Kita yang Terbagi dan Quo Vadis HMI
Telaah Upaya Restorasi Nilai Dasar Perjuangan dalam Diri Kader HMI di Era Modern
Pada kehidupan dunia modern, ihwal perubahan merupakan keniscayaan baik dari pola hidup maupun corak pemikiran. Tak ayal, segala bentuk perubahan akan kita jumpai pada kehidupan saat ini. Bentuk perubahannya pun tidak serta merta merujuk pada pola kehidupan yang lebih baik melainkan ada pula yang justru bergerak menuju kemunduran. Proses perubahan yang dimaksud ke arah yang lebih baik hanya menitikberatkan pada kemajuan arena kehidupan dari segi pembangunan segala bentuk infrastruktur, gaya hidup mewah agent/manusia dan kecanggihan perkakas kehidupan seperti produk-produk teknologi.
Sementara itu, bentuk kemundurannya terletak pada agent atau manusianya. Yang paling nampak terlihat adalah memudarnya budaya berpikir analitis, kritis dan reflektif. Hal tersebut dapat dijumpai di arena pendidikan seperti kampus dan organisasi-organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal kampus khususnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menjadi lokus tulisan ini.
Di arena kampus, kemunduran budaya berpikir mahasiswa ditandai dengan meningkatnya pola atau budaya hidup instan dan konsumtif sehingga pergulatan diskursus tidak tumbuh subur dan menjalar. Pakem dunia modern hanya berisi sekelumit konsepsi yang menawarkan kemudahan dan kecanggihan sebuah produk teknologi maka tak pelik, kesadaran kritis dalam diri mahasiswa sedikit demi sedikit terdegradasi sehingga bentuk kesadaran manusia yang tumbuh hanyalah kesadaran naif dan magis seperti yang dibahasakan Freire.
Kita ketahui kelahiran bentuk kesadaran kritis dalam diri setiap individu tidak terlepas dari kenyataan sosial atau dinamika fakta sosial yang tentu meniscayakan sebuah proses penelaahan. Melirik dinamika kehidupan sosial dengan pisau analisa yang tajam akan membentuk sebuah paradigma sosial yang lahir dari tiga unsur sosial, yang oleh August Comte namakan sebagai definisi, perilaku dan fakta sosial.
Akan tetapi, konstruksi kehidupan modern nampaknya menjadi penghalang. Betapa tidak, wejangan dunia modern seakan-akan mengarahkan setiap individu untuk memberi jarak pada kenyataan. Orientasi industrialisasi hanya akan melahirkan sifat individualistik dalam diri manusia. Meskipun pada dasarnya, corak dunia modern tidak selamanya berlaku demikian namun berkat sifat innocent dalam menghadapinya, ia tampil ‘jahat’ terhadap manusia.
Oleh Ulrich Beck pada tesis karyanya, Risk Society: Toward a New Modernity, mengutarakan bahwa manusia modern tergolong sebagai manusia atau masyarakat berisiko. Risiko yang dimaksud adalah kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual).
Beck setidaknya menyebutkan tiga macam risiko dalam kehidupan modern. Salah duanya adalah risiko sosial, sebuah bentuk risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri, yang sekaligus menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.
HMI dan Kehidupan Modern
Senada dengan kehidupan manusia modern dalam arena kampus di atas, hal yang sama terjadi pula pada organisasi kemahasiswaan dewasa ini. Salah satu organisasi kemahasiswaan eksternal kampus tertua di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang juga ikut terseret dengan arus kehidupan modern meskipun banyak organisasi kemahasiswaan lainnya yang juga mengalami nasib yang sama.
HMI sebagai organisasi yang berdiri dua tahun pasca kemerdekaan Indonesia, yang dipelopori oleh Lafran Pane, seorang pemuda revolusioner asal Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan visi dan misi yang sistematis dan aktual sehingga tetap berdiri kokoh sampai saat ini. Kendati demikian, baik kritikan pedas hingga ancaman pembubaran dari berbagai kalangan senantiasa membayanginya sampai sekarang.
