Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 05, 2021

Ketaatan Beragama dan Perilaku Korupsi

Reformasi birokasi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia jika diiringi oleh ketaatan beragama yang dalam konteks Islam disebut dengan kecerdasan tauhid (tauhidic quotiens) akan tetap membawa kerendahan budi dan adab. Maka dalam tuntutan agama, pihak yang bertanggungjawab menanamkan nilai agama tersebut adalah pemimpin, ulama dan masyarakat.

Menurut Ahmad Kilani dan Mohd Ismail (2004) ketaatan beragama adalah faktor penting yang perlu dimiliki oleh seorang individu supaya dapat menghindarkan diri daripada melakukan perbuatan dosa. Tujuan hidup yang tidak bertentangan dengan kehendak agama hendaklah dipupuk dengan mendalam dalam diri seseorang. Ini karena ketaatan beragama dapat membantu mencapai kejayaan dan kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat.

Suasana hidup dan amalan agamanya dapat mempengaruhi tingkah laku dan sikap seseorang ke arah positif atau negatif. Memang persoalan besar dalam birokrasi pemerintah hari ini adalah akibat dari kurangnya kesadaran beragama. Apabila kesadaran beragama ini semakin berkurang, maka akan berakibat pada keruntuhan akhlak yang akan melahirkan pegawai yang melanggar ajaran agama dan norma masyarakat itu sendiri.

Reformasi birokrasi merupakan wacana sekaligus agenda utama dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik di Indonesia. Reformasi birokrasi sebagai suatu usaha perubahan dalam sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan kebiasaan buruk birokrasi di Indonesia setelah kekuasaan era orde baru berakhir. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, namun juga terkait perubahan pada struktur organisasi dan perilaku pegawai instansi pemerintahan.

Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Harapan rakyat dari reformasi birokrasi adalah mengurangi perilaku korupsi yang dilakukan oleh pegawai, mewujudkan pegawai yang professional dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Sejak era reformasi pada tahun 1998 sampai saat ini, birokrasi pemerintahan di Indonesia nampaknya belum banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Era reformasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan seperti sistem politik, sistem hukum, termasuk juga perubahan sistem pemerintahan yang semula bersifat terpusat menjadi sistem pemerintahan otonomi daerah. Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan Pancasila merupakan dasar negara Indonesia untuk dijadikan pedoman dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Sedangkan Undang-Undang No.25 Tahun 2009 pula sebagai sumber hukum dan pedoman pelaksanaan pelayanan publik yang berkualitas oleh setiap pegawai pemerintah.

Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Ombudsman Republik Indonesia (2013) bahwa masyarakat membuat laporan melalui surat, mengisi formulir di kaunter, datang langsung ke kantor Ombudsman, melapor melalui laman web, email, telepon dan fax. Jumlah keseluruhan laporan masyarakat kepada Ombudsman pada tahun 2013 adalah 5173 laporan. Permasalahan yang sering dikeluhkan masyarakat adalah penundaan waktu pelayanan (50,19 %), penyalahgunaan wewenang (17.74 %), tidak adil dalam layanan (10.15 %), layanan tidak mengikut SOP (7.78 %), pegawai yang memberikan layanan tidak profesional (4,65 %), meminta uang bayaran lebih (3,98 %) dan tidak memberikan layanan (2.66 %).

Miftah Thoha (2012) menyatakan bahwa pegawai pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada rakyat bersifat sombong, bekerja di kantor pemerintah dijadikan sebagai simbol kekuasaan, rakyat yang datang ke kantor disuruh antri panjang, tidak ada kepastian kapan urusan akan selesai. Sifat pegawai pemerintah tidak memiliki rasa empati kepada rakyat, tidak disediakan ruang menunggu yang nyaman, bahkan masih ada kantor yang membiarkan masyarakat berdiri diterik matahari seperti ikan pindang yang dijemur ditengah matahari panas.

Adang Budiman, dkk (2013) berpendapat bahwa perilaku korupsi dalam birokrasi pemerintah sudah terjadi sejak era Presiden Suharto dan bahkan sudah menjadi kebiasaan rutin serta telah menjadi aktivitas harian mereka ketika bekerja di kantor. Alasan utama mereka melakukan korupsi ketika bekerja yaitu gaji yang diterima tidak mencukupi, rasa tanggungjawab terhadap pekerjaan sangat rendah dan atasan yang mencontohkan perilaku korupsi kepada bawahan.

Isu berkaitan hubungan ketaatan beragama dengan perilaku korupsi birokrasi masih kurang menjadi perhatian di kalangan pakar dan ilmuan administrasi negara di Indonesia. Masalah yang berhubungan dengan buruknya perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat selalu dihubungkan dengan gaji yang mereka terima kecil, pengetahuan dan kesadaran diri yang rendah, kompetensi dan komitmen untuk kerja juga rendah.

Penulis mencoba untuk membuktikan melalui kajian ini, apakah ketaatan beragama mampu mengurangi pegawai dari melakukan perilaku korupsi?

Konsep Perilaku Korupsi Birokrasi

Secara harfiah korupsi berasal dari bahasa latin corruption yang berarti perilaku yang tidak bermoral. Secara umum korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah kantor negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi. Korupsi memiliki tahap dalam penyebaranya.

