Thu, 12 Dec 2024
Esai / Arinda Nurul Widyaningrum / Sep 14, 2022

Ancaman Kapitalisasi Kreasi Generani

Fenomena Citayam beberapa hari kemarin menjadi pusat perhatian. Anak-anak ABG sekitaran SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) menyulap Kawasan Sudirman di Dukuh Atas, Jakarta Pusat menjadi arena fashion show dadakan. Dengan berlenggak lenggok sambil menyebrangi jalan, remaja lelaki dan perempuan berlomba menampilkan fashion busana terbaik.

Tak perlu waktu lama, “demam” ini pun menular hingga ke beberapa daerah. Meski perilaku seperti ini sudah sering diperlihatkan oleh anak remaja lain dari berbagai zaman, yaitu beradu outfit membuat konten catwalk, namun yang meresahkan adalah komentar dari beberapa pihak yang seolah selalu kental akan ancaman eksploitasi dan kapitalisasi dengan dalih menghargai kreasi generasi. 

Selain PT Tiger Wong Entertainment, perusahaan Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoeven, yang kemarin mendaftarkan merek Citayam Fashion Week sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ternyata ada juga seorang atas nama Indigo Aditya Nugraha yang mendaftarkannya ke DJKI sebagai hak paten. Meski keduanya akhirnya mengurungkan niat tersebut mengingat banyaknya sorotan dari berbagai pihak.

Mirisnya selain para pemilik modal, para pemangku kebijakan juga ikut mendukung. Wali kota Bogor, Bima Arya mengatakan tidak keberatan jika kota Bogor juga kecanduan demam CFW. Ia sangat mempersilahkan mengingat banyak ruang publik juga yang dapat dimanfaatkan di sana. Bahkan ia mengingatkan bahwa ajang ini jangan sampai hanya sesaat. (TribunnewsBogor.com (25/7/2022)

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun menyatakan siap mewadahi para remaja ini agar mereka tak hanya menjadi ajang sesaat namun berkelanjutan. Ia sangat mengapresiasi anak muda tren CFW sebab menampilkan salah satu subsektor ekonomi kreatif yakni fesyen. Harapannya Tren CFW bisa seperti Harajuku di Jepang dan 42nd Street di New York Amerika Serikat. (Okezone.com 25/07/2022)

Zita Anjani pun menilai dari kacamata yang sama. Fenomena Citayam katanya akan sangat bermanfaat untuk UMKM hingga pedagang kaki lima di sekitar lokasi. Sehingga ia meminta pemerintah dapat memberdayakan fenomena tersebut untuk menggerakkan roda perekonomian.

Akhirnya para remaja menilai hal ini sebagai prestasi besar, sehingga meski kemarin harus bubar dari Sudirman karena dianggap sudah sangat mengganggu, tetapi remaja ini tak kehabisan semangat. Mereka pindah lokasi ke Kuningan dan bergabung dengan acara modelling yang diselenggarakan oleh pihak mall Kuningan. Benarkah akar permasalahan menjadi selesai apabila gerakan remaja seperti ini difasilitasi, karena dianggap haus apresiasi akan kreasi?

Gagal Melihat Akar Masalah

Kehadiran fenomena Citayam agaknya terlalu sempit bila hanya dipandang sebagai bentuk menghidupkan fashion jalanan, atau sebuah pemberontakan dan perlawanan remaja sederhana terhadap pamer outfit mahal yang hanya selalu ditampilkan oleh kalangan elit, selebgram, dan anak muda metropolitan. Terlalu sederhana menilai mereka  hanya butuh diapresiasi.  Sebenarnya, masalahnya lebih dari sekedar ingin diakui. 

Perilaku mereka adalah hasil dari pemikiran tentang pemaknaan hidup. Pemaknaan tentang hidup versi mereka lahir dan dipengaruhi dari sistem yang selama ini berjalan dan memutar. Mereka telah terbius dengan pandangan hidup tertentu. Misalnya memandang standar kebahagiaan hidup. 

Mereka berpikir bahwa hukum kesenangan adalah bila mampu mengikuti berbagai tren yang naik daun, entah dari segi fun atau fashion yang berkembang tanpa pikir standar agamanya. Remaja kita sejatinya telah terasuki oleh budaya sekulerisme (yakni memisahkan urusan agama dan dunia) yang merasuk massif melalui berbagai elemen. Berita, media, budaya, pendidikan, dan lain-lain. 

