok, Tok, Tok. Pintu kembali diketuk. “Mungkinkah Rani ?” pikirku menerka. Kubuka pintu. Tiba-tiba sesosok wanita masuk memelukku erat. Tubuhnya yang sedikit lebih pendek dariku terasa harum dan hangat. Kusadari sang wanita masih dengan pakaian tidurnya yang kemarin, begitu juga dengan rambut Panjangnya yang terikat. Rani.
 
“ Maafkan aku soal kejadian tadi pagi.” Katanya lunak memelas.
 
Pelukannya yang belum juga lepas, entah mengapa menghancurkan perasaan geramku terhadap perilakunya tadi pagi. Pikiranku kembali kacau, masih belum mengerti dengan semua yang terjadi. “Ia kembali lagi…” pikirku.
 
“ Mengapa ?” 
“ Entahlah..” 
“ Entahlah…. ?, Kau pasti ingin mempermainkanku lagi kan?!” 
“ Tidak. “
“ Lantas, apa ?”
“ Entahlah.. Mungkin karena aku menyukaimu. “ kata-katanya membuat semesta berubah menjadi sunyi. Dinding-dinding seperti bergetar, Waktu terasa semakin lambat, ketika tiba-tiba aku merasakan sepercik kebahagiaan merayap dalam hati. 
 
Sesaat kemudian, kami lalu berpelukan. Berbaring Bersama diatas ranjang sambil membicarakan kejadian dikampus tadi pagi. Obrolan kami tak pernah ada habisnya. Hingga ketika aku kemudian bertanya.
 
“ Rani, apa yang akan kamu lakukan jika kita bertemu lagi sebentar dikampus ?” 
“ kamu berpura-pura bodoh yah ?, tentu saja, aku akan memelukmu. “
“ Itu terlalu berlebihan, tetapi..,Sungguh ? “ .
 
Dagunya yang indah mengangguk mengiyakan.
Matahari mulai terbit lagi. Cahayanya masuk melalui jendela. Menyinariku dan Rani yang masih terbaring dikamar. Kupandangi jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam pagi.
 
“Aku harus pergi. “ katanya.
“Baiklah. “ kataku.
 
Aku memeluknya sebelum membiarkannya berjalan keluar dari pintu kamar. Rasa-rasa cemas menghinggapi diriku, kalau-kalau sikap Rani berubah lagi saat bertemu dengannya dikampus.
 
*
 
Setiba dikampus, aku menjalani kelas perkuliahan dahulu sebelum memutuskan bertemu dengan Rani. Waktu perkuliahan terasa begitu lama, menyiksa diriku yang sudah tak sabaran ingin melihat Rani. Pikiranku berkelebat membayangkan Rani yang memelukku didepan semua orang, termasuk pria  kemarin pagi yang begitu bersemangat saat mencemohku.
Dua jam berlalu, kelas perkuliahan berakhir. Kutarik tasku dari meja, melesat cepat keluar kelas. Menyusuri halaman gedung fakultas. Kupandangi setiap orang yang berada di sekitarku. Mencari-cari wanita yang semalam menghabiskan waktu bersamaku.Kulirik seorang wanita berkemeja merah dengan terusan rok hitam yang sedang berdiri membelakangiku. Postur tubuhnya mirip seperti Rani. Kuhampiri dirinya yang berada beberapa meter dari posisiku semula.
 
“ Rani ?” tegurku. Entah mengapa, salah satu tanganku tiba-tiba refleks memegang bahunya.
Wanita itu berbalik. Dugaanku benar, ia adalah Rani.
“Ya, ada apa ?” Jawab Rani.
 
Aku diam, menunggunya melakukan sesuatu. Entah isyarat atau gerakan penanda apapun yang membuatku yakin bahwa Rani yang sekarang, adalah sama dengan Rani kekasihku. Namun yang kudapati hanya ekspresi kekesalan darinya. Ia kini kembali bersikap dingin seperti tidak terjadi apa-apa.
 
“ Hey, bukankah kamu pria yang kemarin ?” tanyanya ketus.
Aku diam, kacau lagi.
“ Belum kapok kah ?” tanyanya lagi.
 