Pertama, korupsi terbatas yaitu korupsi yang dilakukan oleh kalangan elit saja. Kedua, korupsi yang sudah merata dilapisan masyarakat dan yang ketiga, korupsi yang sudah membudaya di setiap elemen masyarakat yang sudah sangat sulit untuk diatasi. Sebuah tindakan dikatakan sebagai korupsi jika mempunyai ciri-ciri pertama dalam praktiknya pasti melibatkan lebih dari satu orang. Kedua, tindakan yang dilakukan masih bersifat sangat rahasia. Ketiga, ada unsur timbal balik antara orang satu dengan orang lainnya. Keempat, para pelaku mempunyai kekuatan yang besar sehingga mampu berlindung dalam pelanggaran hukum yang dilakukannya dan yang kelima, merupakan bentuk penghianatan dimana kepentingan individu pelaku lebih kuat daripada kepentingan publik (Syed Hussein Alatas, 1981).

Selanjutnya, Ibnu Khaldun (1332-1406 M) menulis dalam kitab Muqaddimah bahwa apabila suatu bangsa ingin mencapai kemajuan maka mereka harus memiliki pegawai dengan dua syarat utama yaitu pertama sifat amanah dan kedua profesional. Kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Sekiranya ada yang kurang maka akan menghalang usaha birokrasi pemerintah dalam memajukan negara. Sifat amanah merupakan buah dari ketaatan seorang pegawai dalam mengamalkan ajaran agama. Menurut Syed Hussein Alatas (1981), terdapat beberapa ciri perilaku korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah yaitu:

1. Korupsi biasanya melibatkan lebih dari satu orang.

2. Umumnya bersifat rahasia, kecuali di tempat yang telah merajalela sehingga kelompok yang berkuasa tidak perlu lagi menyembunyikan perbuatan mereka.

3. Melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik.

4. Pelaku korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum, mereka mampu untuk mempengaruhi keputusan tersebut.

5. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan.

6. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

7. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

Suatu perbuatan dikatakan perilaku korupsi apabila seorang pegawai menerima pemberian dari seseorang dengan maksud agar pegawai tersebut memberi perhatian istimewa kepada si pemberi, padahal pekerjaan tersebut sudah menjadi kewajiban pegawai. Fenomena lain yang boleh dipandang sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak-saudara, teman atau rekan politik dalam institusi pemerintah (nepotisme).

Menurut Robert Klitgaard (2000) bahwa pada dasarnya tidak ada definisi tunggal tentang korupsi. Korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Hal yang sama juga ditulis oleh Fathur Rahman (2011) bahwa korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan; kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.

Apabila korupsi telah berkembang secara mengakar sedemikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh, dan insentif untuk investasi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi dan politikan mengalami kemandegan.

Konsep Ketaatan Agama

Agama merupakan jalan hidup untuk mengantarkan seseorang dapat selamat di dunia dan akhirat. Sejauhmana seseorang beramal mengikut ajaran agama, maka hidupnya akan terarah, tenang dan terhindar dari kegelisahan. Sebaliknya jika seseorang mengabaikan pengamalan agama, apalagi jika menganggap agama adalah penghalang kemajuan maka ia akan mengalami kehidupan yang sempit, tidak tenang, gelisah dan terlibat dalam berbagai tindakan kriminal.

Ketataan beragama merupakan satu konsep yang menggambarkan keadaan seseorang yang mengamalkan keseluruhan perintah Allah SWT, menjauhi larangan Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW. Ketaatan beragama meliputi aspek imaniah, ibadah, mu’amalah, mu’asyarah dan akhlak.

Shuriye, dkk (2010) menyatakan bahwa ajaran agama akan mempengaruhi tahap kualitas dalam melakukan pekerjaan. Oleh karena itu,ajaran agama adalah salah satu instrument yang membentuk dan membimbing manusia untuk mencapai dan melakukan pekerjaan dengan lebih baik,apabila manusia mampu mematuhi ajaran agama yang berhubungan dengan pekerjaannya. Abdun Noor (2007) pula menyatakan bahwa untuk menjaga tingkah laku pegawai sesuai dengan kepentingan rakyat, maka kefahaman agama menjadi prinsip utama dalam pelayanan publik. Asas utama untuk mencapai keseragaman tingkah laku pegawai mengenai nilai kebaikan dan keburukan hanya bisa dicapai dari ajaran agama.

Apakah ada hubungan ketaatan beragama dengan perilaku korupsi?

Apabila seorang pegawai yakin bahwa Allah SWT Maha melihat, Maha mendengar, Maha mengetahui, Maha memberi rezki, maka dia tidak akan mencuri, menipu, melakukan korupsi dan menzolimi rakyat serta tidak akan melakukan perilaku jahat lainnya. Jika seorang pegawai tidak ada rasa takut kepada azab Allah SWT, tidak yakin dengan janji-janji Allah SWT bahwa di akhirat nanti setiap amal akan dihisab, setiap orang akan ditanya untuk apa umur dihabiskan, kemana masa muda digunakan, dari mana harta diperoleh dan kemana dibelanjakan serta adakah ilmu sudah di amalkan atau belum.

