Gagasan Marketplace: Haru atau Pilu Calon Guru
Akhir-akhir ini dunia pendidikan di Indonesia kerap menjadi perbincangan para guru, calon guru, kalangan mahasiswa bidang pendidikan, bahkan masyarakat. Bagaimana tidak, ketika sebuah gagasan baru yang dikeluarkan oleh Kemendikbud Ristek, yakni Pak Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan komisi X DPR pada tanggal 24 Mei 2023.
Di era modern sekarang ini sangat minim orang yang tidak mengenal aplikasi online jual beli barang (marketplace) yang memudahkan seseorang untuk menjual atau membeli barang tanpa harus interaksi secara langsung.
Mirisnya marketplace ini yang menjadi gagasan baru pemerintah dalam dunia pendidikan untuk merekrut seorang guru, sekolah meng-checkout seseorang untuk mengajar di sekolah tersebut melalui sebuah aplikasi layaknya barang yang diperjualbelikan.
Gagasan Marketplace Guru
Marketplace guru digadang-gadang akan menjadi solusi persoalan seleksi PPPK, sejauh ini baru terdapat 36.061 guru yang diusulkan formasinya oleh Pemda.
Dengan adanya Marketplace guru, calon guru lebih mudah untuk mendaftar dan memilih lokasi mengajar tanpa harus menunggu perekrutan secara terpusat sekali setahun. Namun, tentu ada syarat untuk bisa ikut Marketplace guru, yaitu peserta seleksi PPPK yang lolos passing grade dan lulusan PPG pra jabatan.
Pak Nadiem Makarim mengatakan bahwa selain Marketplace guru, sekolah bisa melakukan perekrutan secara langsung dengan syarat sebagai berikut:
-
Anggaran gaji dan tunjangan guru ASN yang sekarang ada di pemerintah daerah dialihkan ke sekolah.
-
Anggaran langsung ditransfer ke rekening sekolah (terpisah dari rekening BOS)
-
Sekolah bisa merekrut guru ASN kapan saja asalkan sesuai formasi.
-
Formasi ditentukan pemerintah pusat tapi bersifat dinamis setiap tahun tergantung jumlah siswa.
-
Perekrutan via marketplace. Untuk memastikan sekolah merekrut guru berkompetensi, perekrutan hanya bisa dilakukan dari marketplace calon guru. Jika seorang calon guru sudah direkrut oleh sekolah, maka otomatis diangkat sebagai ASN.
-
Pembayaran guru ASN menggunakan sistem pembelanjaan sekolah. Hanya guru pada roster sekolah yang bisa dibayar dengan sistem, sehingga tidak ada lagu guru honorer yang dibayar seadanya.
Menurut Sumardiansyah Perdana Kusuma selaku ketua departemen penelitian dan pengabdian masyarakat PB PGRI, perekrutan satu juta guru PPPK yang dimulai 2021-2022 baru menyerap 544.292 guru. Sementara, sampai 2023, jumlah kebutuhan guru yang masih perlu dibukakan formasi sebanyak 601.286 guru.
Bisa dikatakan perekrutan selama dua tahun terakhir masih belum optimal. Jumlah guru yang mengikuti seleksi PPPK dan sudah dinyatakan lolos passing grade sebanyak 193.954 guru.
Dari 193.954 guru, 131.025 guru sudah mendapatkan penempatan, sedangkan 62.546 orang sisanya yang sudah lulus passing grade 2021 dan masuk kategori guru P1 masih belum mendapatkan penempatan.
Oleh karena itu, disarankan apabila Pemda (Panselda) masih minim dalam pengajuan formasi, tindakannya bukanlah membuat marketplace guru.
Melainkan mengambil kebijakan optimalisasi oleh pemerintah (Panselnas) melalui pemanfaatan aplikasi Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (SSCASN), dengan mengacu data pelamar prioritas guru lulus PG 2021 (P1), guru honorer K-II (P2), dan guru non-ASN di sekolah negeri (P3).
Pantaskah Guru Disandingkan dengan Label Marketplace?
