Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 06, 2021

Pendidikan yang Membelenggu

Hakikat Pendidikan

Berbicara  tentang  pendidikan  merupakan  hal  yang  tidak  asing  bagi  kita, pendidikan sudah dimulai sejak manusia ada dimuka bumi ini. Para ahli pembahas  pendidikan  sepakat  bahwa  pendidikan  merupakan  masalah  yang  sangat  urgen  dan aktual sepanjang zaman. Sebab dengan pendidikan orang mengerti akan dirinya beserta segala potensi  kemanusiaannya,  lingkungan  masyarakatnya,  alam  sekitar  dan yang lebih dari semua itu ialah dengan  pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya dan di hadapan Khalik-Nya.

Pendidikan  bagaikan  cahaya  penerang  yang  berusaha  menuntun  manusia  dalam menentukan  arah,  tujuan dan  makna kehidupan  ini. Pendidikan  di  sini  menjadi sarana  utama  untuk mengembangkan sumber  daya  manusia yang  dilakukan secara bertahap mulai   dari Taman Kanak kanak,   Sekolah   Dasar, Menengah sampai Perguruan Tinggi.  Dalam  hal seperti inilah, pendidikan  akan  semakin  dituntut  peranannya   dalam   pembangunan   bangsa   guna menghasilkan manusia  yang berkualitas.

Oleh  karena  itu,  pendidikan  mampu  melaksanakan  peran,  fungsi  dan misinya   secara optimal, kemajuan ini harus dapat  diwujudkan dalam proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (visioner), memiliki rasa percaya dan harga diri yang tinggi,sehingga  dapat  menjadi  teladan yang dicita-citakan  bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan pembangunan. Pendidikan  penting    karena    disadari  bahwa pengembangan   diri pribadi merupakan   proses   ulang individu.

Demikian   halnya   dalam   sistem   pendidikan, senantiasa  dikembangkan  sesuai  dengan  kebutuhan  dan  perkembangan  yang  terjadi baik  tingkat  lokal,  nasional  maupun  internasional.  Salah  satu  komponen  penting untuk  memberdayakan  masyarakat  adalah  menentukan  sistem  pendidikan,  yaitu menentukan  tujuan  pembelajaran  yang  mengacuh  pada  tujuan  pendidikan  nasional.

Gagasan  Faulo Freire banyak dianggap sebagai gagasan  pembebasan  penuh  pendidikan  institusional  dan  mengacuh  pada pembebasan   masyarakat   dalam   mengenyam   pendidikan. Maksudnya adalah   jika pembebasan   dalam   pendidikan   itu   sudah   dirasakan anak  didik  dan  tidak  ada  penekanan dalam  menjalaninya, maka pendidikan itu arahnya tentu bukan hanya ilmu saja,  tetapi  bertukar  pikiran  dan  saling  mendapatkan  ilmu  merupakan  hak  semua orang  tanpa  kecuali,  karena  tidak  ada  lagi  perbedaan  antara  yang  mampu  dan  tidak mampu (si kaya dan simiskin) atau tertindas dan tidak tertindas.

Berbagai kurikulum silih berganti sebagai acuan pelaksana pendidikan semakin hari membuat semua harus berkiblat ke Pulau Jawa dan membuat peserta didik tidak mampu menjawab realitasnya. Sekolah isinya melatih peserta didik  untuk bisa kerja, kerja itu penting tapi kurang mendasar dan peserta didik ditegaskan tentang struktur yang mapan dimana posisimu kamu itu peserta didik harus melakukan apa dan jangan melakukan apa isinya sekolah itu  penyeragaram semua diatur dan mendislipkan tubuhmu semuanya ini bisa membuat pendidikan tidak memerdekakan manusia.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, meliputi SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, SM/MA/sederajat dan PT.

Indonesia mempunyai cita-cita bagaimana pendidikan dapat mencerdaskan bangsa yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bunyi alenia 4 “… untuk membentuk Pemerintah Negara Indonesia” dijabarkan pada pasal 1 ayat 1 dan 3. Bunyi pasal 1 ayat 1 “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Bunyi pasal 1 ayat 3 “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Serta pasal 27 ayat 3 “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dan “… mencerdaskan kehidupan bangsa..” dijabarkan dalam pasal 31 dan 32 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.“

Dalam Hukum peraturan sebisa mungkin tidak mengalami pertentangan yang sifatnya kontradiktif, dimana dalam  konsep aturan ada tiga asas pembentuk aturan yang berlaku di tengah masyarakat, yakni asas pragmatis, asas korespondensi, dan asas koherensi. Asas inilah yang menjadi landasan pacu untuk membentuk aturan yang ada, dimana ini berpacu pada subjek dan objek hukum yang ada. Subjek dalam hal ini ialah para pemangku jabatan (Government) dan objek ialah masyarakat luas secara umum. Dimana subjek harus memilliki daya tawar kepada objek agar kiranya objek dapat menerimanya secara sukarela.