Jangan heran apabila di kantor ditemukan berbagai jenis tindakan kejahatan. Rasanya mustahil seorang pegawai akan meminta uang lebih dalam proses pengurusan akte kelahiran, SIM, paspor, KTP dan urusan lainnya apabila dalam hatinya terdapat keyakinan bahwa Allah SWT sedang melihat, mendengar dan mengetahui semua perbuatannya.

Mengurangi perilaku korupsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perbaikan aspek luar dan aspek dalam individu. Perbaikan aspek luar sudah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui program renumerasi, menaikkan gaji dan tunjangan, menambah fasilitas dan memberi pelatihan untuk meningkatkan skill dalam bekerja. Perbaikan aspek internal individu adalah usaha menanamkan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari ajaran agama dan nilai moral. Apabila seorang pegawai yakin bahwa yang memberi rezeki adalah Allah SWT, maka dia tidak mencuri, korupsi dan menerima uang syubhat (perkara yang diragukan) apalagi uang haram.

Apabila seorang pegawai pemerintah yakin bahwa Allah SWT Maha melihat, maka dia tidak akan berani membuat kwitansi palsu, laporan fiktif, menyogok dan melakukan tindakan penyimpangan yang merugikan uang negara. Memang benar pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melihat, tetapi seorang pegawai yang yakin bahwa Allah SWT sedang melihat setiap saat dan keadaan apa saja perbuatannya, maka dia tidak akan melanggar nilai-nilai etika dalam bekerja.

Pegawai seolah-olah telah membuat satu pemisahan antara ibadah yang sifatnya hubungan langsung dengan Allah SWT dengan ibadah yang bersifat hubungan dengan sesama manusia. Padahal menepati janji adalah ibadah, membantu memudahkan urusan masyarakat adalah ibadah, menolak korupsi adalah ibadah, bekerja menepati waktu kantor adalah ibadah, tidak mencuri barang di kantor adalah ibadah, adil dalam memberikan layanan tanpa membedakan status sosial masyarakat adalah ibadah.

Pegawai menganggap kerja di kantor adalah kerja dunia yang tidak ada hubungannya dengan ibadah. Akibat dari pemahaman yang keliru ini, maka berbagai perilaku jahat terjadi di kantor. Kefahaman yang benar adalah bahwa walaupun pegawai bekerja di kantor tetapi jika dalam pekerjaan tersebut mengamalkan perintah Allah SWT dan mencontoh Sunnah Rasulullah SAW maka akan bernilai ibadah.

Pertanyaan penting yang perlu juga dijawab adalah mengapa ketaatan beragama pegawai belum mampu mencegah mereka dari melakukan perilaku korupsi? Menurut penulis bahwa pegawai keliru dalam memahami ketaatan beragama dan pegawai juga belum mampu membawa sifat ketaatan dalam ibadah pada perilaku saat berada di kantor atau tempat kerjanya.

Ibadah dipahami dalam arti yang sempit yaitu amalan yang sifatnya hubungan dengan Allah SWT seperti datang ke masjid, membaca Al-Qur’an, sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin, puasa pada bulan ramadhan, membayar zakat dan haji sebagai ibadah. Ini memang benar, semua amalan tersebut adalah ibadah. Tetapi perkara yang berhubungan dengan urusan di kantor, membantu urusan masyarakat, jujur dalam bekerja, tidak melakukan korupsi, menunaikan amanah, bekerja dengan integritas yang tinggi masih dianggap bukan ibadah.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdun, N. (2007). Ethics, religion and good governance. Journal of Administration & Governance, 2, 62-77.

Adang, B., Amanda, R., & Victor, C. (2013). Rationalizing ideologies, social identities and corruption among civil servants in Indonesia during the Suharto era. Journal Bussiness Ethics, (6)11, 139-149.

Mohamed, A., K., B., & Mustari, M., I., B. (2004). Pemahaman Mengenai Perkembangan Fizikal Dan Mental Serta Keperluan Kepada Pemantapan Spiritual Dikalangan Remaja. Kebangsaan Psikologi Dan Masyarakat, gejala sosial dan masyarakat. Pusat Pengajian Psikologi dan Pembangunan Manusia UKM, Bangi.

Rahman, F. (2011). Korupsi di tingkat desa. Jurnal Governance, (2)1, 13-24.

Thoha, M. (2012). Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media.

Ombudsman Republik Indonesia. (2013). Kepatuhan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dalam Pelaksanaan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penerbit: Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Riau.

Klitgaard, R., et.al. (2000). Corrupt Cities: A Practical Guide to Cure and Prevention. Institute for Contemporary Studies and World Bank Institute: Oakland, California.

Shuriye, A., O., & Jamal I., D. (2010). Islamic perspective of quality administration. Australian Journal of Islamic Studies, (1)2, 49-57.

Syed, H., Al-Attas. (1981). The Sociology Of Corruption. Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman. Jakarta: LP3ES.

 

Penulis: Baso', mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, suka nongkrong di samping kantin.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.