Masalah negeri yang terlalu dibesar-besarkan selama ini yaitu Islamophobia sukses membuat remaja kita takut pada ketaatan dan kehilangan identitas takwa. Sebagaimana cuplikan wawancara-wawancara yang dilakukan influencer pada remaja di Citayam tentang pengetahuan agama, kebanyakan remaja itu menjawab dengan gagap. Bahkan mereka pun lebih bangga menampilkan identitas berbeda sebagai kaum pelangi. 

Bagaimana tidak, mereka amat terbiasa dengan berita tuduhan radikal pada remaja yang sholeh, berpakaian syar’i, pandai bahasa arab, dan yang mainnya di masjid, bahkan pesantren. Sementara yang berlenggak lenggok dengan busana yang jauh dari syar’i, campur baur, dan mengadopsi nilai-nilai kebebasan, diapresiasi dan diacungi jempol, mereka terbiasa dengan suntikan budaya barat yang selama ini dijadikan pedoman dalam mengekspresikan apa itu kebahagiaan.

Selain sekulerisme, kapitalisme juga menjadi momok menakutkan. Sebab telah memperbesar jarak kehidupan dan gaya hidup masyarakat.  Banyaknya remaja yang putus sekolah seperti remaja bernama Bonge, salah satu icon di Citayam kemarin, adalah contoh kecil betapa masih banyak remaja yang tidak mampu mengakses pendidikan dan akhirnya luntang lantung menjalani kehidupan. Mahalnya pendidikan membuat mereka gigit jari menelan kepahitan. Maka diambillah jalan pintas yakni ngonten di sosmed agar bisa mendapat cuan. 

Remaja kita susah payah mendulang rupiah dan terpaksa harus melupakan perannya sebagai generasi penerus bangsa. Inikah yang diinginkan para kapitalis agar pemuda kehilangan nalar kritis dalam mengoreksi masalah-masalah negeri? Bisa jadi. Kini, potensi-potensi mereka semakin disoroti sebagai ladang subur perekonomian oleh kalangan kapitalis. Buktinya para pemangku kebijakan dan para kapitalis merespon positif ajang ini untuk urusan ekonomi, sekali lagi seolah tanpa memperhatikan masalah hidup yang sebenarnya menghantui para generasi.  

Demikianlah yang jelas terjadi. Tampaknya mereka gagal memahami akar masalah dan juga lalai dalam menjalankan amanah untuk melindungi generasi dari budaya serangan permisif. Bila hendak mendukung kreasi generasi, maka pertimbangkanlah kreasi seperti apa yang diridhoi Ilahi. Bila memang inilah kreativitas yang patut diapresiasi, bakat terpendam yang butuh ruang, mengapa keberadaan ajang ini malah justru mencoreng identitas mereka yang sebenarnya sebagai pemuda. 

Bukankah tugas pemerintah adalah mengidentifikasi masalah yang melatarbelakangi, lalu memilah mana yang baik untuk diapresiasi dan mana yang buruk untuk dibasmi? Bukan melulu melihat mereka sebagai sasaran-sasaran empuk untuk membantu pemerintah mendongkrak ekonomi. Ingat, potensi pemuda bukan untuk dieksploitasi, apalagi dengan dalih mengapresiasi kreasi. Pemuda, sudah sangat butuh terhadap pemimpin yang benar-benar mencintai mereka, tulus semata mengharapkan ridha Allah. Dan pemimpin yang demikian tidak akan pernah hadir dalam lingkaran sistem kapitalisme yang memandang semuanya hanya dari segi materi. 

Islam, hanyalah satu-satunya Ideologi yang telah membuktikan kehebatannya dalam melahirkan generasi-generasi keren yang berakhlak. Mensejahterakan mereka dalam urusan hidup, sehingga pikiran hanya terfokus pada menambah ilmu dan iman. Wajar bila peradaban Islam begitu cerah dengan cahaya ilmunya karena generasinya terjaga. Wajar bila peradaban Islam begitu maju saat itu mengingat pemuda, yang menjadi tonggak perubahan benar-benar didorong melakukan terobosan perubahan yang hakiki. Tidakkah kita mendambakan kegemilangan Islam demi mendapatkan jaminan hidup bagi pemuda sebagai aset sebuah negara?

 

Penulis: Arinda Nurul Widyaningrum, pegiat literasi dan wiraswasta. Dapat ditemui melalui Intagram @arindanurul_

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.