Korteks Dilarang Sakit?
Tepat pada 27 desember 2018 lalu, koordinator tenaga kesejahteraan sosial, atau biasa disebut “Korteks” merayakan annivessary yang pertama. Ya, usia nya telah genap satu tahun, sesuai SK, dalam mengabdi pada kemensos di daerah masing-masing di tingkat kabupaten atau kota.
Tugas Pokok Korteks adalah Koordinasi, antara Tim koordinasi kabupaten, Bulog, Himbara, dan KPM, intinya, entah bagaimana caranya, program bansos pangan, yang menurut beberapa sumber, sangat efektif dalam menurunkan angka kemiskinan, bisa berjalan dengan baik dan sesuai pedoman umum.
Dalam mengemban tugas yang dinilai mulia ini, sungguh sangat disayangkan, korteks hanya dibekali semangat dan motivasi dari Diklat, Pengembangan Kapasitas dan siraman-siraman rohani, antara lain, sabar, ikhlas perlu menjadi pertimbangan untuk menopang softskill pendamping. Padahal beban kerja dinilai cukup berat, misalnya, mengitari kabupaten yang begitu luas, menerima aduan dari masyarakat, dan sosialisasi data yang sumbernya sendiri tidak pasti dan berubah-ubah.
Seharusnya, antara beban kerja dan tanggung jawab bisa sedikit rasional, artinya, ada support system yang memadai dalam proses pelaksanaan program. Ancaman dari berbagai unsur, tidak diakui oleh dinas setempat, mengelola data sendiri, dana transport diambil dari Gaji (meski gaji tidak pasti tepat waktu), tidak adanya THR, tidak adanya jaminan Kerja/BPJS, dan pendamping dari unsur relawan yang memiliki segudang tanggung jawab lainnya. Peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk menunjang Program dan Pemberdayaan Pendamping di daerah.
Dalam surat mendagri, terkait pembentukan mata anggaran Bansos Pangan, poin pokok yang dimuat hanya sebatas menyarankan, tak ada kewajiban daerah untuk menganggarkan dana Bansos pangan sehingga dalam penerimaan pemahaman surat, berbeda-beda di setiap daerah, ada yang menganggarkan banyak, ada yang menganggarkan sedikit, bahkan ada yang tidak di anggarkan.
Di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur, misalnya, dana yang di gelontorkan Kemensos untuk bantuan BPNT lebih dari 10 Milyar per-bulan, namun, dana pendampingannya kemensos tidak lebih dari 15 juta/bulan, terhitung 3,28 jt utk korteks, 1 juta untuk supervisor dan 10 jt untuk 20 relawan TKSK, dan anggaran tahunan 125 jt untuk pemantauan Bupati dan Tikor, jika dilihat dari nilai kedinasan, anggaran tersebut sangat sedikit dan dinilai main-main saja kalau di bandingkan dengan jumlah bantuan yang di turunkan dari kemensos.
Disisi lain, Harapan dari dana pendampingan tersebut adalah Bansos pangan lancar, bagito dihapuskan, ada sosialisasi di setiap desa, ada laporan dari semua pihak yang di koordinir korteks, tidak ada beras mumet, tidak ada pembagian roti, dan intinya, KPM mendapat bantuan sesuai porsi nya, padahal ada kebutuhan nyata, sosialisasi ke 20 kecamatan sekitar 20 juta, pembagian kartu ke setiap titik, 238 titik/desa x 500rb , pengelolaan pengaduan, ATK, dan kebutuhan lainnya yang jauh dari cukup tapi entah bagaimana caranya bisa terpenuhi dengan berbagai iuran pribadi dan lobi-lobi.
Melihat beban kerja yang berat, maka ya korteks dilarang sakit, dilarang malam mingguan, dilarang banyak mengeluh. Mungkin dalam titik ini, “Bansos pangan” Perlu belajar banyak dengan saudara tua, “PKH” yang cukup baik mensupport program. baik, dari pengelolaan SDM, pengelolaan data, dan pengontrolan program. Ingat ini kedinasan, bukan warung kopi gratisan.
Penulis : Ahmad Muzakki S.Sos (Ketua Forum Komunikasi Provinsi Jawa Timur)