Terdengar sangat rendah jika seorang guru dijadikan objek yang disamakan dengan barang yang dibeli oleh sekolah-sekolah. Sejatinya guru adalah subjek dan merupakan profesi yang mulia dan terhormat. Dalam UU No.14 Tahun 2005 diterangkan bahwa Guru merupakan profesi pekerjaan khusus.
Penggunaan diksi marketplace mendapatkan respons negatif dari beberapa pihak. Pak Nadiem Makarim langsung mengganti nama marketplace guru menjadi database talenta guru.
"Terima kasih untuk masukannya, mengenai nama atau istilah (marketplace) mungkin kita mengerucut kepada database talenta guru," ujar Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu 24 Mei 2023.
Meski begitu hanya nama yang berubah tetapi eksistensi dari gagasan marketplace tersebut masih sama dan penuh dengan kontradiksi didalamnya.
Pro-Kontra Gagasan Marketplace Guru di Kalangan Mahasiswa
Tentu saja gagasan ini menjadi perbincangan hangat di forum-forum aktivis mahasiswa. Jika terus digali sampai mendalam akan berujung pada pembahasan korupsi. Mengapa demikian, karena melihat kasus korupsi terhadap penyelewengan dana BOS di tahun 2022 terdapat 51 kasus yang melibatkan oknum petinggi di sekolah, seperti kepala sekolah, bendahara sekolah dan sejajarannya. Hal ini diungkapkan oleh Ubaid Matraji, selaku koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
Jika berkaca pada kelebihan dari adanya Marketplace guru, yakni anggaran gaji dan tunjangan guru ASN yang sekarang ada di Pemda dialihkan ke sekolah dan anggaran langsung di transfer ke rekening sekolah sama halnya dengan dana BOS yang 20% diperuntukkan gaji honorer.
Tentunya para aktivis mahasiswa tidak akan tinggal diam melihat kemungkinan terjadi korupsi pada gagasan Marketplace guru ini. Selanjutnya mahasiswa yang bergelut di bidang pendidikan, tidak menutup kemungkinan akan menjadi calon guru dihadapkan pro-kontra mengenai hal ini.
Sebelum itu menurut data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), pada bulan Oktober 2022 silam, terdapat 1.371.105 mahasiswa aktif di bidang pendidikan. Hal ini yang akan menjadi persoalan dalam persaingan untuk menjadi seorang guru terlebih lagi jika dihadapkan dengan syarat untuk bisa ikut Marketplace guru, tentu mahasiswa diambang kebingungan.
Disisi lain keuntungan dari Marketplace guru, sekolah dapat merekrut guru saat dibutuhkan tanpa harus menunggu proses rekrutmen yang dilakukan oleh pusat atau daerah.
Namun bagaimana jika terjadi perekrutan melalui sistem pendekatan (nepotisme), semisal kepala sekolah ingin merekrut calon guru yang merupakan kerabatnya tanpa mempertimbangkan kualitas dari calon guru tersebut. Sama halnya yang disampaikan oleh Politikus Partai Demokrat, H. Dede Yusuf yang mengatakan,
”harus ada juga sistem pencegahan sekolah melakukan perekrutan yang asal-asalan atau perekrutan yang tidak sesuai kebutuhan dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek utama yang mendukung kualitas pengajaran sekolah. Jangan sampai sistem baru mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas guru dan ketidakadilan lainnya bagi para guru honorer.”
Marketplace guru patut diapresiasi sebagai bagian dari ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan persoalan perekrutan guru akan tetapi gagasan marketplace ini justru menunjukkan bahwa pemerintah mengalami kelelahan karena tidak mampu meyakinkan Pemda.
Diluar daripada itu pemerintah juga harus dengar pendapat dari perwakilan guru, perwakilan sekolah, masyarakat bahkan para mahasiswa. Dan sekali lagi, penggunaan platform marketplace tidak logis jika disandingkan dengan guru, bagaimana mungkin guru yang mulia dan terhormat disamakan dengan barang?
Dan jika marketplace guru atau database talenta guru terealisasikan, apakah ada jaminan jika sekolah-sekolah yang ingin merekrut guru tidak menerapkan nepotisme?
Penulis: Dila Fatmaisya, Mahasiswa PGSD Bone Kampus VI UNM. Dapat dihubungi melalui instagram @dilaaisya_29.