Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 04, 2021

Apa Kabar Omnibus Law di Tengah Pandemi COVID–19

Perlu kita ketahui bahwa omnibus law adalah sebuah rancangan UU yang memiliki problem yang sangat besar bagi kaum buruh/pekerja. Tidak hanya di situ saja penulis merasa bahawa pembentukan omnibus law ialah sebuah produk elit politik untuk memberikan keuntungan bagi kaum borjuais untuk mencapai keinginan. Di balik semua itu ada kaum proletar yang mengalami kesengsaraan atas hadirnya omnibus law ini.

Keresahan yang di alami oleh kaum proletar dalam hal ini kaum buruh/pekerja  bahwa beberapa pasal yang juga menjadi pandemi di kalangan buruh/pekerja. Menurut penulis pemerintah seharusnya memperhatikan kondisi yang terjadi di Indonesia khsushnya bagi kaum buruh/pekerja. Apalagi rancangan omnibus law tidak sama sekali melibatkan buruh/pekerja dalam menyusun omnibus law, tidak hanya RUU Cipta Lapangan Kerja tapi, UU Sisdiknas, UU Dikti dan UU Guru dan Dosen yang tercatat di dalam omnibus law dengan jumlah secara keseluruhan 1028 halaman.

Penulis merasa di tengah pandemi Covid-19 pemerintah dalam menyusun omnibus law ini memiliki keuntungan yang baik dalam rancangan dan penetapan omnibus law. Tidak bisa di pungkiri dengan melakukan rapat online di rumah masing masing dan membahas kelanjutan dari omnibus law bahkan bisa saja sampai tahap penetapan. Pemerintah mencoba untuk membuat peraturan yang sempurna tetapi tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Perlu kita ketahui bahwa perbandingan rancangan UU KPK dengan omnibus law memiliki frekuensi yang berbeda. UU KPK itu diketahui melemahkan kekuatan independensi KPK melalui revisi UU KPK dan kita ketahui bersama bahwa korupsi ialah sebuah kejahatan dan tidak mungkin untuk di sandingkan dengan omnibus law yang memiliki frekuensi yang mengancam kesejahteraan buruh/pekerja.

Penulis pernah berpandangan bahwa pemerintah mencoba menkodifikasi UU Omnibus Law  menjadi lebih akurat mengurangi beberapa pasal yang di anggap tidak perlu tapi yang terjadi malah berbanding terbalik justru melahirkan pasal kontroversial.  Terdapat lima poin ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, yang dikhawatirkan akan mengancam yaitu:

1. Masuk enam hari kerja. Pada pasal 89 poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan “Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,” demikian dikutip. Sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.

2. Ketentuan lembur. Pada pasal 89 poin 20 tercantum, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Upah minimum. Ditetapkan gubernur Upah minimum tidak diatur secara nasional. Pada pasal 89 poin 24 disebutkan, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum tersebut dihitung dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hanya, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil. Demikian pula untuk industri karya akan dibuat ketentuan tersendiri. Selain itu, pada pasal 89 poin 30 disebutkan bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

4. Ketentuan pesangon. Saat terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib memberikan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi buruh. Pada pasal 89 poin 45 disebutkan bahwa uang pesangon itu dihitung menurut masa kerja.

5. Bonus tahunan. Pada pasal 92 disebutkan bahwa pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang ini memberikan penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh.

Entah apa yang dipikirkan pemerintah hari ini tapi menurut pandangan penulis ini perlu untuk di tata kembali sebab omnibus law ini memiliki dampak yang buruk bagi kesejahteraan buruh/pekerja. Jika seperti ini maka tidak lama lagi buruh/pekerja Indonesia dipekerjakan layaknya hewan bahkan di berikan upah yang murah.

Pemerintah hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk membuat investasi dan mengundang orang asing untuk bekerjasama, tanpa memikirkan kehidupan Buruh/Pekerja, sangat jelas bahwa UU omnibus law  sangat menguntungkan bagi pengusaha ia membunuh dari “hulu ke hilir”. Terlebih saat ini kita sedang dilanda pandemi COVID-19.

Penulis berharap pemerintah memperhatikan lebih baik lagi kondisi yang terjadi mengenai UU Omnibus Law, tidak hanya kesejahteraan buruh/pekerja tapi juga kesehatan bagi masyarakat Indonesia di tengah pandemi covid-19 yang semakin hari memakan korban jiwa tanpa mengenal usia.

Kita berharap dalam penangan COVID-19 pemerintah jangan lamban dalam mengambil langkah dan tentunya kordinasi dengan menteri kesehatan jangan sampai ada miskomunikasi. Belum lagi beberapa oknum yang berusaha mencari keuntungan dengan menyebar hoaks mengenai angka kematian akibat COVID-19 sehingga berdampak pada kecemasan masyarakat.

Selain itu, menurunya ketidakpercayaan terhadap pemerintah Indonesia, belum lagi dengan masyarakat yang terkena COVID-19 dengan adanya berita hoaks maka terganggu pula psikologis mereka. Maka pemerintah seharusnya memberikan situs terpercaya dan melakukan tindak tegas terhadap pelaku/oknum yang melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat (dalam hal ini situs yang tidak terpercaya).

 

Penulis: Luthfi Khusharyadi, mahasiswa PPKn Universitas Negeri Makassar, yang memiliki motto menulis merupakan alat perlawanan dan revolusi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.