Pikiranku semrawut. Dadaku terguncang. Nafasku terengah-engah karena paru-paru yang terasa menyempit. Seperti sebuah dentuman torpedo kini meledak tepat ditubuhku-Hancur berkeping-keping. Selang beberapa saat kemudian, tubuhku tumbang ke lantai. Mataku perlahan menutup, berharap pergi selamanya dari dunia yang terkutuk ini.
 
*
 
Lima Bulan Kemudian…
 
Aku duduk dikursi pelataran Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar. Pakaian khusus pasien berupa setelan baju dan celana panjang biru kini membaluti tubuhku yang kurus. Sebuah gelang abu-abu bertuliskan “ Skizofrenia “ kini melingkari pergelangan tanganku.
 
“ Obatnya dihabiskan yah mas !” seru seorang perawat wanita memintaku dengan ramah.
 
Aku mengangguk mengiyakan. Kutelan dua buah kapsul hijau dari tangan kananku sekaligus. Lalu kuhabiskan juga segelas air putih yang kupegang dengan tangan kiri. Aku kemudian hanya duduk-duduk sembari mengamati teman-temanku, atau lebih tepatnya “Pasien-pasien” lain yang melakukan akitivitasnya sendiri-sendiri.
 
Pikiranku kembali mengingat mundur menuju empat bulan yang lalu. Dimana ketika diriku benar-benar kacau tak karuan. Para tetangga disamping kamarku melaporkan diriku kepada RSJ terdekat. Memberikan keterangan bahwa diriku seringkali berbicara dan tertawa-tawa sendiri saat hari mulai memasuki tengah malam. Seorang Psikiater Bersama pasukan perawatnya lalu datang ke kosku. menjelaskan mengenai keadaanku, Memaparkan mengenai investigasinya dengan orang-orang di kampus dan yang berada disekitarku,Mengatakan bahwa Rani yang selama ini menjadi kekasihku tiap malam hanyalah halusinasiku saja. Kami berdebat, namun akhirnya aku kalah dan menyetujui mereka tuk membawaku ke Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar.
 
Waktu telah menunjukkan waktu pukul dua malam. Aku terbangun dari ranjang pasien di selku. Keinginanku untuk kekamar mandi benar-benar tak tertahankan. Kupanggil perawat yang berjaga untuk mengantarku ke kamar mandi. Seringkali aku berpikir bahwa Rumah Sakit ini benar-benar memiliki fasilitas yang payah, karena tak menyediakan kamar mandi disetiap sel pasiennya.
 
Seorang perawat pria datang menuju selku. Dibukanya pintu sel lalu mengantarku menuju kamar mandi. Lima belas menit berlalu. Perutku telah lega kembali. Aku kemudian meminta sang perawat mengantarku kembali ke sel.
Ketika berjalan Bersama sang perawat menusuri Lorong Rumah Sakit. Sesosok wanita berpakaian yang sama denganku, berjalan Bersama perawat wanitanya menuju arah yang berlawanan denganku. Kupandangi pasien wanita itu saat berpas-pasan dengan kami. Rambutnya Panjang namun tergerai acak-acakan menutupi wajahnya. Pergelangan tangannya telah dilingkari gelang berlabelkan “ Bordeline Personality Disorder”. Kupandangi dalam-dalam wajahnya. Alis mata yang tipis terlihat diantara bayang-bayang gelap Lorong rumah sakit. “ rasanya seperti pernah bertemu “ kataku dalam hati.
 
Kami dan dua orang wanita itu kemudian berjalan menjauh satu sama lain menuju arah yang berlawanan. Sesampainya di depan sel. Aku berdiri diam sejenak sebelum memasuki kamar sel. Rasa penasaranku mengenai pasien wanita itu meluap.
 
“ Pak perawat, kau kenal dengan pasien wanita yang kita lewati tadi ??” tanyaku.
“ Oh, maksudmu Rani, si pasien primadona yang cantik itu ? tentu.” Jawabnya.
“ Rani ?!@#$%?” Kataku kembali kebingungan.
 
 
Penulis: Iqbal Ravsanjani (mahasiswa psikologi, yang masih mencari jati dirinya)

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.