HMI didirikan dengan asas dan manajemen organisasi yang jelas dan relevan dengan konteks dari masa ke masa. Gagasan keislaman-keindonesiaan menjadi ciri khas dari organisasi ini. Hal demikian terlihat dari Nilai-nilai Dasar Perjuangan dan konstitusinya yang tersusun serta terorganisir dengan prinsip-prinsip hukum.
Sebagai sebuah adagium, pohon yang tinggi dan besar tak terlepas dari guyuran angin bahkan badai. Hal tersebutlah yang membayangi proses kehidupan organisasi ini. Kritikan yang sifatnya membangun maupun sebaliknya menjadi pemandangan tersendiri.
Menelaah dari proses kelahiran organisasi ini sampai sekarang, terdapat beberapa polemik yang dihadapi baik dari segi internal maupun eksternal organisasi. Tak ayal, serangan dari berbagai pihak menyentuh ruang keberadaan HMI di permukaan, sentilan demi sentilan menjadi keniscayaan. Lantas bagaimana kita memandang HMI hari ini?
Antara corak kehidupan modern dan sikap yang modern seperti yang digagas oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) merupakan dua variabel yang berbeda. Corak modern yang kita hadapi saat ini lebih kepada membuka ‘karpet merah’ dalam menyambut westernisasi (budaya instan) yang hidup bersama fenomena Ed Hominem beserta gagasan Post-Truth.
Sementara, gagasan Cak Nur tentang sikap yang modern memiliki penekanan pada wilayah pembaruan dalam memandang dunia Islam. Cak Nur meyakini modernisasi sebagai sebuah alat untuk mendobrak kejumudan berpikir pada kalangan intelektual muslim, seperti yang dikutip dalam jurnal HMI, Cak Nur dan Gelombang Intelektualisme Islam Indonesia oleh Muhammad Sabri, Dosen Filsafat Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Memandang HMI dari segi modern (westernisasi) maka kita akan sampai pada kesimpulan yang ‘konyol’ dan terbilang keliru seperti yang dipekikkan oleh Jalaluddin Rahmat sebagai kekeliruan berpikir (fallacy of thinking). HMI hanyalah wadah perjuangan bagi para kader-kadernya. Sebagai wadah, tentu nafas dan arak geraknya dipengaruhi oleh para kadernya. Kemunduran yang dihadapi HMI bukan karena ketidaksesuaian antara gagasan awal dan kondisi zaman saat ini melainkan kegagapan kita sebagai kader dalam menginternalisasi dan mengeksternalisasi nilai atau prinsip yang tergambar dalam NDP HMI.
Tak sampai di situ, sebagian (jika tak ingin disebut semua) kader HMI pada kehidupan saat ini mengalami fase kekeliruan dalam menafsirkan Mission HMI utamanya pada wilayah hakikat keberadaan dan tujuan HMI yang terformulasikan dalam lima kualitas insan cita serta konstitusi HMI (AD/ART). Salah dua dari kekeliruan penafsiran tersebut adalah langgengnya dua kehidupan dalam satu tubuh.
HMI dan Kita Yang Terbagi
Pola kehidupan modern dengan budaya instannya lebih jauh lagi mendegradasi nilai-nilai dalam tubuh HMI. Meningkatnya sifat individualistik dan mewabahnya ketidakpedulian dalam diri kader menjadi penyakit tersendiri di tubuh HMI saat ini. Individualisme dalam mengarungi bahtera kekuasaan dan ketidakpedulian terhadap masa depan organisasi merupakan asal-muasal tumbangnya tiang-tiang penyanggah dari sebuah rumah. Kedua sifat tersebut bahkan menghancurkan pondasi yang sedari awal menjadi pijakan inti berjalannya roda organisasi.
Ibaratkan HMI adalah rumah saat ini maka kita sebagai kader atau penghuni rumah hanya memprioritaskan untuk hidup dan mempergunakan segala perabot dalam rumah tanpa memikirkan bahwa rumah yang kita tempati telah tua dan tentu banyak hal yang harus diperbaiki agar tak roboh dimakan usia.
