Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 20, 2020

Menyoal BPJS: Dimana Peran Negara Sebagai Pelayan Ummat?

Seolah tak pernah sepi dari media pemberitaan setiap tahunnya, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) kini telah menginjak usia 16 tahun dengan payung Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional di Indonesia.

Seperti yang diketahui bahwasanya pada awal tahun 2020, iuran BPJS akan mengalami kenaikan bahkan dua kali lipat dari sebelumnya. Hal tersebut bahkan telah di sepakat dan di tanda tangani oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun 2019 lalu. Adapun penyebab terjadinya kenaikan iuran dikarenakan untuk melindungi keuangan BPJS kesehatan yang terus mengalami pembengkakan defisit disetiap tahunnya.

Akan tetapi pemberita baru-baru ini membuat kita bertanya-tanya, pasalnya pada tanggal 27 Februari 2020 lalu Mahkamah Agung membatalkan peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan ini diambil Majelis Hakim MA yang terdiri dari Supandi selaku Ketua Majelis Hakim dengan Hakim Anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.

Menurut Abdullah selaku Kabiro Humas MA, pengabulan uji materiel oleh Majelis Hakim atas pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dikarenakan hal tersebut sangatlah membebani masyarakat.

"Kenaikan iuran seharusnya tidak dilakukan saat ini di saat kemampuan masyarakat tidak meningkat, namun justru beban biaya kehidupan meningkat. Bahkan, tanpa diimbangi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS," jelas Abdullah di Kantornya, seperti diberitakan Beritasatu.com, Jakarta (10/3/2020).

Diketahui, MA menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) selaku penggugat Perpres nomor 75 tahun 2019 tentang kenaikan iuran jaminan kesehatan.

Disisi lain Menteri Keuangan Sri Mulyani sangat menyayangkan akan keputusan MA terkait penolakan iuran BPJS Kesehatan. Lantaran hal tersebut dapat memengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara Indonesia.  Sri Mulyani pun menegaskan bahwa keputusan MA tersebut memiliki konsekuensi yang besar terhadap JKN.

"Namun pasti ada langkah-langkah pemerintah untuk mengamankan kembali JKN itu secara berkelanjutan" tuturnya ketika berada di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Selasa (10/3).

Terkait hasil sidang tentang penolakan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung, membuat pemerintah harus kembali berfikir serta mencari solusi lain untuk mengatasi devisi anggaran yang semakin meningkat. Tentu pemerintah tak boleh bersikap abai, sebab kesehatan merupakan salah satu hak rakyat yang wajib dipenuhi dan mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.

Ketika kita menelisik lebih jauh, tanpa dilakukan kenaikan iuran pun defisit pemerintah akan terus mengalami peningkatan yang di perkirakan akan mencapai Rp. 44 triliun pada tahun 2020 dan Rp. 56 triliun pada 2021.Tentu itu bukan angka yang kecil yang dengan mudah nya bisa di tangani secara  cermat, sehingga pemerintah pun  mengusulkan alternatif lain dengan menaikan iuran BPJS.

Berbagai kasus BPJS yang silih berganti menyerang negeri ini, tentu hal tersebut menyadarkan kita bahwa pemerintah masih runyam akan persoalan pelayanan kesehatan. Dari berbagai sudut penjelasan mengenai tujuan yang dapat menjamin kesehatan rakyat tentu sangatlah jauh dari tujuan yang diharapkan. Sudah semestinya kita jenuh kala melihat fakta dilapangan, yang semakin hari membuat rakyat menderita akan sikap penguasa yang tidak melihat rakyat kecil sebagai sasaran kebijakan.

Sementara jika dkembalikan pada ajaran Islam, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Setiap pemimpin mempunyai wewenang dalam mengurusi kemaslahatan rakyat nya disisi lain rakyat berperan sebagai alaram yakni memberikan nasihat jikalau kebijakan yang di keluarkan bertentangan dengan syariat islam disertai memberi peringatan untuk tidak berkhianat.

Pada masa kejayaan umat Islam dulu, negara hadir untuk mengelola kekayaan serta menjadikan negara berkemampuan finansial untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jwabnya. Terlebih lagi untuk menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Islam memberikan pelayanan harga terjangkau dan bahkan gratis, berkualitas terbaik, serta tersebar secara merata.

Kebijakan negara dalam hal ini, harus menerapkan konsep anggaran mutlak. Berapapun biaya yang dibutuhkan, harus dipenuhi oleh negara. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik. Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia pada negara sebagai pengatur dan pemeliharaan urusan ummat.

Islam memandang bahwa kebutuhan akan pelayanan terhadap kesehatan salah satu bagian dari keperluan mendasar setiap rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Dalam menangani pemenuhan dalam pelayanan kesehatan, negara turun tangan untuk memenuhinya. Bukan malah berlepas tangan, mencabut subsidi, dan membuat rakyat semakin menjerit untuk membayar tarif iuran.

Sejatinya jika kekuasaan telah berada di pundak maka segala amanah haruslah di jalankan dengan semestinya sesuai bagaimana Islam mengatur semuanya. Apalagi, pemimpin saat ini adalah seorang muslim. Maka sepatutnya, seorang muslim patut menjadikan Islam sebagai aturan dalam menjalani kehidupan bernegara.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al A’raf: 96)

 

Penulis: Fahira Arsyad, Aktivis Back to Muslim Identity.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.