Namun realita yang terjadi, subjek pada hari ini terlalu memaksakan regulasi pada objek, sehingga tidak terjalin yang namanya aksebilitas terbuka pada setiap lapisan masyarakat. Sehingga impactnya ialah masyarakat secara monoton harus merunut pada aturan yang ada.

Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Dewasanya pendidikan di Indonesia sudah sangat jauh berkembang sampai hari ini, dimana lebih tepatnya sudah mengalami kurang lebih sepuluh kali perubahan konsep kurikulum. Perubahan konsep ini bertujuan untuk mematangkan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan global dan nasional.

Perkembangan ini dimulai sejak tahun 1947 sampai pada tahun 2013, adapun uraian konsep kurikulum ini sebagai berikut:,

1. Kurikulum 1947, bersifat politis yang bertujan untuk mempertahankan kedaulatan Negara
2. Kurikulum 1952,  sudah mulai diterapkan silabus dan mata pelajaran formal
3. Kurikulum 1964, dipusatkan pada pengembangan moral dan kecerdasan
4. Kurikulum 1968, (Pasca runtuhnya Orde Lama) bersifat teoritis dan tidak faktual dengan kondisi yang ada
5. Kurikulum 1975, Perbaikan konsep dari sebelumnya
6. Kurikulum 1984, Peserta didik sebagai subjek belajar
7. Kurikulum 1994 – 1999, Pematangan konsep
8. Kurikulum 2004, berbasis pada kompetensi berdasarkan standar yang ditetapkan
9. Kurikulum 2006, bersifat desentralisasi namun masih tetap merujuk pada standar yang ditetapkan
10. Kurikulum 2013, standarisasi yang dirampingkan.

Prosesi perubahan kurikulum di mulai dengan memandang penting pengembangan SDM dalam hal ini peserta didik sebagai pelanjut estafet arah bangsa, namun hal ini tentu sangat kontradiktif dengan cara pandang para pelaksana aturan pendidikan. Hal ini dapat kita nilai melalui penjabaran di atas, dimana pendidikan yang awalnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah atau kondisi lapangan yang sifatnya faktual, tergeserkan dengan pendidikan formal yang sifatnya teoritis dan terlalu kaku, dengan memandang penting standarisasi sebagai obat daripada pengentasan kebodohan pada diri masyarakat. Apakah perubahan ini membawa ke arah yang lebih baik?,

Jawabanya mungkin bisa iya atau tidak, beberapa oknum peserta didik menganggap prestasi kumulatif yang di hitung secara kuantitatif itu penting, selain untuk persoalan eksistensi, persoalan daya saing juga di anggap sebagai cara untuk bertahan pada roda kehidupan yang condong ke arah pragmatis industrialis.

Sejenak kita berasumsi bahwasanya penerapan ini sangat baik untuk menunjang softskill atau kemampuan dasar kita dalam menjalani prosesi kehidupan yang selanjutnya, yakni kerja. Namun hakikat pendidikan tidak berkata demikian, seperti yang diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa pendidikan ialah proses memanusiakan manusia, dimana pendidikan di anggap sebagai arena pembebasan, baik pembebasan moral maupun akal. Jika kita memandang pendidikan sebagai upaya menciptakan manusia yang unggul dan kompetitif melalui jalan standarisasi, itu berarti kita mengaminkan upaya pematian potensi diri yang diberikan pada setiap manusia (Endowment).

Impact Standarisasi Pendidikan

Dua sub-bab sebelumnya telah menjabarkan bagaimana pendidikan itu seharusnya dan perkembangannya di Indonesia, pada sub-bab kali ini akan menimbang bagaiamana dampak daripada penerapan standarisasi oleh kurikulum, yang di terapkan di setiap sekolah yang ada. Terlebih dahulu kita akan mengurai dua konsep pendidikan.

Konsep pertama mencoba memberikan kita gambaran bagaimana metode didik yang coba di aplikasikan ialah, dengan menganggap peserta didik sebagai objek ketidaktahuan atas ilmu pengetahuan, sehingga subjek dalam hal ini guru, merupakan pusat daripada pengetahuan itu sendiri. Pendidikan gaya bank ini secara tidak langsung mencoba membatasi ruang gerak peserta didik dalam persoalan aktualisasi lebi lanjut mengenai pengetahuna yang ia miliki.

