Corona dan Fenomena Wabah Sosial Ekonomi
Wabah penyakit virus corona akhir-akhir ini menjadi tren pembahasan yang menghiasi media pemberitaan nasional maupun internasional. Virus corona yang diberi nama WHO sebagai Corona Virus Disease 2019 atau lebih akrabnya COVID-19 telah menjelma sebagai antagonis utama kepanikan global yang membuat hampir semua Negara di dunia terisolasi atau mengisolasi diri sementara waktu dalam pergaulan dunia.
COVID-19 pertama kali mewabah di China tepatnya pada salah satu kota padat penduduk yaitu wuhan yang diduga berasal dari kebiasaan masyarakat mengkonsumsi kelelawar yang diklaim sebagai sumber COVID-19. Parahnya lagi wabah ini tidak hanya melumpuhkan manusia, namun juga melumpuhkan hampir semua sendi-sendi kehidupan vital manusia seperti ekonomi, sosial dan budaya.
Tidak perlu waktu lama kepanikan global juga menular ke Indonesia. Kebiasaan Orang Indonesia yang cenderung lamban di awal dan menganggap COVID-19 sebagai hal yang enteng bahkan hanya sekedar virus biasa yang tidak lebih berbahaya dari virus-virus yang lazim. Seketika menjadi kepanikan massal diseluruh penjuru yang dulunya dipandang hanya secuil virus, kini telah berubah menjadi bayangan malaikat maut yang bertebaran disetiap sudut kota dan memaksa setiap individu was-was akan gejala dan penyebarannya.
Hal menarik nya adalah kepanikan yang terjadi seolah menggiring ingatan penulis pada bacaan-bacaan karya seorang ilmuan ulung mengenai analisis kelas. Karl Marx dalam pemikirannya amat menekankan pentingnya dasar ekonomi sebagai infrastruktur yang mempengaruhi suprastruktur. Singkatnya infrastruktur ini adalah kondisi materiil ekonomi dan suprastruktur adalah lembaga-lembaga yang ada termaksud didalamnya etika atau moralitas.
Lebih sederhananya bahwa struktur ekonomi yang ada mempengaruhi cara bertindak seseorang atau kelompok dan bukan sebaliknya. Walaupun pada konsep aslinya condong pada analisis kelas borjuis dan proletar dalam siklus menindas dan tertindas, tidak ada salahnya mengambil konsep tersebut bahwa kondisi ekonomi mempengaruhi cara bertindak.
Entah mengapa fenomena sosial ekonomi yang ada ditengah masyarakat menonjolkan ketimpangan yang amat nyata. Lebih mudahnya sebut saja antara kelas atas dan kelas bawah. Sebut saja dalam aksi serbu sembako yang sekilas lebih mirip penjarahan yang dilakukan diberbagai pusat perbelanjaan, nyaris tanpa sisa.
Siapa pelakunya? Ya jelas mereka yang berkantong tebal atau si kalangan atas. Belum lagi akses akan kebutuhan masker dan hand sanitizer yang langka dengan harga berkali-kali lipat dari harga seharusnya menjadikan mereka sebagai priorotas konsumen utamanya yang membuat kalangan bawah kesulitan mendapatkannya.
Beda sikap dengan si miskin yang terlihat normal dan dapat lebih meminimalisir kepanikan yang ada. Salah satunya melalui guyonan bahwa mereka sudah terbiasa bahkan nyaris kebal dengan berbagai sumber penyakit yang ada bahkan hidup berdampingan dengan mereka. Jangankan memasok sembako dalam jumlah banyak, memikirkan apa yang akan dimakan untuk hari ini saja mereka harus berjibaku dengan lelah dan keringat yang hasilnya untung bila dapat membeli sekarung beras dan beberapa lauk sederhana. Jangankan membeli masker atau hand sanitizer, mereka mungkin lebih memilih untuk membeli kebutuhan lain yang dapat menyambung hidup mereka.
Ketika social distancing atau menjaga jarak sosial ramai digalakkan aparatur negara dan dengan getolnya netizen mengampanyekan hastag “dirumahaja” dalam berbagai media sosial. Terjadi 2 hal yang berbeda dalam masyarakat. Berbagai tempat lalu lintas kendaraan menjadi lengang karena intensitas lalu lalang kendaraan khususnya roda 4 berkurang drastis dan beberapa kompleks perumahan elite yang nyaris terlihat tanpa penghuni.
Disisi berseberangan terlihat aktivitas yang biasa saja tanpa upaya mengisolasi diri. Ketimbang berdiam diri dirumah, kebanyakan lorong-lorong kota yang ada masih beraktifitas layaknya tidak sedang terjadi apa-apa. Begitupu para pasukan hijau atau ojol masih setia dengan orderan mereka dan masih banyak lagi aktivitas yang nampak tidak menggubris himbauan negara.
Pertanyaan yang paling menohak adalah bagaimana tanggung jawab negara terhadap mereka yang tidak memiliki rumah namun notabenya juga mereka rentan akan wabah COVID-19. Hah! Nampaknya ketidakpedulian negara dan perhatian kita telah digantikan oleh kepanikan hingga lupa akan hal ini.
Sejatinya jarak sosial bagi mereka adalah hal yang sudah lama terjadi jauh sebelum mewabahnya COVID-19. Jurang pemisah kelas atas dan bawah sudah lebar sejak dulu. Ketimpangan sosial yang ada menjadi contoh kongkrit betapa kuasanya kalangan atas terhadap berbagai sumber daya dan akses kebutuhan yang layak bagi kesejahteraan.
Bahkan dalam kondisi seperti ini pun kalangan atas semakin mempertontonkan kedikdayaannya dengan memprioritaskan diri mereka sendiri dan menyampingkan nilai-nilai kemanusian. Mereka tidak pernah memikirkan nasib kalangan bawah ketika mereka menjarah semua pangan dan kebutuhan medis.
Kalangan bawah bukannya acuh terhadap kesehatan namun tak mampu membendung kondisi dan struktur ekonomi yang ada. Secara materiil memaksa mereka terus berkegiatan dan jika tidak mereka bukannya mati karena COVID-19 namun mati karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan.
Lantas bagaimana seharusnya? Alangkah bijaknya seandainya kita dapat berbagi perasaan senasib sepenanggung dalam menghadapi fenomena sosial wabah COVID-19 ini. Namun bila melihat realitas yang ada semua itu tidak lebih dari ilusi untuk menciptakan kesenangan belaka atau dengan kata lain hanya harapan utopis yang melayang di langit tanpa bisa membumi di tanah.
Keangkuhan dan pertentangan kelas sekilas telah menjadi siklus mengerikan yang akan tetap ada apapun fenomenya. Tidak heran kiranya bila seorang tokoh dunia sekalibar Marx yang mampu menularkan benih revolusi di berbagai belahan bumi mengatakan dalam salah satu maha karyanya “Manifesto komunis “ bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.
Penulis: Muhammad Fadly, mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNM.