Hollow Point Menjawab Peristiwa Awal Tahun di Indonesia
Saat menyaksikan beberapa fenomena yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri di awal tahun 2020 ini di balik layar kaca smartphone, saya terkesima dengan deretan peristiwa yang bahkan melibatkan banyak orang berseteru, saling menyalahkan dan saling menjaga dalam hal teritorial kekuasaan hingga tak sedikit orang yang dirugikan bahkan kehilangan kehidupan untuk selamanya.
Terkesima bukan berarti bangga dan berbahagia ria namun justru sebaliknya, saya merasa menyaksikan pertengahan kehancuran dari tatanan sebuah negeri (bukan awal kehancuran karena semuanya telah resmi dimulai jauh hari sebelum tulisan ini dirangkai dengan perasaan gusar dan mengharapkan jawaban).
Mulai dari peristiwa banjir (Jakarta, Banten dan Jawa Barat), terungkapnya skenario pelengseran Gus Dur, pengakuan kedaulatan Cina atas Natuna, terbunuhnya Qasem Soleimani oleh pasukan Amerika Serikat yang disinyalir akan memicu PD III hingga kebakaran hutan parah yang terjadi di Australia yang jika diukur luas cakupannya hampir sama jika Jakarta, Banten dan Jawa Barat disatukan.
Di Indonesia, awal tahun disambut dengan persoalan. Tentu ini bukanlah termasuk resolusi 2020 oleh jutaan orang yang merayakan tahun baru, kalaupun iya mungkin saja hanya beberapa orang kalau bisa ditebak.
Tapi yakinlah orang-orang Indonesia itu baik dan banyak yang menginspirasi seperti pengakuan Marian Klamer dalam catatannya, Indonesia: Tempat Fieldwork Terbaik yang Ada di Muka Bumi , bahwa yang paling menginspirasi dari orang-orang Indonesia adalah betapa ramahnya mereka kepada orang asing. Di mana pun anda berada, akan ada orang yang siap untuk membantu, penuh senyuman dan niatan untuk membuat anda nyaman.
Tentu pengakuan Marian adalah kejujuran namun mungkin hal demikian kebanyakan berlaku di daerah-daerah terpencil yang ada di Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat leluhur namun agak sedikit berbeda dengan kehidupan di perkotaan yang sumpek, kaku, bergegas dan yang tak dapat dilupakan adalah rasa curiga yang tinggi dan diri sendiri yang diprioritaskan daripada mengurus orang lain.
Jika ingin melakukan social experiment untuk membuktikan hal tersebut. Kita hanya cukup jalan-jalan di jantung kota tanpa uang dan meminta menumpang di kendaraan.
Pertama, pemilik kendaraan akan curiga bahwa kita adalah pelaku kejahatan karena kehidupan kota identik dengan tindakan kriminalitas sehingga tak memiliki niatan untuk memberi tumpangan.
Kedua, mereka memang enggan untuk memberhentikan kendaraan dikarenakan ada target yang mereka kejar sehingga demi itu, rasanya tak ada waktu untuk menolong orang secara gratis.
Terhadap apa yang dijadikan resolusi tentu bukanlah tentang persoalan yang kita inginkan. Akan tetapi tanpa diminta, persoalan akan terjadi dalam kehidupan manusia. Bumi manusia berisi manusia dengan segala persoalannya, kiranya begitulah yang pernah di-simfoni-kan oleh Pramoedya Ananta Toer. Namun segala persoalan yang terjadi di alam materi ini tentu tidak terlepas daripada sebab musabab (kausalitas).
Mengenai sebuah resolusi awal tahun, Geger Riyanto melalui tulisannya di Indoprogress.com yang mengutip ucapan tahun baru dari akun meme Slavoj Zizek telah memberikan gambaran mengenai persoalan itu sendiri, “Selamat tahun baru. Jangan khawatir. Persoalan baru pasti menanti”.
Serangkaian peristiwa tersebut tentunya mengundang rasa terkesima kita. Hal demikian wajar saja. Tercengang dan seolah hilang akal bukan menjadi alasan untuk tidak menemukan sebab-sebab kejadian terjadi apatah lagi hanya mengatakan bahwa masalah Cina mencuri ikan di Natuna tidak perlu dibesarkan, itu hanya akan mengganggu investasi dan juga Cina adalah negara sahabat.
Sungguh! Ini semacam humor yang tak patut ditertawakan. Selebihnya di ciutan akun twitter Dandy Laksono yang menjelaskan secara terperinci.
Sebuah keberuntungan. Pada Juni 2019, sutradara ternama, Daniel Zirilli, mempersembahkan kepada khalayak film terbarunya, Hollow Point. Meskipun film tersebut bergenre action namun tak menutup pesan yang hendak disampaikan kepada penonton. Dilan Jay sebagai Nolan Cooray menjadi pemeran utama dalam film tersebut.
Kisah yang miris dan menyedihkan menimpa Nolan. Istri dan putrinya dibunuh tanpa pamrih dan dengan alasan hanya karena keduanya menyaksikan adegan pembunuhan yang dilakukan oleh pemimpin salah satu geng terbesar di Amerika Serikat. Nolan sangat terpukul dengan kejadian itu. Kasus tersebut ditangani oleh pihak kepolisian namun Nolan merasa tidak puas dan ingin segera menemukan pembunuh istri dan putrinya.
Singkat cerita, Nolan dijebloskan ke penjara dikarenakan nekat mendatangi markas sang pembunuh dan melukai beberapa orang dengan senjata api. Di dalam penjara, ia bertemu dengan seorang milisi, Hank Carmac yang akhirnya bergabung dalam Vigilantisme.
“Kau tahu aku selalu ajarkan siswaku untuk memiliki keyakinan pada hukum, aku dulu berpikir Amerika dibangun di atas semacam keadilan. Negara ini berubah menjadi sampah, Hank! Untuk apa keluargaku dibunuh!”
Dari kutipan dialog antara Nolan dan Hank tersebut nampak juga berlaku di negara-negara lain termasuk Indonesia. Setidaknya itulah gambaran hukum hari ini yang seakan-akan mengebiri keadilan dan impunitas. Atas nama prosedur legal yang tertib dan ideal, keadilan musnah.
Pembunuh, koruptor, perusak lingkungan dan mafia tanah berkeliaran tanpa proses hukum yang nyata. Tak ayal, kehancuran berada di depan mata. Semua peristiwa yang terjadi dan menimpa negeri kita akhir-akhir ini tak lain berangkat dari lemahnya penegakan hukum yang berkeadilan termasuk kerusakan lingkungan.
Saya teringat dengan pernyataan Judi Bari dalam Ekologi Revolusioner, alam tak tercipta untuk melayani manusia melainkan alam dan manusia hidup bersama. Keduanya menjalani hubungan yang harmonis. Namun coba perhatikan sekeliling kita, harmoniskah hubungan keduanya?
Kita tak pernah merenung dan berpikir sejuk di bawah rindangnya pohon, menikmati buku sejarah nyata tanpa unsur politisasi di akhir pekan dan kita tak pernah berani mempertaruhkan segalanya termasuk jabatan untuk kepentingan masyarakat.
Kita utamanya pemimpin kita dan mereka yang berada di balik kejadian beberapa peristiwa di atas adalah yang oleh Matteo Pericoli namakan para pengidap Defenestraphobia: penyakit kejiwaan yang takut pada jendela. Termasuk jendela kehidupan yang adil.
Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.