Kacamata Soe Hok Gie Dalam Batasan Rekomendasi Pemilma
Atmosfer pemilma (pemilihan umum mahasiswa) selalu saja menjadi sesuatu yang seksi untuk menjadi perbincangan hangat bagi mahasiswa yang kritis serta aspiratif. Setiap mahasiswa yang tergabung dari beberapa segmentasi kubu, melakukan euforia hingga riak-riak dalam gelanggang politisasi panggung 'demokrasi' katanya.
Kelaziman status quo yang berebut hak tuk dikedepankan, entah bagaimana pun caranya, para stakeholder akan berusaha dengan semaksimal mungkin menjaring elemennya untuk memperkuat basis hingga determinasi menjadi cukup kokoh. Setelah sekian kader terjaring, yang lazim terjadi adalah, agitasi bahwa segmennya lah yang patut dikedepankan.
Adapun segelintir organisasi eksternal yang perlahan menampakkan diri sebagai organisasi pergerakan dan kaderisasi, namun dalam kenyataannya mengarah pula pada keterlibatan politisasi.
Kita tidak dapat mengelak, bahwa organisasi eksternal telah menjadi wadah yang efisien dan mendukung serta intens untuk mencapai tujuan tertentu dan orientasi yang sesuai harapan. Apalagi, kecenderungan pola penyebaran pengisian posisi-posisi struktural dalam memangku suatu jabatan elit. Serta organisasi eksternal yang senada, sepadan serta sinkron tuk menjadi backingan dari para stakeholder, menjadikan mahasiswa tak lagi bisa obyektif sebagai kontrol sosial kekuasaan, penyambung lidah dari banyak keresahan mahasiswa serta isu-isu kampus yang tak kunjung selesai. dikarenakan idealisme ikut dikebiri.
Hal ini yang kemudian sangat dihindari oleh seorang pemuda kritis pada masanya yang telah banyak memberikan sumbangsih ide fikiran serta gagasan yang cukup relevan pada realitas yang nampak terjadi hingga sekarang, Soe Hok Gie mengatakan “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain”.
Hok Gie tak pernah setuju dengan adanya bentuk politisasi organisasi eksternal kampus yang masuk kedalam organisasi internal apalagi organisasi eksternal itu berafiliasi pada salah satu partai politik atau satu kepentingan tertentu yang jelas akan mengganggu independensi berfikir serta bertindak kritis.
Salah satu contoh implikasi atas regulasi struktural hierarkis di salah satu kampus hijau peradaban Makassar misalnya, para pemangku jabatan elit turut terlibat secara langsung mewarnai dinamika calon pendaftar dari organisasi internal tataran fakultas untuk maju bersaing secara kompetitif pada tingkat Universitas. Dicekoki dengan cara membatasi rekomendasi bahkan tidak memberikan rekomendasi untuk maju bersanding dalam panggung kontestasi pemilma dengan alasan dan pertimbangan yang sepihak.
Namun sempat mengutarakan jargon satu ideologi “peradaban” katanya, yang mana sehemat pengetahuan penulis, ketika kita menilik peradaban dari berbagai perspektif maka itu berbicara tentang kemajuan yang signifikan. Tanpa terlalu jauh membatasi hak seseorang untuk ikut bersaing secara qualitas maupun quantitas serta toleran dalam menanggapi hal demikian. Apakah hal demikian mencerminkan keadaan yang sebenarnya?
Menurut pendapat Karl Marx dalam teori konflik yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik. Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan meningkatkan posisinya. Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Semoga kita senantiasa berdiri serta berada pada jalur yang semestinya dan objektif dalam memandang segala jenis serta bentuk permasalahan yang ada.
Penulis: Daeng Pamatte, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UINAM, Ketua HMJ Sejarah Peradaban Islam 2019, Ketua 2 HIPMA Gowa Kord. Pattalassang 2018-2019 serta Penggagas Komunitas Literasi Akulturasi.