Thu, 12 Dec 2024
Esai / Rahman Haddade / Jan 03, 2021

Makassar Belum Sepenuhnya Merdeka

Euforia tentang kebangsaan dan semangat parah pahlawan dan para leluhur dalam memerdekakan bangsa ini tidak lebih dari cita-cita mengembalikan harkat dan martabat bangsa yang ditindas oleh para penjajah dari kompeni warisan belanda dan jepang. Lalu “Kita” merayakannya dengan penuh tawa dan suka cita. Tidak terlepas para andil dari tokoh masyarakat, aparat pemerintah, dan juga para tokoh agama, dengan tegas melantumkan kemerdekaan bisa kita raih setidaknya dengan memulai untuk mencoba ikut berempati sedikit dari perjuangan para pahlawan dan leluhur di masa lalu.

Lalu di orang-orang milenial menamainya “Acara 17-an”. Dimana anak-anak begitu senang dengan lomba balap karungnya, para bapak rumah tangga berlomba saling memanjat pinang, ibu-ibu lebih antusias dengan program dapurnya. Kita masih bisa menemukan fenomena ini di lingkungan semi-perkotaan. Dimana orang-orang masih belum memagari rumahnya dengan trali besi super canggih, ditambah pengawalan sekuriti berlisensi.

Faktanya kita tidak sepenuhnya merdeka, Dalam 7 tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh cukup kuat dengan rerata pertumbuhan 5,64 persen. Namun, pertumbuhan tersebut belum mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya dapat menurunkan kemiskinan sebesar 0,116 persen pada periode 2010–2012 dan sebesar 0,059 persen pada periode 2013–2016. Angka kemiskinan pada 2010 sebesar 13,3 persen kemudian menyusut menjadi 10,5 persen pada 2017. Hal ini disebabkan karena aktivitas ekonomi terpusat di Jawa, seperti industri, realisasi investasi, penyebaran usaha hingga angka penyaluran kredit.

Pembangunan yang masih ter-sentralisasi di pulau Jawa, sangat kontras dengan pembangunan di sudut ujung batas negara ini. Tak perlu jauh, Makassar misalnya. Kota tercinta dimana saya tumbuh dan menikmati cinta, kota ini adalah pusat perputaran ekonomi terbesar di Pulau Sulawesi. Tingginya arus migrasi penduduk dari daerah lain di sekitaran pulau Sulawesi berbanding terbalik dengan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakatnya.

Bahkan kota Makassar adalah salah satu kota di luar pulau Jawa dengan jumlah APBD terbanyak, sekitar 4 Trillun, 1 tingkat lebih rendah dari Tangerang. Dari segi infrastruktur dan program pemberdayaan masyarakat apakah Makassar lebih unggul? Parkir liar misalnya, mungkinkah fasilitas sekelas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) harus ditebus dengan tarif parkir? Padahal seharusnya fasilitas publik termasuk properti perbankan seperti ATM tidak boleh dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk dengan oknum juru parkir liar.

Permasalahan masing-masing di kota besar cukup kompleks. Pemerintah setempat harusnya bisa lebih aktif dalam berkolaborasi dengan pemerintah daerah yang lain. Tentu saja salah satu pemicu tunggalnya adalah kemiskinan dan minimnya program wawasan moral untuk warganya. Permasalahan maraknya peredaran narkoba dan begal utamanya di Kota

Makassar bisa menjadi masalah bersama yang wajib diperangi. Pemerintah wajib menjadi inisator tunggal dan masyarakat menjadi eksekutor dengan afiliasi dari aparat kepolisian dan TNI. Makassar belum sepenuhnya merdeka, bila kesenjangan sosial dan minimnya lapangan pekerjaan masih bersarang hingga menjadi kanker di tubuh kota ini. Peringatan tentang merayakan kemerdekaan tidak lebih dari sekedar event simbolis tahunan yang tidak memberikan esensi sebenarnya dari kemederkaan.

Makassar harus berbenah, kita tidak boleh kalah dari Kota-kota lain. Bandung misalnya, meskipun dengan jumlah penduduk sekitar 2,3 Juta orang, masih bisa menduduki dengan kota yang paling bahagia di Indonesia, berbanding dengan Makassar dengan jumlah penduduk yang hanya 1,4 juta. Makassar belum merdeka bila tidak berbenah dari sekarang!

Penulis : Rahman Haddade Mahasiswa UIN Alauddin Makassar

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.