Kekerasan Seksual dalam Pusaran Patriarki
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut budaya patriarki baik itu dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Alfian Rokhmansyah di bukunya pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.
Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kehidupan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat
Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil.
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi serta tidak sedikit pula mengalami pelecehan seksual. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2018 mencatat kekerasan di ranah publik mencapai angka 3.528 kasus (26%), dimana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.670 kasus (76%). Terdapat tiga jenis kekerasan seksual yang paling banyak dilakukan di ranah publik adalah pencabulan (911 kasus), pelecehan seksual (708 kasus), dan perkosaan (669 kasus).
Sumera berpendapat bahwa pelecehan seksual adalah terminologi yang paling tepat untuk memahami pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok/tidak senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, mengeus, memeluk dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan.
Seperti kasus pemerkosaan yang terjadi pada Agni, Mahasiswi dari UGM dan pelecehan seksual lalu kriminalisasi menggunakan UU ITE yang terjadi pada Baiq Nuril. Dua kasus itu adalah kejadian-kejadian yang menyangkut ruang lingkup pendidikan. Dalam kasus Agni, kekecewaan masyarakat tertuju pada kampus yang semestinya memiliki keberpihakan kepada korban. Begitu juga halnya pada kasus Nuril dimana terdapat kejanggalan pada sistem hukum peradilan yang gagal menyorot persoalan pelecehan seksual yang terjadi padanya.
Menurut Ramdhani bahwa tindakan pelecehan seksual yang terjadi merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena hal ini berkaitan dengan moralitas para generasi bangsa. Dalam hal ini pengadilan yang merupakan instansi atau lembaga yang menangani masalah hukum perlu memberikan sanksi pada seseorang yang melakukan tindak pidana terutama pelaku kejahatan seksual, untuk itu pengadilan perlu memberikan sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual dengan seadil-adilnya.
Sistem peradilan yang buruk telah mengakibatkan berlarutnya kasus-kasus serupa sehingga menjauhkan korban dari keadilan. Institusi pendidikan dan lembaga hukum yang berhadapan dengan korban sesungguhnya menyalahkan korban dengan cara menyerang cara berpakaian, mempersoalkan kesantunan atau kesalehannya. Pola pikir yang sesat itu adalah bagian dari budaya patriarki yang selalu menyasar pengaturan tubuh perempuan.
Dari pembahasan di atas dimaknai bahwa bagaimana budaya patriarki yang telah mengakar dan membudaya dalam pola pikir masyarakat, sangat kuat mencengkeram kaum perempuan dalam posisi inferior terhadap laki-laki. Perempuan dalam hal ini sebenarnya tidak perlu dilindungi, karena dilindungi merupakan konteks yang justru membenarkan bahwa wanita adalah kaum yang lemah.
Diskriminasi dan kekerasan ataupun pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan merupakan suatu masalah yang sangat suit diselesaikan, bahkan jumlah kekerasan yang terjadi terhadap perempuan terus meningkat. Peraturan hukum yang ada pada awalnya diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada perempuan juga belum dapat bekerja maksimal.
Pada akhirnya, harusnya negara tidak boleh menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan agar pelaku pelecehan seksual dapat dihukum seberat-beratnya. Negara juga harus memberikan akses kepada perempuan yang mengalami tindakan pelecehan seksual berupa mekanisme peradilan dan dijamin oleh perundang-undangan nasional untuk memperoleh kompensasi yang adil dan efektif atas kerugian yang diderita.
Penulis: Baso', mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, suka nongkrong di samping kantin.