Konsep selanjutnya mencoba memberikan kita gambaran yang berbeda daripada konsep yang pertama, dimana konsep ini tidak menganggap guru maupun siswa sebagai objek melainkan subjek tunggal atas dirinya sendiri, sehingga dialektika perkembangan ilmu pengetahuan menjadi lebih cair. Hal ini dikarenakan keduanya diangga memiliki kebenaran masing-masing, peserta didik tidak dianggap sebagai wadah yang kosong, melainkan wadah yang bersi namun harus diberikan pengayaan secara penuh, denga tujuan pematangan knsep berpikir.

Jauh lebih dalam kita mencoba menghubungkan dengan dampak (impact) daripada penerapan standarisasi pendidikan di Indonesia, konsep standarisasi ini tidak jauh beda dengan konsep pendidikan gaya bank namun tidak secara penuh, dikarenakan masih menganggap peseta didik sebagai subjek tunggal atas pengetahuan yang ia miliki. Standarisasi ini menggiring peserta didik pada konsep sentralisasi metode didik dengan mencoba menciptakan aturan yang kaku, berdasar pada sistem pendidikan nasional, tanpa menimbang bagaimana potensi pribadi yang dimiliki setiap individu atau kebutuhan yang ia harus butuhkan.

Standarisasi ini merujuk baiamana kita mencoba mematikan bakat setiap individu dengan menyeragamkannya satu sama lain, sama seperti halnya humor pendidikan masa kini, yakni ketika kita mencoba membandingkan keunggulan monyet dan ikan terhadap kemampuan memanjat yang dimiliki masing-masing.

Hal ini akan menggiring peserta didik pada miss perceptions (kesalahan tanggapan) yang dimana peserta didik akan mendefinisikan dirinya sebagai orang bodoh setelah melewati rangkaian agenda standarisasi, mengapa demikian?. Dalam buku Mark Manson manusia ialah makhluk yang mampu membentuk jati dirinya sendiri melalui tanggapan pribadinya melalui sugesti.

Ketika kita menganggap diri kita bodoh, maka kata itu akan terus berulang dalam pikiran kita, sehingga secara tidak langsung kata bodoh itu akan menjelma menjadi bagian daripada diri kita, itu dikarenakan super ego (ketidaksadaran) kita jauh lebih mendominasi diri kita dibandingkan ego (kesadaran) kita sendiri, hal ini sejalan dengan tanggapan Singman Freud mengenai kesadaran manusia.

Setelah virus standarisasi itu menjangkit pada sebagian peserta didik, makan dampak yang terjadi ialah, kebingungan missal. Kebingungan akan ketidaktahuan kita terhadap potensi diri kita, kebingungan akan sesuatu hal yang kita tidak tau harus memulainya darimana, dan juga kebingungan akan mentalitas yang dimiliki, apakah saya mampu atau tidak. Alih-alih mencoba menciptakan SDM yang unggul dan berkompeten, standarisasi sendiri malah menggiring setiap peserta didik pada jurang kebingungan, yang nantinya akan berdampak pada mentalitas bangsa itu sendiri.

Konklusi Atas Problem Pendidikan Formal

Sejatinya pendidikan ialah memanusiakan menusia dimana memberikan semua peserta didikseluas-luasnya hak untuk memilih jalan untuk menuju kematangan ilmu pengetahuannya, hak yang wajib didapatkan semua warga Negara tanpa terkecuali untuk mampu merubah dan mejawab realitasnya masing-masing. Konsep pendidikan ragam budaya mampu menjelajahi semua ruang hidup rakyat indoensia  agar semua mendapatkan haknya dalam mengeyam pendidikan, tentunya pendidikan tidak dapat dibebankan dengan biaya yang tidak dapat dijangkau oleh rakyat yang kurang mampu dari segi ekonomi, selain segi pengetahuan (Knowladge).

Pendidikan harusnya menjadi arena pembebasan atas setiap hal yang kita pikirkan dan rasakan terhadap kondisi faktual yang ada. Dimana tidak ada yang namanya standarisasi secara sepihak atau terpusat (Sentralisasi) melainkan pemberikan hak pendidikan yang sifatnya memerdekakan, baik merdeka dari segi nalar maupun interaksi. Pandangan ini tidak dipandang secara skeptis melainkan dipandang secara menyeluruh berdasarkan pengalaman teoritis dan juga pengalaman pribadi yang di rasakan sendiri.

“Teknologi adalah tools, hanya suatu alat. Bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas, ineraksi antara guru dan murid itu esensinya," Nadiem Makarim-

 

Penulis: Arif Nugraha. A, mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Makassar

 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.