Kampus dan Mitos Kebebasan
Bicara tentang dunia kampus sepertinya tidak akan ada habisnya, ada saja hal hal menggelitik nalar yang menarik untuk diperbincangkan, termasuk masa depan kampus dan mahasiswanya.
Penulis mengajak pembaca untuk mengamati sejenak berbagai hal di kampus, baik itu kampus negeri, kampus swasta atau kampus swasta bertopeng negeri. Arah masa depan kampus jika diamati menjelma menjadi tempat mahasiswa mempersiapkan diri menjadi pengusaha atau apalah itu yang menghasilkan materi, dibuktikan dengan adanya mata kuliah kewirausahaan di jurusan yang notabenenya tak terlalu punya kaitan dengan hal tersebut.
Lulusan baru dianggap keren dengan tolok ukur hal hal yang berbau materi, betapa mahasiswa yang lulus dan menjadi relawan atau menjadi garda terdepan mengawal kasus kerakyatan jarang atau mungkin tidak diperhatikan, bahkan seringkali menerima kutukan.
Kampus sering kali hadir sebagai wajah yang menyeramkan dalam penegakan kebenaran, coba lihat bagaimana intervensi menjadi metode unggulan ketika mahasiswa mempertanyakan hal hal mengganjal yang dilakukan oleh birokrasi, jika tidak sekarang yah pada saat penggodokan skripsi. Kampus benar benar berubah menjadi anti kritik meski di berbagai pidato pidato atau sambutan kalimat manis tentang kemerdekaan berpendapat menjadi hal yang menenangkan telinga, nyatanya di lapangan mahasiswa yang berani buka mulut dianggap berdosa dan layak diberi sanksi Skorsing atau bahkan DO.
Setelah memberi pelajaran kepada Si Pendosa maka kampus akan melancarkan aksi dengan doktrin doktrin ketakutan dan ketaatan, kampus sudah menjadi tempat pelembagaan nilai nilai dan moralitas. Semua serba diatur mulai cara berpenampilan bahkan cara berpikir, kebebasan akademik sepertinya hanya sebatas kata.
Bagaimana tidak segala kekakuan hadir di hadapan para mahasiswa dan dilegalkan dengan kurikulum dan aturan yang ada, tak boleh melawan. Jika tidak kau akan dicap sebagai pembangkan, hal ini sejalan dengan yang dinamai Nietzche dengan “Interiorisasi Individual” untuk hal di mana individu cenderung menerima kebenaran moralitas tanpa syarat yang menyebabkan banyak sekali orang taat dan sedikit saja yang berani.
Lama-kelamaan pengetahuan dipersempit oleh dikte kepatuhan dan ketundukan pada aturan yang menyebabkan ruang ruang diskusi sepi dialektika, sebab yang berbeda akan dianggap kurang ajar, bahkan boleh jadi penyampaian aspirasi lewat aksi demonstrasi menjadi dosa yang halal hukumnya diberi sanksi DO seperti yang telah banyak digunakan kampus kampus.
Pada akhirnya karena ketakutan mahasiswa disibukkan dengan kegiatan kampus yang melelahkan, seperti kuliah tatap muka di kelas, praktikum, laporan dan tugas tugas akademik lainnya. Mereka tak akan ada lagi yang peduli dengan kesengasaraan rakyat karena korupsi, karena baginya itu urusan pemerintah, tugasnya hanya belajar, lulus dapat ijazah, kerja, nikah, punya anak lalu masuk surga, tanpa mereka sadari bahwa surga bukan bagi tempat mereka yang diam melihat kedzaliman. Atau sederhana saja, mereka berubah menjadi begitu individualis bahkan diam saja saat temannya menjadi korban kuliah yang mahal dan tak mampu membayarnya.
Sekarang penulis mengajak pembaca merenung, selama menjadi mahasiswa apa yang sudah anda lakukan? Sudahkan menjadi orang berguna atau jangan jangan hanya sekadar menjadi sampah? Selama anda menjadi mahasiswa perubahan apa yang anda berikan kepada masyarakat?
Sudahkan anda menjadi manusia merdeka selama mengenyam pendidikan tinggi? Tidakkah kalian sadar bahwa selama ini kita diarahkan untuk berbuat jujur namun dipasung ketika mengucap kebenaran bahkan oleh orang yang mengajurkan hal yang sama? Apakah kuliah sudah berhasil membuat anda menjadi manusia? atau jangan jangan kuliah anda hanya formalitas demi mendapat ijazah saja, coba jelaskan bagaimana masuk kampus hanya dengan duduk dan diam saja mampu mengubah hidup anda?
Kampus harus dikonstruksi ulang dari berbagai doktrin doktrin keterpenjaraan, mahasiswa harusnya tak hanya jadi lulusan formalitas, mereka harus punya andil menjadi oposisi dari berbagai polemik di tanah ini, sebab menjadi elitis meski dengan modal akademis tidak akan membuat masalah di negeri ini tuntas atau sedikit terkuras. Mungkin kelak masa depanmu akan cerah, namun jangan lupa ada banyak masa depan yang disuramakan hanya karena sikap diam.
Mari kritis untuk jadi cerdas,
Mari cerdas untuk jadi manusia,
Mari jadi manusia untuk memanusiakan manusia,
Jangan sampai kita hanya menjadi budak yang disekolahkan tanpa pernah dimerdekakan.
Penulis: Besse Mapparimeng A. Lauce, mahasiswa PPKn Universitas Negeri Makassar 2016, staff Media dan Propaganda BEM UNM.