Beban Tambahan Pandemik di Era Post-Truth
Baru saja melihat melalui media sosial salah satu video kurang mengenakkan untuk ditonton, karena memperlihatkan beberapa oknum masyarakat di Antang, Makassar, Sulawesi Selatan berdasarkan rilis dari tempo.co yang menolak pemakaman pasien berstatus PDP COVID-19. Ini hanya satu kejadian tidak perlu dari dampak pandemic ini, belum lagi beberapa berita yang mengabarkan bahwa banyak tenaga Kesehatan yang ditolak oleh lingkungan tempat tinggalnya karena dianggap dapat menularkan penyakit ini. Masih banyak lagi yang sama tidak pantasnya dilakukan masyarakat di tengah kondisi seperti ini.
Ada yang lebih berbahaya dibanding virus yang satu ini, salah satunya stigma negatif dan prasangka. Banyak beban tidak perlu yang harus ditanggung oleh hampir semua negara di dunia ini karena terdampak COVID-19. Mulai dari dampak ekonomi dan bisnis, fasilitas Kesehatan yang harus dipaksa untuk bekerja ekstra dengan kejadian tak terprediski ini, dan tentunya kondisi psikologis masyarakat. Tanpa meremehkan bahaya dari virus ini, ada beberapa yang sangat disayangkan karena menjadi beban tambahan kita, terutama masyarakat Indonesia yang panikan.
Masyarakat belum selesai dengan PRnya untuk tidak menaruh stigma ke penyakit lain (fisik maupun mental), seperti stigma kepada ODGJ dan ODHA. Sekarang COVID-19 tidak hanya menyerang organ pernapasan pasien, namun juga menyerang pikiran mereka, selain itu non-pasienpun diserang ‘virus’ stigma dan prasangka.
Media sosial dan akses berita yang tidak tersaring ditambah kurangnya pengetahuan masyarakat akan pandemic ini, memberikan dampak yang tidak seharusnya. COVID-19 di awal tahun, bahkan hingga tulisan ini ditulispun masih sangat seksi menjadi pemberitaan. Sudah tidak bisa terhitung berapa banyak hoaks dan disinformasi yang disebar di media social mengenai COVID-19.
Di era post-truth ini masyarakat mudah mempercayai informasi tetapi sayangnya sulit menerima fakta sebenarnya. Di era ini, sebenarnya kita susah percaya tetapi masih banyak orang yang memilih memilih untuk percaya dulu, untuk benar salahnya kemudian. Banyaknya informasi tidak jelas dan meningkatnya pengguna internet dari berbagai kalangan membuat susah mencari informasi yang benar. Lies spread faster than the truth.
Hoaks Kesehatan berdasarkan rilis tirto.id merupakan paling banyak dan paling menarik bagi pembaca, penyebabnya karena kurangnya pengetahuan kita mengenai informasi kesehatan dan sains. Aneh memang, sudah paling tidak tahu tapi paling cepat menyebar informasi salah atau karena memang merasa sudah paling tahu.
COVID-19 bukanlah pandemik pertama di dunia, banyak pandemic lain yang pernah terjadi bahkan sejak ribuan tahun lalu, tapi penyakit ini paling banyak dibahas dan menyebar melebihi kecepatan virusnya karena kemudahan akses informasi dibanding kondisi saat pandemik-pandemik yang lain menginvasi dunia.
Apa kaitan hoaks dan disinformasi dengan stigma yang terbentuk di masyarakat tentang pasien COVID-19 ini?
Stigma dibentuk oleh pengetahuan kita yang diserap dari banyak sumber, baik yang terpercaya atau sudah dibelokkan sehingga disinformasi maupun yang memang sengaja diproduksi menjadi hoaks. Beban berat pasien dan keluarganya tidak perlu ditambah dengan stigma sosial tak berdasar. Banyak hoaks yang membentuk stigma sosial kepada pasien, bahkan juga ditujukan kepada tenaga medis yang menanganinya. Pemberitaan dan hoaks yang disebar tentang betapa mematikannya virus baru ini membuat masyarakat awam sudah panik duluan.
Stigma sosial bahkan bisa membawa kita ke level tidak manusiawi seperti contoh yang saya jelaskan di awal tulisan saya ini. Peran penting orang-orang terdidik, pemerintah, dan influencer untuk memperbaiki informasi mengenai COVID-19 ini yang sudah terlanjur berantakan. Tetap sebarkan berita baik tiap hari mengenai COVID-19 ini.
Penulis: Alif Syahrul Wahyudi, mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar.