Thu, 12 Dec 2024
Esai / Muh Sauki Maulana / Jun 12, 2023

Konflik dan Pelabelan Tunggal yang Sesat

Beberapa hari lalu, konflik antar mahasiswa pecah di Universitas Negeri Makassar. Sekretariat Bengkel Sastra--unit kegiatan seni di Fakultas Bahasa Sastra hangus terbakar. Sebagian tembok bangunan hangus. Peralatan seni dan berkas kelembagaan tak tersisa. Hanya ada kumpulan abu beterbangan yang memenuhi sesak seisi ruangan.

Mudah bagi kita untuk membayangkan bagaimana kondisi itu meluluhlantakkan segala ingatan yang sudah disusun rapi awak Bengkel Sastra. Sungguh sangat disayangkan, bagaimana hasil kerja keras dan buah pikiran awak Bengkel Sastra harus ludes dalam satu malam.

UNM Parangtambung hingga kini tak ubahnya medan perang bagi sekelompok mahasiswa yang masih memelihara ego sektarian. Atas dasar 'keterikatan' itulah, mahasiswa dengan gampangnya bisa saling serang, bahkan nekat untuk berbuat tindakan berbau kriminalitas.

Rasa keterikatan yang begitu kuat dan eksklusif pada satu identitas kelompok secara langsung akan menciptakan jarak dan keterpisahan. Anehnya, perbedaan akan identitas ini diduga acap kali diwariskan oleh senior kepada juniornya.

Doktrin ini dilakukan dengan harapan, kesetiakawanan akan terus mengakar dan menjadi gambaran untuk membedakan kelompoknya dengan kelompok yang lain. Sederhananya, garis pemikiran di atas dicirikan dengan pengandaian bahwa manusia, dapat dikelompokkan semata berdasarkan satu sistem pemilihan yang bersifat tunggal dan mutlak. 

Cara seperti ini, tentu akan melahirkan suatu pendekatan “soliter” terhadap identitas yang memandang jika manusia hanya bagian dari satu kelompok semata.

Bak tumpukan jerami yang sewaktu-waktu dapat tersulut, jalan pikir seperti ini riskan menimbulkan kesalahpahaman. Padahal, kita bisa saja memandang diri kita sebagai anggota dari berbagai macam kelompok tanpa timbul kontradiksi. 

Saya bisa saja berbeda fakultas atau lahir di daerah berbeda, tapi mungkin kita menyukai selera musik yang sama. Atau bahkan, kamu juga mengidolakan tokoh yang serupa dengan saya. Bahkan jangan-jangan, dalam pandangan politik, kita sesuai.

Pun jika hal ini terbantahkan, kita masih terikat dengan hubungan kemanusiaan. Maka masing-masing identitas di atas, menjadi tempat bagi kita untuk menjadi bagian yang saling berkaitan dan simultan. 

Ilusi Identitas

Pengaruh akan identitas kolektif sering kali mengganggu identitas akan diri kita sendiri. Kebebasan memaknai atau menyatakan identitas individu menjadi terbatas dalam pandangan pihak lain. 

Contohnya, seorang berkulit hitam di Afrika Selatan pada masa rezim apartheid tidak dapat bersikeras untuk menuntut perlakuan yang adil bagi dirinya sebagai umat manusia tanpa memandangi ciri sosialnya. Negara akan menempatkannya secara khusus, sesuai dengan kategori yang pantas untuk orang tersebut.

Hilangnya kebebasan individu sebagai suatu identitas yang otonom semakin kuat sehingga menghilangkan kemampuan seseorang untuk bernalar dalam memandang dirinya maupun orang lain. 

Bentuk semacam ini, menjadi asal mula terbentuknya pelabelan identitas tunggal. Manusia tidak lagi dipandang sebagai satu keutuhan atas apa yang ada di dirinya, melainkan hanya individu sebagai bagian dari suatu kelompok.

Sikap keras untuk mendesakkan (meski hanya tersirat), suatu identitas manusia yang tunggal tanpa ada pilihan tidak hanya akan membuat kita menjadi kerdil, melainkan pula akan membuat dunia menjadi wahana pertarungan. 

Harapan utama bagi terwujudnya harmoni di dunia yang kacau ini justru terletak pada kemajemukan identitas kita, yang saling bersangkut paut dan menentang pengelompokkan tunggal yang katanya tak bisa diganggu gugat.

Barangkali, hal utama yang menjadi sumber kekisruhan lainnya adalah pengabaian serta penampikan peran nalar; serta pilihan yang muncul dari pengakuan bahwa identitas kita jamak dan tidak tunggal. 

Ilusi akan identitas tunggal sesungguhnya akan memecah belah. Ketimbang beragam jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat tinggal kita.

 

Penulis: Muh Sauki Maulana, merupakan alumni kampus keguruan di Makassar. Saat ini bekerja sebagai kontributor berita di salah satu media.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.