Sebelum Santo Masuk Koran
Aku ingin memberitahu Santo jika keinginannya untuk bunuh diri sudah tepat.
***
Pukul satu dini hari ponselku berdering. Jelas itu bukan alarm pengingat. Kompetisi liga masih cuti, dan Barca tidak punya jadwal bermain hari ini.
Sebab hanya ada dua alasan yang membuatku terjaga ketika sebagian orang masih bertarung mencapai titik klimaks dalam mimpinya. Yang kedua sudah kusebutkan barusan.
Sementara alasan pertama karena aku sudah memakai jatah tidur di siang harinya. Makanya aku benci tidur siang. Setengah sadar aku meraih ponsel lalu samar-samar menatap layar yang cemerlang seperti isi kepala orang yang rutin mewanti-wanti soal masa depan.
“Sudah sadar, bung?”
“Jangan bilang kau hanya ingin bilang begitu kalau kau masih peduli rahang kirimu.”
Minggu lalu Santo jadi korban salah pukul. Atau sebenarnya Santo tipikal pahlawan yang kurang cermat membaca situasi lapangan. Alih-alih membantu orang lain, ia justru lebih sering jadi tumbal proyeknya sendiri.
“Maaf, bung, tapi ini persoalan mendesak.”
“Kau sungguh yakin namamu tidak akan terpampang di koran minggu sebagai korban pembunuhan?”
“Linda mengancam akan pergi jika minggu ini aku belum mendapatkan pekerjaan lagi. Linda bahkan terang-terangan soal alasanku yang baginya omong kosong belaka.”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku membiarkan Santo melanjutkan kisah yang baginya menyedihkan itu. Namun jujur saja itu membosankan. Santo hanya mengulang. Terus mengulang.
Cerita dini hari ini adalah cerita yang ke-4671, dengan kemasan yang berbeda tentu saja. Isinya masih sama: Tai kucing. Andai saja profesi Santo adalah pengarang, maka sudah pasti ia akan berakhir di tangan rakus para kritikus yang luhur.
Tapi mungkin saja ada juga yang beranggapan, satu di antara cerita itu layak mendapatkan tempat di sudut koran berhimpitan dengan iklan layanan sosial dan jiwa.
“Aku merasa sudah melakukan segalanya.”
Tidak. Kau bahkan belum melakukan apa-apa. Tapi aku urung mengatakannya. Kesadaranku belum sepenuhnya datang setelah waktu tidurku disabotase.
Sementara Santo masih bicara, dan kalimat berikutnya membuatku ingin segera mengirim tinju sekarang juga.
“Betapa pun, aku masih sulit membayangkan seandainya Linda akan bersikeras dengan keputusannya. Aku menghubungimu selarut ini karena ku pikir kaulah satu-satunya temanku.”
Anjing. Tapi jika kau pernah bertemu Santo sekali saja dalam hidupmu, kau akan mengerti justru itulah ucapannya yang paling jujur.
“Kau tahu bahan utama pembuatan nuklir?” Aku coba membual.
“Paling kunyit bubuk,” Santo menanggapi dengan nada bicara yang tidak dibuat-buat.
“Dalam kondisi terdesak kau masih punya selera humor juga. Harus kuakui soal itu. Tapi Linda hanya peduli dengan urusan perutnya, sekarang.
“Tenggat waktu satu minggu sungguh tidak manusiawi, bung.”
Aku tidak tahu konsep manusiawi yang bercokol di kepala Santo. Aku tidak mau obrolan ini berlarut-larut. Hubungan antar manusia seringnya membikin repot saja.
Terlebih lagi soal hubungan asmara mereka. Kesenangan-kesenangan yang mereka dapatkan hanya berlangsung sekali menguap. Tidak lebih tidak kurang.
Setelahnya bahkan seterusnya adalah tentang ego siapa yang akan jadi santapan empuk. Bisa jadi malah keduanya. Santo menginginkan Linda. Linda ingin Santo minggu ini.
“Sebelum menghubungimu tadi...”
Aku ingin memotong kalimat Santo lalu segera mengakhiri obrolan ini sekarang juga. Santo sudah kelewat cerewet. Ia boleh menganggapku tidak beradab. Boleh tidak menyebutku teman setelah ini.
Musuh atau teman, aku tidak peduli lagi. Keduanya bahkan hampir tidak bisa ditemukan bedanya. Namun ucapan Santo berikutnya itulah yang sedikit menggangguku.
“—berulangkali aku kepikiran untuk bunuh diri. Tapi tidak menemukan cara yang tepat. Atau setidaknya cara yang tidak begitu menyakitkan.”
“Kau tidak perlu repot-repot merencanakan kematianmu sendiri. Ada yang bilang, apa yang tidak membunuhmu hari ini akan membunuhmu besok. Apa yang tidak membunuhmu besok akan membunuhmu lusa.”
Setelahnya aku betul-betul memutus sambungan telepon, lalu segera menggeser ponsel ke kondisi tidak aktif.
***
Paginya sebelum menyantap sarapan di warung sebelah, aku mendapat pesan singkat dari alumni calon almarhum Santo. Isi pesannya tegas, ngeri, dan menggelikan.
Linda bersedia untuk berunding. Minggu ini aku sudah mantap ingin jadi penyair.
Aku ingin memberitahu Santo jika keinginannya untuk bunuh diri sudah tepat.
Penulis: Akir, lahir di sebuah dusun kecil di bone, 2000. sehari-hari mengurus dan memberi pakan sapi-sapi yang diternakkan sendiri. punya banyak waktu luang dan tidak ada kegemaran tertentu dan rajin menyebar omong kosong di instagram (@akirmndr).