Akan tetapi, yang justru terjadi adalah semakin tua rumah tersebut, kita semakin tidak memikirkannya malahan secara tidak langsung kita semakin mendukung kerobohannya dengan tidak memperhatikan pondasinya dan membiarkan tiangnya digerogoti rayap. Pondasi HMI tidak lain dan tidak bukan adalah AD/ART yang mewujud ke dalam bentuk konstitusi dengan prinsip konstitusional sedangkan yang menjadi tiangnya adalah NDP beserta Mission HMI. Keduanya merupakan bagian ultim dalam proses menuju konsep terbinanya insan yang ‘sehat’ dalam berpikir dan bertindak serta menjadi pribadi muslim-intelektual yang otentik.
HMI dan tubuh yang terbagi (dualisme kepemimpinan) merupakan dentuman awal kemunduran. Kita melirik langgengnya dua struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang terjadi saat ini di tataran Pengurus Besar HMI hingga menjalar dan berbuah pahit pada tataran Pengurus Cabang. Kita akan menyaksikan secara seksama bagaimana konsep dunia modern (bukan pola modern ala Cak Nur) yang melahirkan corak pemikiran pada manusia modern mampu meluluhlantakkan bangunan asa dan cita dari sebuah organisasi.
Upaya restorasi nilai dan prinsip HMI tentu sebuah perkara yang harus segera dilakukan. Misalnya, dualisme kepemimpinan di HMI baik di tataran Pengurus Besar maupun Pengurus Cabang merupakan sebuah cerita yang harus segera di akhiri dengan mendudukkan kembali nalar kritis dan merujuk pada AD/ART. Menelaah ruang kepemimpinan dengan nalar like or dislike tentu bukanlah bagian daripada konstitusi HMI.
Menyatukan kembali tubuh kepemimpinan yang terbagi harus melalui proses konstitusional seperti yang diamanahkan dalam konstitusi HMI. Kecakapan intelektual dan nalar konstitusional menjadi hal pokok dalam menahkodai sebuah organisasi khususnya HMI seperti yang dijelaskan dalam ART Pasal 20 dan 28 tentang Personalia Pengurus Besar dan Pengurus Cabang, Mekanisme Pengesahan Pengurus HMI dan Pedoman Pokok Kepengurusan. HMI merupakan organisasi yang berdiri kokoh di atas pijakan konstitusi yang sistematis nan kompleks.
Sebaliknya, menggunakan variabel like or dislike dalam menatap kelayakan seorang pemimpin di tubuh HMI tentu bukanlah merupakan ihwal yang elegan, solutif dan transformatif. HMI bukanlah organisasi yang berdiri di atas tampuk naluri kekuasaan, ia memiliki status, sifat, peran dan tujuan yang signifikan dan berprinsip intelektualitas muslim yang peka terhadap kemaslahatan bersama. Ukuran kelayakan bagi seorang pemimpin di HMI adalah yang mengaktualisasikan nilai dan prinsip serta menjunjung tinggi ruang konstitusi HMI.
Pemulihan kembali atau restorasi nilai-nilai dan konstitusi yang menjadi nafas HMI menjadi keharusan bagi setiap kader. HMI harus kembali berdiri di atas pijakan awalnya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan sehingga mampu melahirkan kader ummat dan bangsa secara otentik, bukan hanya sebagai citra populis.
Mengingat pula baik HMI maupun organisasi lainnya tengah berada di era disrupsi, sebuah era yang menghendaki pencerabutan sesuatu dari akarnya dan dibayang-bayangi pula sifat epigon, yakni sifat seseorang yang kehilangan gagasan baru, tak mampu mencipta sesuatu. Tentu hal demikian menuntut kesadaran setiap kader untuk tetap menjaga marwah dan khittah perjuangan HMI. Seorang bijak pernah berkata bahwa HMI mustahil dibubarkan akan tetapi dapat hilang di permukaan.
Sebagai catatan, kehadiran tulisan ini bukan sebagai wadah untuk menggurui apalagi menganggap bahwa kedirianlah yang paling hebat melainkan hanya untuk menjadi ruang refleksi bersama sebagai langkah pemulihan kembali khitah juang organisasi ini.
HMI adalah rumah. Berjalanlah sejauh mungkin namun tinggalkan hatimu di rumah.
Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.